Dalam kondisi apa dan bagaimanapun seorang muslim tetap terkena kewajiban menunaikan shalat lima waktu pada waktunya secara sempurna. Namun dalam kondisi tertentu seperti sakit,sedang berada diperjalanan, tidak mendapatkan sesuatu yang digunakan untuk bersuci atau karena factor lain, seseorang diperkenankan menunaikannya sesuai dengan kemungkinan dan kemampuan yang ada saat itu.
Ini sebagaimana firman Allah Swt, dalam al-Qur’an:
“Allah tidak akan memberikan beban kewajiban kepada seseorang kecuali berdasar kemampuannya.” (QS al-Baqarah: 286).
Salah satu prakteknya seperti dialami oleh jamaah haji di dalam pesawat ketika sudah masuk waktu shalat.
Salah satu syarat sahnya shalat adalah suci dari hadas besar dan kecil, serta najis. Untuk menjaga dari hadas besar dan najis, barangkali banyak orang bisa melakukannya, tapi sebaliknya sedikit orang yang bisa menjaga diri tetap suci dari hadas kecil sehingga untuk menjalankan shalat mereka harus bewudlu dengan air yang mensucikan atau tayamum dengan debu terlebih dahulu.
Melihat fasilitas air di pesawat dengan kapasitas penumpangnya, rasanya tidak mungkin para jamaah haji mendapatkan air wudlu, begitu pula ketika akan tayamum, sulit mendapatkan debu- meski disaandaran kursi sekalipun- sesulit mendapatkan air di pesawat.
Dengan demikian tayamum di pesawat memang belum memenuhi syarat, dengan kata lain tidak sah karena tidak terdapat debu yang bisa digunakan untuk bersuci.
Kondisi semacam itu dimana seseorang tidak bisa mendapatkan alat untuk bersuci (air dan debu) dalam terminology fiqh disebut faqidu al-thahurain. Dalam kondisi ini seseorang tetap wajib menjalankan shalatnya sendiri-sendiri karena hurmatu al-wakti bukan liada’I al-fardli. Jamaah dengan imam yang faqidu al-Thahurain tidak sah karena shalatnya wajib I’adah (diulang kembali sewaktu sudah mendarat dengan niat qadla).
Asumsi kedua, dalam pesawat penumpang masih dalam keadaan suci karena masih memiliki wudlu, mereka wajib menjalankan shalat sendiri atau berjamaah. Bolehkan menjalankannya dnegan duduk? Menurut Syafi’iyah apabila tidak mungkin shalat dengan berdiri karena kesulitan atau kepayahan (‘ajzu) atau kemungkinan mabuk udara maka boleh shalat dengan duduk. (Al-fiqhu al-Islami:II,826).
Kalau diteliti lebih lanjut, ‘ajzu itu tidak bisa dilihat dari factor internal individu ansich, tapi juga factor eksternal meliputi ruang dan jalannya tumpangan, dalam hal ini pesawat yang tidak memungkinkan seseorang shalat dengan berdiri.
Jadi, jamaah dengan duduk bagi penumpang pesawat boleh-boleh saja sepanjang dipenuhi syarat-syaratnya yang meliputi: pertama, niat makmum bagi makmum. Kedua, shalat yang dijalankan antara imam dna makmum adalah shalat yang sama. Ketiga, makmum tidak berada di depan imam, yang dalam prakteknya yang menjadi standar adalah pantat imam (makmum tidak maju melebihi pantat imam).
Keempat, jamaah beraada di satu tempat sehingga makmum bisa melihat dan mendengarkan suara imam. Melihat dan mendengan imam tidak harus secara langsung karena syarat itu bisa terpenuhi dengan melihat makmum di depan atau sampingnya yang secara bersambungan dapat melihat imam. Dan yang kelima, makmum mengikuti shalatnya imam. (Al-fiqhu al-Islami; 1, 1240-1252).