TELAH TERBIT: Merajut Tenun Kebangsatan

TELAH TERBIT: Merajut Tenun Kebangsatan

TELAH TERBIT: Merajut Tenun Kebangsatan
Ilustrasi tentang pribumi dan non pribumi dari Anies Baswedan menuai kontroversi. Pict by @seblat

Ketika itu Mei 1998. Saya masih ingat benar.Saya masih duduk di kelas tiga SMP.

Sepulang sekolah, saya berjalan di deretan toko-toko yang tutup. Papan nama Toko Mas Roda Jaya pecah berantakan. Sementara bangunan lain di sekelilingnya tampak tertutup rapat. Bebatuan sekepalan tangan terserak di jalanan.Jalan Lawu yang merupakan jalan utama di Karanganyar tampak lebih sepi dari biasanya. Kerusuhan yang meletus di kota Solo ternyata juga berimbas ke kota-kota kecil di sekitarnya.

Berbeda dari hari-hari sebelumnya, tulisan PRIBUMI ASLI dan MILIK PRIBUMI tampak di mana-mana. Kelak, baru saya tahu, bahwa tulisan-tulisan itu sengaja ditorehkan dengan cat semprot di pintu-pintu, agar tempat-tempat usaha itu tak dirusak dan dijarah oleh massa.

Setelah saya ingat-ingat, sepertinya itulah momen kesadaran pertama saya terkait isu pribumi dan nonpribumi.Sebelumnya saya tak pernah berpikir tentang hal itu.Sensei karate saya waktu SD adalah seorang keturunan Cina, dan saya tak pernah mempermasalahkannya.Saya mungkin tak pernah akrab dengannya, karena dia (yang ban hitam) jarang mengajar saya secara langsung (yang baru ban kuning).Tapi, saya tahu, dia orang baik. Dia Cina, dan dia orang baik. Buat saya, itu sudah cukup.

Jelang Imlek 2011. Penatnya Jakarta membuat saya mengambil cuti beberapa hari dan menghabiskannya untuk berlibur di Semarang.Berbekal kamera bekas yang baru saya beli, saya meluncur ke kawasan Pecinan.Saya singgah di sebuah kuil kecil, dan mohon izin untuk memotret suasana di dalamnya. Awalnya saya khawatir, mereka akan curiga dan tak mengizinkan saya mengambil gambar (mengingat penampilan saya yang berambut gondrong dan berjenggot panjang). Tapi, rupanya kekhawatiran itu berlebihan.

Seorang lelaki tersenyum ramah dan membebaskan saya mengeksplorasi ruangannya.“Asal tak mengganggu doa saja, Mas,” katanya.

Di tengah kesibukan saya mengambil gambar, lelaki itu menghampiri saya sambil membawa segelas air mineral dan kue bolu, “Mas, kalau selesai motret, minumnya saya taruh di depan, ya.” Saya mengucapkan terima kasih sambil diam-diam menyadari ketololan saya yang sempat khawatir mendapat penolakan darinya.

Dan, begitulah.Usai memotret, saya duduk di beranda kuil. Lelaki itu duduk di sana. Bersamanya sudah ada dua lelaki lain yang jauh lebih tua. Semuanya keturunan Cina. Mereka mengajak berkenalan dan kemudian kami mulai berbincang.

Mereka menjelaskan, bahwa kuil itu adalah kuil Tridharma.Tidak seperti dugaan saya sebelumnya, ternyata tak hanya umat Khonghucu yang berdoa di situ, melainkan juga umat Buddha dan Tao. Lalu, mereka menjelaskan tentang Tridharma lebih jauh. Bagaimana ketiga ajaran itu saling bertaut satu sama lain, bagaimana ketiganya sudah melebur menjadi napas kehidupan bagi umat-umatnya.

“Kalau saya Khonghucu, sementara bapaknya ini Tao. Nah, kalau bapak yang sedang berdoa di dalam itu, agamanya Buddha. Pasti nanti cocok ngobrol sama dirimu, Mas. Dia juga suka budaya,” kata seseorang di antaranya usai mengetahui kalau saya pernah bergabung di sebuah kelompok teater di Semarang.Dan, benar saja. Obrolan kami bertambah seru ketika sang bapak yang dimaksud keluar.

“Buat kami, Gus Dur itu wali. Beliau yang membuat kami bisa kembali ke kebudayaan kami lagi. Kalau dulu, kelenteng itu harus ditutupi tembok tinggi. Mau memperluasnya satu meter saja, izinnya susah,” katanya menggebu-gebu, “Karena itu, kami sangat menghormati Gus Dur. Islam yang sebenarnya itu ya, Gus Dur. Benar-benar rahmatan lil ‘alamin.”

