Tauhid Rububiyah Bukan Alat Mengafirkan Muslim (Bagian 1)

Tauhid Rububiyah Bukan Alat Mengafirkan Muslim (Bagian 1)

Tauhid Rububiyah Bukan Alat Mengafirkan Muslim (Bagian 1)

Tauhid Rububiyah merupakan salah satu dari tiga klasifikasi pembagian tauhid kepada Allah, dan dua sisanya adalah Tauhid Uluhiyah dan Tauhid al-Asma’ wa al-Shifat. Tauhid Rububiyah memiliki arti mentauhidkan Allah Swt. dengan melihat pada sifat-sifat Kemahakuasaannya, diantaranya kemampuan menciptakan dan mengatur alam semesta.

Dan, orang yang mengingkari tauhid rububiyah hanyalah orang atheis, yang tidak percaya adanya Tuhan. Kedua adalah tauhid uluhiyah. Tauhid Uluhiyah adalah beribadah dengan sungguh-sungguh hanya kepada-Nya. Tauhid Uluhiyah yang membedakan antara orang yang beriman dan orang musyrik. Ketiga adalah tauhid Asma’ wa Shifat, yang berarti meyakini keesaan Allah dengan meyakini kebenaran nama-nama dan sifat-Nya yang ditetapkan oleh-Nya sendiri.

Klasifikasi ini rupanya menyisakan masalah. Implikasi pembagian tauhid menjadi tiga tersebut adalah keyakinan mereka yang meyakini bahwa ada orang Islam yang sikapnya seperti orang musyrik. Mereka ini dianggap bertauhid namun masih dalam tataran rububiyah, karena mereka tidak mengatakan kalau pencipta alam semesta ini bukan Allah.

Namun, mereka dianggap tidak benar dalam tataran tauhid uluhiyyah karena misalnya masih berziarah itu sedang menjadikan kuburan sebagai “sesembahan” selain Allah Swt. Selain itu, mengutip penjelasan Abu al-‘Izz al-Hanafi dalam Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah, para sufi juga menjadi sasaran dimana mereka dianggap tujuan mengesakan Tuhan hanya sampai tingkatan tauhid rububiyah.

Mereka menvonis demikian karena mereka yang berziarah itu akan tetap berkata bahwa yang menciptakan alam semesta adalah Allah Swt. Namun, dengan mereka ber-tawassul, mengirimkan doa kepada yang wafat, menurut mereka tidak bisa dianggap mengamalkan tauhid uluhiyyah. Dengan kata lain, tingkatnya sama dengan orang musyrik dan kafir. Keislaman orang yang dianggap musyrik tidak sah. Sebuah tuduhan yang tidak mendasar, karena menvonis sebuah praktik – seperti tawasul atau berziarah – yang pada prinsipnya ada perbedaan pendapat para ulama di dalamnya (mukhtalaf fihi).

Dalil yang sering digunakan untuk menjadi dasar pendapat pelaku tauhid rububiyah, diantaranya surah Yunus: 31:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah, siapa yang memberikan kalian rezeki dari langit bumi? bukankah Dia adalah yang memiliki pendengaran dan penglihatan, yang dapat menghidupkan yang mati, mematikan yang hidup , dan mengatur segala sesuatu. Maka (orang-orang musyrik) mereka akan berkata, “Dia adalah Allah !”. Maka katankanlah, mengapa kamu tidak beriman ?”

Dari klasifikasi tauhid itu saja, kita bisa bertanya mungkinkah orang yang menyekutukan Allah tetap dapat disebut orang yang beriman ? Ayat diatas tidak sama sekali menunjukkan bahwa orang orang yang musyrik adalah orang yang beriman. Justru ayat ini menantang keyakinan orang musyrik sendiri, yang meyakini ada yang sama berkuasa di alam semesta ini seperti Allah Swt.

Padahal ketika mereka ditanya siapa yang memberikan rizki dari langit dan bumi, berupa hujan sehingga tanam-tanaman tumbuh, membuat kita mendengar dan melihat, menumbuhkan tumbuhan dari tanah, bahkan mengatur alam semesta seluruhnya, mereka akan mengatakan yang menciptakan adalah Allah Swt. Karena mereka sebenarnya mengakui, maka Quran mengakhiri redaksinya dengan mengatakan “Mengapa kamu tidak beriman ?” (Afalaa Tattaquun ?).

Bersambung