Terlepas saat ini Aceh menjadi daerah yang identik dengan syariat Islamnya, namun dalam sejarahnya Aceh banyak melahirkan para tokoh perempuan yang mempunyai kontribusi besar, baik yang menjadi pemimpin maupun ulama Aceh, salah satunya adalah Tengku Fakinah.
Tengku Fakinah atau yang dikenal dengan nama Tengku Faki, lahir pada tahun 1856 M di kampung Lam Beunot, Mukim Lam Krak, VII Mukim Baet, Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Beliau merupakan putri Tengku Datuk atau dikenal dengan Tengku Asahan, yang merupakan pejabat pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1823-1836 M). Sedangkan ibunya yang bernama Fathimah, merupakan putri dari pendiri dayah yaitu Tengku Cik Lam.
Sejak kecil, Tengku Fakinah dididik oleh orang tuanya untuk membaca Al-Qur’an dan menulis Arab, serta berbagai ilmu agama Islam. Selain itu, ibunya juga mengajarinya untuk menjahit, menenun, menyulam dan memasak. Sedangkan sang ayah mengajarinya tentang bahasa Arab, fikih, tasawuf, sejarah, tafsir dan hadis.
Pada tahun 1872 M, Tengku Fakinah dinikahkan dengan Tengku Ahmad atau Tengku Aneuk Glee, yang merupakan sosok ulama muda. Setelah menikah, mereka berdua sama-sama mengajar di Dayah Lam Pucok. Kehadiran Tengku Fakinah di Dayah, mempengaruhi para santri yang belajar di sana. Pada awalnya, hanya santri laki-laki, kemudian setelah Tengku Fakinah mengajar, banyak para perempuan juga yang ikut belajar.
Ketika ada tanda-tanda bahwa Belanda akan menyerang Indonesia khususnya Aceh, tepatnya tahun 1873 M. Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang memimpin Aceh saat itu, mengantisipasi dengan mengajarkan para pelajar dan santri. Termasuk santri di Dayah Lam Pucuk dalam menggunakan senjata, serta digembleng agar siap bertempur melawan penjajah.
Pada 8 April 1873 M, terjadilah pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Aceh. Belanda yang sebelumnya ingin menguasai Aceh dengan cara damai gagal, kemudian menggunakan jalur peperangan. Dalam pertempuran tersebut, Tengku Ahmad yang merupakan suami Tengku Fakinah gugur dalam melawan Belanda. Tengku Fakinah kemudian menggantikan peran suaminya dengan membentuk barisan yang terdiri dari para anggota perempuan, untuk ikut berperang dan membantu peperangan melawan Belanda.
Setelah gagal mengusir Belanda dan Belanda berhasil menguasai Kutaraja atau kini bernama Banda Aceh. Tengku Fakinah kemudian membentuk pasukan sukarela yang bernama Sukey, untuk melanjutkan perlawanan. Pasukan perang yang bernama Sukey tersebut, terdiri dari empat batalion yang kemudian ditempatkan di beberapa benteng pertahanan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Mulyono Atmosiswartoputro dalam bukunya Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah. Tengku Fakinah mengomandoi 4 benteng pertahanan yaitu Kuta Cot Weue, di Lam Diran yang semua anggotanya perempuan dan dipimpin langsung oleh Tengku Fakinah. Kuta Lam Sayun, yang didiami batalion yang dipimpin oleh Tengku Muhammad Salah. Kuta Cot Bakgarot, yang dipimpin oleh Tengku Leupeung (paman Tengku Fakinah). Kuta Bakbalee, yang dipimpin oleh Habib Abdurrahman atau Habib Long. Yang mana keempat benteng pertahanan tersebut, semuanya berada di bawah komando Tengku Fakinah.