Saya terhenyak di titik itu.Saya tahu dan mengakui bahwa Gus Dur adalah orang hebat, tentu saja. Tapi, saya tak pernah menyangka bahwa kehebatannya diakui umat agama lain sampai sedemikian rupa. Entah kenapa, sempat terbersit rasa malu di pikiran saya.Jangankan mewalikan tokoh agama lain, umat agama (yang tertulis di KTP) saya justru tak jarang mengkafir-kafirkan saudaranya sendiri.

Malam kian larut. Asap rokok tak henti mengepul, berkelindan dengan wangi dupa yang dibakar di sekitar kuil. Sementara alunan erhu yang menyayat terdengar di kejauhan.Saya merasa berada di tengah adegan film-film kungfu lama.Saat saya berniat pamit, lelaki yang sebelumnya menyambut saya, masuk ke dalam kuil dan mengambil kotak makanan berisi lontong opor.Niat untuk undur diri akhirnya saya tunda.

Kami makan dan tertawa-tawa bersama. Status saya sebagai seorang keturunan Jawa ber-KTP Islam sama sekali tak membuat ada sekat di antara kami. Ketika saya benar-benar pamit, seseorang di antaranya mengulurkan amplop sambil berkata, “Mas, ini tradisi kami. Namanya angpau.Tidak boleh ditolak. Ini cara kami bersyukur atas rezeki yang kami dapat setahun ini. Silakan diterima.”Saya mengucapkan terima kasih dan tersenyum ke arah mereka.

Memori tentang toko-toko yang tutup pada 1998 dan perbincangan di kuil itu menjadi semacam pengingat bagi saya, bahwa sesungguhnya, ketakutan kita akan sesuatu, sebenarnya tak lebih dari refleksi ketidakpahaman kita akan sesuatu itu. Mungkin memang sudah menjadi semacam kodrat, bahwa manusia akan selalu takut dan curiga dengan hal-hal yang tidak dia ketahui dan pahami.

Kita belum pernah mati dan tak paham ada apa setelah kematian, karena itu kita takut dengan kematian. Kita tak paham tentang Syiah, makanya kita takut dengan Syiah.Kita tak paham tentang komunisme, makanya kita takut dengan komunisme.Kita tak paham tentang Ahmadiyah, makanya kita takut dengan Ahmadiyah.Kita tak paham tentang LGBT, makanya kita takut dengan LGBT.Kita tak paham tentang warga keturunan Cina, makanya kita takut dengan warga keturunan Cina. Dan, seterusnya dan seterusnya.

***

Senin 16 Oktober 2017.

Anies Baswedan berpidato di Balai Kota DKI Jakarta usai dilantik menjadi Gubernur yang baru.Di dalam pidatonya, Anies menyebut-nyebut tentang pribumi yang menurutnya “harus mulai menjadi tuan rumah di negeri sendiri”.Seketika, ingatan saya melayang ke Toko Mas Roda Jaya dan kuil kecil di sudut Pecinan beberapa tahun lalu itu.

Beberapa kawan menyebut bahwa ribut-ribut soal kata “pribumi” di pidato itu terlalu berlebihan.“Sementara kalian ribut tak mutu tentang hal itu, reklamasi di teluk Jakarta terus berjalan, pabrik semen terus melakukan ekspansi, ketidakadilan tak henti merajalela.”

Bahwa korporat dan negara terus melanggengkan praktik ketidakadilan, itu betul.Tapi, mengatakan isu pribumi dan nonpribumi yang digaungkan Anies sebagai sesuatu yang tak mutu?Sepertinya hal itu perlu sedikit diralat.

Pada awalnya saya berpikir, bahwa politisasi identitas ras, agama, dan golongan yang dilakukan kubu Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tak lebih dari usaha untuk menarik dukungan massa saat kampanye. Bagaimanapun, primordialisme adalah sesuatu yang masih cukup laku di tengah masyarakat kita.Namun, sepertinya pikiran itu keliru.Karena, setelah terpilih, ternyata Anies masih saja terus-terusan mempropagandakan narasi dikotomi antara pribumi dan nonpribumi.

Narasi, sekecil apapun, harusnya tak dianggap sebagai sesuatu yang remeh. Kebengisan NAZI bermula dari narasi yang dibangun Hitler tentang kedigdayaan ras Arya yang lebih tinggi derajatnya dibanding ras lain. Ketakutan akan hantu komunis yang tak henti beranakpinak di sekitar kita, juga lahir dari narasi yang dibangun oleh Orde Baru. Kebohongan yang diulang seribu kali akan menjelma kebenaran, konon begitu. Itulah kenapa, isi pidato Anies layak untuk digarisbawahi untuk menghindari hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi.

