Media sosial seperti dua mata pisau tajam. Satu sisi bisa memberikan manfaat, sisi lain dapat memberikan kehancuran dunia dan akhirat. Hal ini bergantung bagaimana, siapa yang menggunakannya, dan untuk apa.
Dalam dunia dakwah misalnya, media sosial menjadi sarana yang strategis dalam mensyiarkan ajaran Islam, karena jangkauan sosial media jauh lebih luas dibanding jangkauan pengajian umum di masjid maupun di musala. Tapi media sosial juga bisa sebagai senjata ampuh untuk memusnahkan bumi dan isinya. Dengan masifnya konten provokasi dan pertikaian di media sosial, berpotensi pula menyebabkan kerusakan di darat atau di laut dan sebagainya. Kok, bisa?
Kehadiran media sosial dimanfaatkan betul oleh pera Netizen, baik itu untuk kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Siapakah yang disebut Netizen? Asep Syamsul M. romli dalam Jurnalistik Online: Panduan Mengelola Media Online menjelaskan, netizen berasal dari kata “internet” dan “citizen” yang berarti “warga internet”. Secara umum Netizen diartikan sebagai pengguna “user” internet aktif dalam berkomunikasi, mengeluarkan pendapat, dan berkolaborasi di media internet.
Tangan sebagian netizen dapat merusak “laut dan darat”
Tangan-tangan sebagian netizen adalah pelaku utama perusakan yang terjadi akibat sosial media. Bahkan, kata “Netizen” sering diidentikkan dengan pengguna sosial media negatif yaitu memanfaatkan media sosial untum membuat sesuatu yang merugikan banyak pihak demi keuntungan pribadi. Tujuan utamanaya adalah mencari popularitas dan viral tanpa berfikir sebab akibat yang terjadi di kemudian hari.
Hal ini sebagaimana yang telah tertuang dalam Al-Qur’an surah Surat Ar-Rum Ayat 41;
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum : 41)
Ayat ini mengingatkan bahwa kerusakan yang terjadi di darat maupun di laut akibat ulah dari manusia, tidak terkecuali tangan-tangan sebagian netizen. Banyak tangan-tangan mereka yang jail dan tidak bertanggung jawab, sesukanya memposting atau menyebarkan sesuatu yang mereka sendiri belum paham akan dampak yang akan terjadi di kemudian hari, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat luas.
Contoh sederhana adalah seringnya Netizen yang berkata kasar, sarkas dan provokatif di sosial media tanpa filter apapun. Kata-kata tersebut sering muncul baik di status, feed, beranda maupun di kolom komentar. Dari kata yang tidak pantas tersebut kemudian menyulut emosi yang lain sehingga saling hina, caci maki bahkan tidak jarang berakhir dengan saling bentrok satu sama lain.
Hal ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan oleh sahabat Abu Bakar As-Shiddiq, dalam menafsirkan kerusakan di darat dan di laut pada. Surah Ar-Rum : 41.
قال أبو بكر في تفسير ذلك البر هو اللسان والبحر هو القلب فإذا فسد اللسان بالسب مثلا بكت عليه النفوس أى الأشخاص من بني آدم وإذا فسد القلب بالرياء مثلا بكت عليه الملائكة
Artinya, “Sayyidina Abu Bakar RA menafsirkan ayat ini bahwa ‘darat’ adalah lisan dan laut adalah qalbu. Jika lisan telah rusak dengan caci maki misalnya, maka jiwa-jiwa anak Adam menangis. Jika qalbu telah rusak sebab riya misalnya, maka malaikat menangis,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nasha’ihul Ibad, [Indonesia, Daru Ihya’il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 6).
Sahabat Abu Bakar As-Shiddiq menafsirkan surat tersebut, bahwa yang dimaksud kerusakan darat dan laut adalah sebagai kerusakan ucapan dan qalbu manusia. Kerusakan lisan dan qalbu melalui kemungkaran-kemungkaran itu diratapi manusia dan malaikat. Maka dari itu penting menjaga lisan dengan cara mengatakan kalimat yang baik atau diam.
Usai menyebarkan konten yang menyebabkan kerusakan, tangan sebagian netizen tak berhenti. Selanjutnya mereka berulah dengan membuat opini untuk memframing. Salah satunya misalnya, bencana yang terjadi seakan-akan adalah hukuman bagi kaum tertentu, atau bahkan hukuman karena kezaliman pemerintah. Tentunya opini liar tersebut tidak bisa dibiarkan atau dampaknya bisa lebih buruk dari yang sebelumnya.
Perlu adanya formula khusus mencegah kejahilan tangan-tangan Netizen negatif berkreasi di sosial media. Selain undang-undang ITE yang akan menjerat Netizen yang melampaui batas, juga perlu adanya bekal dalam diri sehingga tidak muda terpengaruh arus negatif dari media sosial. Salah satunya adalah dengan membangun generasi yang saleh digital.
Netizen yang “Saleh”
Edy M. Yaqob seorang jurnalis senior Antara dalam “Kesalehan Digital” menyebutkan setidaknya ada tiga langkah untuk menjadi seorang yang saleh digital. Tiga rumus tersebut adalah dengan melihat sanad, rawi dan matan sosial media.
Pertama, Sanad. Dalam hal ini adalah orang yang menjadi narasumber dalam sebuah tulisan atau konten. Narasumber harus yang kompeten di bidangnya untuk menjadi rujukan. Contoh narasumber seorang yang ahli politik maka hanya membahas seputar politik bukan bicara agama. Begitupula ahli kesehatan, berbicara tentang kesehatan bukan politik dan lain sebagainya.
Lebih spesifik juga mampu menentukan narasumber yang kompeten dalam bidangnya, sebagai contoh narasumber ahli agama dalam bidang fiqih, bidang bahasa arab dan bidang lainya. Sehingga narasumber yang didapatkan merupakan narasumber bersanad bukan sekedarnya.
Kedua, Matan , yaitu redaksi atau isi konten. Konten harus akurat, meyakinkan, logis, bukan aneh-aneh, bukan asal berbeda apalagi ada benturan polemik, mengajak berkelahi atau memberi ancaman. Substansi konten tersebut harus benar apa adanya, bukan dibuat-buat atau sengaja ditambahkan narasi agar menjadi heboh dan banyak peminat. Originalitas sebuah konten menjadi dasar dapat diterima atau tidaknya konten tersebut.
Terakhir adalah rawi dalam hal ini adalah penyampai/perawi atau media. Dalam menerima sebuah kabar atau informasi perlu diperhatikan siapa medianya atau perawinya. Apakah media tersebut kredibel atau abal-abal, apakah media tersebut moderat atau ekstrim kanan maupun kiri dan sebagainya. Selain itu juga, perlu dicek kembali, apakah sebuah media atau narsum punya kecenderungan dan fanatisme terhadap kelompok tertentu. Jika demikian, maka perlu dipertimbangkan untuk dirujuk.
Dengan menjadi saleh sosial maka tidak akan ada lagi atau tidak akan berpengaruh lagi bagaimana tangan-tangan jahil Netizen di sosial media berkreasi. Karena menjadi saleh digital merupakan filter yang kuat dalam menerima atau meng-counter setiap arus informasi yang masuk sehingga kerusakan di bumi dapat dihindari. (AN)
Wallahu a’lam bissowab.