Salahuddin al-Ayyubi, yang dikenal sebagai pahlawan besar Perang Salib, itu ternyata adalah juga pemegang perintah untuk membunuh Sihabuddin Yahya Suhrawardi, pendiri sekte sufi Hikmah al-Ishraqiyah, pencetus pemikiran filsafat-cahaya yang meneruskan gagasan-gagasan Plato, dan perevisi filsafat paripatetik yang dikembangkan Ibn Sina. Ia dibunuh di Aleppo, Syria, pada tahun 1191, di masa pemerintahan Malik Zahir al-Ghazi, yang adalah putra Salahuddin sendiri.
Suhrawardi wafat pada usia belum 40, padahal ketika itu ia sedang sangat produktif-produktifnya melakukan perambahan pemikiran Islam yang memadukan gagasan-gagasan filsafat Barat dan Timur, Yunani dan Persia, Helenisme dan Zoroasterianisme.
Salahuddin atau Saladin adalah simbol penguasa administrasi dan pemerintahan dinastik Islam di masa lalu — sezaman dengan dinasti-dinasti kerajaan Jawa semenjak masa Ken Arok yang akhirnya melahirkan Majapahit. Sedangkan Suhrawardi adalah satu dari sekian banyak tokoh literati yang meletakkan landasan ideasional bagi peradaban Islam — setara dengan peranan Mpu Kanwa atau Mpu Barada yang membangun landasan bagi peradaban literer Jawa kuno.
Nama Saladin terkenal dan menjadi legenda bagi kejayaan kekuasaan ekspansif Islam yang ketika itu begitu meluas, bahkan hingga ke Eropa. Mitos tentang kejayaan peradaban Islam tak bisa dielakkan dari logika imperialistik ini. Dan itu diakui sebagai semacam disclaimer yang bisa dimaklumi. Tapi begitulah, orang sering melupakan peristiwa ketika ia memutuskan titah pembunuhan atas Suhrawardi, melalui tangan anaknya, Gubernur Aleppo.
Padahal secara esensial, dibandingkan dengan pencapaian prestasi Saladin yang terbatas pada perluasan wilayah geopolitik aktual, peranan pemikiran iluminasionistik Suhrawardi menjangkau rentang pengaruh yang lebih panjang, hingga sekarang. Filsafat cahayanya misalnya, kini diakui telah mengubah dasar-dasar ontologis mengenai realitas material — bahwa seluruh materi terestrial di dunia fisika sebenarnya hanya merupakan emanasi dari cahaya yang berasal-usul dari bahan-baku celestial meta-fisika. Pemikiran ini mirip dengan salah satu gagasan kosmologi modern pasca-kuantum dewasa ini.
Saladin dan Suhrawardi akhirnya tetap merupakan misteri yang menyimpan teka-teki mengapa sejarah peradaban (Islam) berkembang ke arah yang ini, dan bukan ke arah yang lain. Dan itu bukannya tanpa implikasi bagi terbentuknya realitas Islam kontemporer sekarang.