Beberapa kawan yang lain juga berpendapat, bahwa isi pidato yang tertulis di naskah Anies sebenarnya tak bermasalah. Tapi, mungkin kawan-kawan saya itu tak menyadari, bahwa Anies melakukan improvisasi ketika membacakannya di depan Balai Kota. Di dalam naskah asli tertulis:

“Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya.Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme.Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri.”

Sementara yang diucapkan Anies di hadapan ribuan orang adalah kalimat ini:

“Jakarta ini, satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat. Penjajahan di depan mata itu di Jakarta, selama ratusan tahun. Betul tidak, saudara sekalian? Di tempat lain, barangkali penjajahan mungkin terasa jauh. Tapi di Jakarta, bagi orang Jakarta, yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari-hari.Karena itu, bila kita merdeka, maka janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta.Dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri.”

Tak perlu pendidikan tinggi, siapapun yang mendengar pidato itu tentu paham, narasi apa yang sedang dibangun oleh Anies. Ya, nasionalisme recehan yang dibalut dengan primordialisme yang berpotensi melahirkan semangat kebencian terhadap liyan. Untuk apa? Apa lagi kalau bukan kekuasaan.

Apakah Anies tak paham risiko dari apa yang dia lakukan? Tentu saja dia paham. Anies bukan orang bodoh. Anies menyelesaikan pendidikan masternya di bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Policy, University of Maryland, College Park, Amerika Serikat, pada 1997. Dia adalah inisiator gerakan Indonesia Mengajar, menjadi Rektor Universitas Paramadina pada usia 38 tahun, dan sempat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dia bukan orang main-main.Dia paham tentang kebudayaan. Dia sangat paham langkah apa yang dia lakukan dan kalimat apa yang dia ucapkan.

Anies pasti tahu, bahwa kata “pribumi” yang dia ucapkan sebenarnya melanggar Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 yang diterbitkan di era Presiden Habibie. Anies pasti tahu, bahwa kalimat-kalimatnya berpotensi memicu perpecahan.Tapi, Anies tak peduli. Anies bahkan juga tak peduli dengan hasil pemetaan DNA dari Lembaga Eijkman yang menunjukkan bahwa tak ada etnis yang sepenuhnya murni asli penghuni Nusantara sejak ribuan tahun lalu.Anies tak peduli bahwa penduduk Indonesia hari ini sebenarnya adalah keturunan pendatang dari luar Nusantara, entah Yunan, Cina, atau Afrika.Anies tak peduli bahwa yang benar-benar asli dari Nusantara mungkin adalah Homo Wajakensis dan Homo Soloensis yang hidup 40.000 tahun lalu.

Sebagai ilmuwan, Anies pasti tahu itu semua.Tapi, sebagai politikus, Anies tak peduli dengan itu semua.Anies bahkan juga tak peduli bahwa sebenarnya dia adalah seorang keturunan Yaman.Kenapa?Karena, bagi seorang politikus, tak ada yang lebih penting ketimbang kekuasaan.

Saya mungkin memang tak pernah benar-benar jatuh cinta dengan kota yang selama delapan tahun terakhir saya tinggali ini. Tapi, sebedebah-bedebahnya kota ini, saya selalu merindukannya setiap kali saya pergi meninggalkannya. Jakarta itu bedebah yang selalu saya rindukan. Bagi saya, kota ini sudah menjelma rumah. Tapi, mendengar pidato sang gubernur yang pernah menulis buku Merajut Tenun Kebangsaan itu, mau tak mau, saya menjadi agak mengkhawatirkan masa depan “rumah” ini.

Jakarta memang butuh banyak hal agar bisa menjadi lebih baik dari hari ini.Tapi, provokasi dan jargon dan pepatah dan pantun bukanlah empat hal di antaranya. Jakarta bukanlah remaja yang baru putus cinta, karena itu butuh lebih dari sekadar retorika atau kalimat-kalimat indah untuk menguatkannya.Tapi, mau bagaimana lagi?Demokrasi telah berjalan sesuai aturan.

Saya bukan pendukung siapapun. Saya bahkan tak punya hak untuk mendukung siapapun untuk menjadi pemimpin di kota ini. Saya hanya berpikir, bahwa mulai hari ini, sepertinya hidup di kota ini akan menjadi sedikit lebih melelahkan dari yang lalu-lalu. Sepertinya begitu.[]

 

Setyo A. Saputro, Pekerja Media. Mengelola blog www.setyoasaputro.com.