“Aku tidak diutus oleh Allah sebagai pelaknat. Aku adalah seorang penyeru dan rahmat bagi manusia.” (Nabi Muhammad SAW)
Rasulullah memiliki sifat penyayang yang luar biasa, baik kepada istri, sahabat, anak kecil, bahkan kepada musuh sekalipun. Sering kali, justru orang lain yang merasa tak sabar dan “geram” melihat apa yang dialami Nabi.
Pada perang Uhud, gigi antara gigi seri dan taringnya patah, wajahnya terluka. Para sahabat tak tega melihatnya. “Andai engkau mendoakan agar mereka tertimpa bencana,” usul mereka.
Namun dengan sabar Nabi menjawab, “Aku tidak diutus oleh Allah sebagai pelaknat. Aku adalah seorang penyeru dan rahmat bagi manusia.” Selanjutnya Nabi berdoa, “Ya Allah, berilah petunjuk pada kaumku, karena sesungguhnya mereka tak mengetahuinya.” (HR. Al-Baihaqi)
Syahdan dalam kisah lain, terjadi perselisihan antara Nabi Muhammad dengan istrinya, Aisyah. “Apakah engkau mau Umar yang menjadi penengah kita?” tanya Nabi.
“Tidak, aku tak mau Umar yang menjadi penengah. Dia orangnya keras,” jawab Aisyah.
“Apakah engkau mau ayahmu saja yang menjadi penengah?” tanya Nabi kembali.
“Ya,” jawab Aisyah.
Rasulullah lantas mengutus orang untuk memanggil Abu Bakar, ayahanda Aisyah. Tak berselang lama, Abu Bakar datang.
“Kamu yang bicara, apa aku?” tanya Nabi pada Aisyah, di depan ayahnya.
“Kamu yang bicara, dan jangan katakan kecuali yang benar,” jawab Aisyah, masih dengan emosinya.
Mendengar ucapan Aisyah itu, sontak Abu Bakar mengangkat tangan untuk menampar putrinya itu. Dalam benaknya terpikir, bagaimana mungkin putrinya mencurigai Rasulullah tidak berkata benar?
Aisyah berlari, berlindung di balik punggung Rasulullah.
“Aku tidak mengundangmu kemari untuk melakukan ini,” tutur Nabi Muhammad kepada Abu Bakar.
Saat Abu Bakar, mertua sekaligus sahabatnya itu keluar, Nabi meminta Aisyah untuk mendekat kepadanya. Aisyah menolak. Melihat itu Nabi tersenyum. “Bukankah barusan engkau menempel erat di punggungku?”
Dus, begitu Abu Bakar kembali masuk ke rumah Nabi, ia telah mendapati putri dan menantunya itu bercanda tawa. “Libatkan aku dalam perdamaian kalian, sebagaimana sebelumnya kalian telah melibatkan aku dalam peperangan kalian,” ujarnya. (HR. al-Hafizh al-Dimasyqi)
Nabi sangat menyayangi anak kecil. Ketika melewati anak-anak kecil, Nabi mengucapkan salam, kemudian membuka tangannya untuk merangkul mereka. Begitu datang dari sebuah perjalanan, ia disambut oleh anak-anak kecil keluarganya. Setiap diminta menggendong anak kecil, Nabi mendoakan mereka dengan keberkahan, men-tahnik (menyuapkan kurma yang sudah dikunyah) dan mendoakan mereka dengan kebaikan.
Suatu saat, Nabi Muhammad meletakkan Hasan dan Husain di atas punggungnya, lalu dia merangkak dan berkata, “Sebaik-baik unta tunggangan adalah unta kalian, dan sebaik-baik pengendara adalah kalian berdua.”
Di waktu lain, Hasan masuk ke masjid sedang Nabi dalam keadaan sujud. Cucunya itu lantas naik ke punggungnya. Maka Nabi memanjangkan sujud, sampai Hasan turun dari punggungnya. Ketika salat selesai, beberapa sahabat bertanya, “Anda memanjangkan sujud?” Nabi menjawab, “Cucuku datang dan menunggangiku. Aku tak ingin ia kecewa dengan memaksanya cepat turun.”