Setelah dua tahun menjadi janda karena suaminya meninggal, Tengku Fakinah kemudian dijodohkan dengan Tengku Nyak Badai dari Pidie. Perjodohan tersebut dimaksudkan supaya tidak terjadi fitnah, karena Tengku Fakinah merupakan satu-satunya panglima perang perempuan dan sering bermusyawarah dengan kaum laki laki. ulama aceh
Setelah pernikahan keduanya, Tengku Fakinah kembali mengobarkan perang mengusir Belanda. Tepatnya pada tahun 1893 M dan 1895 M, terjadi perang melawan Belanda yang mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Di antaranya adalah Habib Abdurrahman, Tengku Mat Saleh dan Tengku Daud. Tahun 1896 M, suami Tengku Fakinah meninggal karena serangan yang dilakukan oleh Belanda yang dipimpin oleh Colonel J. W. Stempoort.
Setelah kembali menjadi janda yang kedua kalinya, Tengku Fakinah tetap berjuang melawan dan mengusir penjajah. Salah satu jasanya, selain perang melawan penjajah adalah menyadarkan Tengku Umar yang merupakan suami Cut Nyak Dhien, yang lebih mendukung Belanda, supaya kembali melawan Belanda dan mengusirnya dari Aceh dan Nusantara.
Dalam perjuangannya mengusir Belanda dari Aceh, Tengku Fakinah sering berpindah-pindah karena tempat-tempat persembunyiannya sering diketahui, bahkan dihancurkan oleh Belanda. Sejak itulah, Tengku Fakinah tidak membuat benteng pertahanan (kuta) lagi dan lebih banyak bergerilya dengan para bawahannya, seperti Pocut Lam Gugob, Pocut Awan dan para kaum perempuan.
Setelah tidak menjadi panglima, Tengku Fakinah tetap aktif berjuang. Kali ini beliau kembali membangun pesantrennya yang ada di Lam Krak, yang telah dihancurkan oleh Belanda. Pembangunan pesantren yang dilakukan oleh Tengku Fakinah mendapat sambutan dari masyarakat luas, bahkan banyak yang mengeluarkan sedekah untuk membantu pembangunan pesantren Tengku Fakinah. Pesantren yang dibangun, kemudian juga banyak menjadi tujuan para pencari ilmu dari Aceh Besar, Pidie, Aceh Timur, Samalanga. ulama Aceh
Setelah pesantrennya berjalan dengan lancar, Tengku Fakinah kemudian mempunyai keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Namun, sebelum melaksanakan ibadah haji Tengku Fakinah kembali menikah untuk yang ketiga kalinya yaitu dengan Tengku Ibrahim. Pada tahun 1915 M, Tengku Fakinah berangkat ke Haramain untuk melaksanakan haji. Dan setelah selesai haji, mereka berdua tetap berada di Mekkah untuk kembali menuntut ilmu kepada para ulama besar Mekkah dan Madinah pada waktu itu. Akan tetapi, pada tahun 1918 M Tengku Ibrahim yang merupakan suami Tengku Fakinah meninggal dunia di Mekkah.
Selama di Mekkah, Tengku Fakinah banyak bertemu dengan para pemimpin Islam dari Mesir, Afrika Utara dan lainnya. Dari pertemuannya dengan para tokoh-tokoh tersebut, beliau mempunyai pandangan bahwasanya melawan sebuah penjajahan tidak hanya cukup dengan senjata saja, tetapi juga harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan.
Tengku Fakinah adalah sosok pejuang yang tidak hanya berdiam diri di satu tempat. Namun, beliau juga sering berkeliling ke berbagai wilayah yang ada di Aceh besar untuk melakukan koordinasi kepada masyarakat dan para tokoh, untuk mengumpulkan bantuan yang kemudian disalurkan untuk perang melawan penjajah.
Selain dikenal sebagai seorang panglima perang, pejuang dan seorang pemimpin rakyat. Tengku Fakinah juga seorang perempuan yang menjadi ulama Aceh dan memimpin sebuah dayah. Selain itu, beliau juga mempunyai peran besar dalam pembaharuan pendidikan Islam di Aceh pada waktu. Beliau meninggal pada 3 Oktober 1933 M di Lam Krak. (AN)