Tauhid Itu Anti-Patriarkhi

Tauhid Itu Anti-Patriarkhi

Tauhid Itu Anti-Patriarkhi
Sampai sekarang, perempuan Arab Saudi masih dilarang menyetir sendiri. (foto: BBC News)

Pada masa Pra-Islam, masyarakat Jahiliyah menganut sistem patriarkhi studium mentok. Bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap memalukan, perempuan dijadikan jaminan hutang, hadiah, mahar, waris, dll layaknya benda mati yang tidak bernyawa, apalagi berakal dan berhati.

Pada masa itu, perempuan sepenuhnya berada di bawah kendali laki-laki. Ayah bahkan bisa menikahi anak perempuan kandungnya, anak laki-laki bisa menikahi ibu kandungnya, dan perkawinan sedarah lainnya. Sementara perkawinan dimaknai sebagai kepemilikan mutlak laki-laki atas perempuan.

Islam mendobrak relasi ini dan menegaskan bahwa perempuan bukan hamba laki-laki sebab keduanya sama2 punya status melekat sebagai hanya hamba Allah (Abdullah). Laki-laki juga bukan patron perempuan sebab keduanya sama-sama mengemban amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl sehingga harus jadi mitra dlm memakmurkan bumi.

Perkawinan tidak melunturkan status dan amanah melekat ini. Islam pun mengubah relasi suami-istri dari patron-klien menjadi kemitraan. Pernikahan adalah berpasangan (zawaj) yang bertujuan melahirkan ketenangan jiwa (sakinah, seks hanyalah sarana, bukan tujuan) yang dilandaskan pada relasi cinta kasih (mawaddah wa rahmah, bukan kekuasaan) (Ar-Rum/30:21).

Dalam berhubungan seksual, suami dan istri itu bagaikan pakaian (libas) bagi pasangannya (Al-Baqarah/2:187) dan sebaik-baik pakaian adalah taqwa (libasuttaqwa, al-A’raf/7:26).

Jadi, iman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan (tauhid) mempunyai cara pandang atas relasi laki-laki dan perempuan yang bertentangan dengan cara pandang patriarkhi.

Karenanya, 1400 tahun lalu Allah sudah mengisyaratkan bahwa iman pada Allah menjadi syarat kemampuan untuk meyakini bahwa perempuan bisa menjadi mitra setara dalam kebaikan:

“Laki-laki dan perempuan yang BERIMAN, mereka adalah saling menjadi auliyaa’ (penjaga/penolong/pelindung) satu sama lain, bahu membahu memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan.” (at-Taubah/9:71).

Sepertinya hanya dengan cara ini, tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki bisa bareng-bareng keluar dari kezaliman menuju cahaya (minadzdzulumati ilannur) sehingga bisa “Habis gelap, terbitlah terang.”

Selamat Hari Kartini buat perempuan dan laki-laki yang yakin keduanya mampu jd mitra dalam kebaikan.

Semoga kita bisa terus-menerus memupuk tauhid dan iman agar punya daya dorong kuat untuk melahirkan kemaslahatan dan kebajikan di muka bumi, termasuk di rumah tangga. Aamiin YRA.

Walahhu a’alm bishshawab.

*) Dr. Nur Rofiah