Kepada orang yang ditemuinya, Nabi selalu mengucapkan salam terlebih dulu. Jika memegang tangan orang tersebut, Nabi terus berjalan bersamanya dengan memegang tangannya, hingga keduanya berpisah. Saat melepas kepergian seseorang, Nabi memegang tangannya dan tidak melepaskan, sampai orang itu yang melepas dan Nabi berdoa, “Aku menitipkan agama, amanat, dan amal terakhirmu kepada Allah.”
Saat shalat dan melihat seseorang duduk di sampingnya, Nabi akan menyingkat ibadahnya itu. Ia menoleh padanya dan berkata, “Apakah engkau ada keperluan?” Setelah usai, Nabi kembali melaksanakan salat.
Rasulullah sering bergurau dengan pembantunya. Ia sendiri tidaklah bersikap seperti seorang majikan kepada budaknya. Anas bin Malik yang mengabdi kepada Nabi selama sepuluh tahun berkata, ”Rasulullah saw tak pernah menegur apa yang aku perbuat, juga tak pernah menanyakan tentang sesuatu yang tidak aku kerjakan. Akan tetapi dia selalu mengucapkan Masya Allahu kan wa ma lam yasya lam yakun (Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi).”
Bahkan pada Hewan!
Sifat baik dan santun bila sudah mendarah daging, niscaya tak akan terpisah dari diri seseorang, selama-lamanya. Orang itu akan selalu berlaku lembut dan penuh kasih, bahkan kepada hewan-hewan dan benda-benda mati sekalipun! Itulah kepribadian kekasih kita, Nabi Muhammad saw.
Suatu hari, Nabi melihat seorang lelaki merebahkan kambing di tanah, menginjakkan kakinya di leher hewan itu, sambil memegangnya untuk disembelih. Dalam waktu bersamaan, dia masih mengasah pisaunya. Melihat hal ini, Rasulullah marah dan bersabda, “Apakah kamu ingin membunuhnya dua kali? Tidakkah kamu asah dulu pisaumu, sebelum kamu merebahkannya?” (HR. Al-Hakim, shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mas’ud dalam hadits shahih lain mengutarakan, suatu saat, Rasulullah berada dalam perjalanan untuk suatu keperluan. Di tengah perjalanan, beberapa sahabat melihat seekor Humarah (burung berwarna merah) bersama kedua anaknya. Salah seorang sahabat mengambil kedua anak hewan tersebut.
Tak lama kemudian, si induk datang dan berjalan berputar-putar di sekeliling mereka. Sang induk mengepak-ngepakkan kedua sayap, kebingungan mencari anak-anaknya. Saat melihat kejadian itu, Nabi saw berkata kepada para sahabat, “Siapa yang mengganggu induk burung ini dan anak-anaknya? Kembalikanlah anak burung itu kepada induknya.”
Di hari lain, Nabi Muhammad melihat sangkar semut yang dibakar. Ia bertanya, “Siapa yang telah membakar rumah semut ini?” Seorang sahabat menjawab, “Saya.”
Mendengar pengakuan itu Nabi marah dan bersabda, “Tidak sepatutnya menyiksa dengan api, kecuali Tuhannya api (yaitu Allah).” (HR. Abu Dawud).
Rasulullah pernah memiringkan bejana untuk seekor kucing sehingga hewan tersebut bisa minum air darinya. Kemudian ia berwudhu dengan sisanya. (HR. al-Thabrani dengan sanad shahih)
Di waktu lain, Nabi Muhammad melewati dua lelaki yang tengah berbincang. Masing-masing menaiki ontanya. Rasulullah merasa kasihan kepada kedua hewan itu. Dia pun melarang keduanya menjadikan hewan tunggangannya sebagai tempat duduk. Dengan kalam lain, janganlah menaiki onta kecuali saat kamu memerlukannya saja. Jika keperluanmu untuk menaikinya telah selesai, maka turunlah dan biarkan dia beristirahat.
Apakah hal seperti ini pernah kita perhatikan? Dalam segala hal, Nabi memerintahkan umatnya untuk berbuat lembut, pun pada binatang, bahkan saat melakukan penyembelihan.
Selengkapnya, klik fiqihmenjawab.net