Di perjalanan pulang mudik lebaran tahun 2022, dari Cirebon ke Bekasi melintasi jembatan kali Sewo, Indramayu, seorang penumpang berkata “Ih! Mental orang miskin”, saat melihat barisan warga setempat yang membawa sapu, berebut hamburan koin dari pengendara ke area jembatan. Ayahnya, sambil duduk di kursi supir, menjelaskan “itu udah ada dari jaman ayah kecil (1960an).”
Penilaian serupa terulang kembali satu tahun kemudian. Kali Sewo masuk pemberitaan akun folk news di Instagram dan Twitter akhir bulan Maret 2023. Sejumlah pengguna berkomentar, “Berawal dari mistis lalu dimanfaatkan oleh oportunis”, “Butuh duit itu kerja, tingkatin keahlian supaya bisa bersaing, gimana mau maju haduuuhhh”, “Bikin sempit jalan aja, berarti kalau macet salahin aja mereka ya”.
Rutinitas mudik setiap tahun rupanya menjelma lebih dari sekedar pertemuan silaturahmi. Buah dari urbanisasi tahun 1980-1990an itu memungkinkan ‘yang modern’ dan ‘yang tradisional’ saling berbentur lewat tatapan dan stigma yang terbawa arus kendaraan.
Gegar budaya pada permulaan urbanisasi tahun 1980an awalnya menghasilkan kegandrungan saling-silang antara obsesi orang kota pada hal-hal tradisional, dan obsesi orang-orang desa terhadap hal-hal perkotaan. Perpindahan penduduk memang sering diikuti romantisme kampung halaman maupun romantisme perantauan.
Meskipun istilah modern-tradisional sangat bernuansa, tidak sepenuhnya dikotomis, dan bisa saling berbagi ciri, tapi penyederhanaan ini murni untuk keperluan efektifitas penulisan dalam menggambarkan sebuah alam pikiran yang mengapresiasi rasionalitas, kebersihan, keuletan, dan kompetisi di satu pihak, dan alam pikiran lain yang mengapresiasi komunalitas, hal gaib, tradisi, dan harmoni alam di lain pihak.
Di kasus Kali Sewo, hubungan kota-desa dan modern-tradisional tidak berjalan selalu romantis. Kendati kendaraan plat B rutin memenuhi tempat-tempat makan tradisional di daerah setiap musim lebaran, tapi sinisme modern terhadap ‘yang tradisional’ dan ‘yang daerah’ juga masih berlangsung.
Ini bukan hal baru. Bahkan banyak film dan penelitian ilmu sosial tahun 1980-1990an memuat sinisme dan stigma terhadap tradisional dan kedaerahan. Dalam konteks kali Sewo tahun 2023, sinisme itu terjadi lantaran ketimpangan antara satu pihak yang masih terbelenggu oleh masalah struktural berkepanjangan, sedangkan pihak lain telah melejit sedemikian maju dengan aneka capaian, kesempatan, dan kenyamanan metropolis.
Pemandangan di Kali Sewo telah dimulai sekitar sejak perempat awal abad 20 dan terwaris selama beberapa generasi. Adalah hikayat Saedah dan Saeni yang melekat di masyarakat Kali Sewo, kisah sepasang kakak beradik yang dibuang orang tua mereka karena kedapatan menggunakan uang dan beras milik ibu tiri. Ibu tiri tak bekerja, sementara ayah mereka pergi ke hutan beberapa hari untuk beberapa ikat kayu bakar, sedangkan di rumah tak tersedia cukup makanan. Saedah Saeni lapar.
Saedah dan Saeni semakin kurus. Sepulang kerja, ayah memarahi ibu tiri dan mengancam cerai. Tapi diam-diam ada persekongkolan antara ibu tiri dan dukun. Setelah suaminya kena guna-guna, ibu tiri minta pembuktian: “kalau kamu cinta aku, buanglah anak-anakmu di hutan.” Cerita versi lain menyebut, hulu tragedi ini bermula ketika ayah mereka terpikat menikahi biduan tarling saat melipur sepi lantaran ditinggal istri pertama yang seorang pekerja migran.
Seorang kakek misterius menyelamatkan Saedah dan Saeni di hutan. Kelak, si kakek memberikan Saedah ajian kharisma, ajian yang mengantarkan Saedah pada gemilang karir penari Ronggeng. Mendengar Saedah sukses, orang tua Saedah dan Saeni berniat berkunjung, namun ajal lebih dulu menjemput Saedah. Saeni menyampaikan kalau ada titipan uang dan beras dari Kak Saedah untuk ayah ibu. Sepulang berkunjung kedua orang tua mereka jatuh di Kali Sewo. Waktu bergulir. Warga percaya, konon kisah hidup mereka kini abadi dalam jelmaan pohon, makam, dan buaya putih di pinggir Kali Sewo.
Kisah Saedah dan Saeni pada dasarnya soal kemiskinan dan mistis, dua hal yang sampai hari ini masih mudah ditemui di Indramayu dan daerah sekitarnya. Keterdesakan pemenuhan kebutuhan hidup sering memaksa orang menggadai tubuh, keturunan, persaudaraan, dan keyakinan. Nasib ada di tangan rentenir, penyalur, dan dukun. Dari Memuja Siluman (1937/1977) karya Moh. Ambri, Telembuk (2017) milik Kedung Darma Romansa, sampai series Keloas (2022) besutan kanal Wong Sugih, hampir semuanya melukiskan variasi kegetiran bumi Indramayu dan sekitarnya.
Kedemawanan dan kemurah-hatian Saedah Saeni mungkin menginspirasi aktivitas tebar koin di Kali Sewo. Namun tetesan rezeki dari hikayat lokal tetap tidak berarti apa-apa di depan masalah struktural Indramayu seperti abrasi laut, nelayan gurem, pengangguran, industrialisasi, pekerja migran, urbanisasi, tengkulak, kenakalan remaja, buruh tani, prostitusi, dan lainnya yang mengintai dari sisi pantai utara, pesawahan selatan maupun dari sisi tengah jalan pantura. Selama masalah struktural itu ada, selama itu pula kebuntuan penghidupan membentuk siklus gadai hal-hal non-materil.
Jadi, keberadaan Kali Sewo dengan mitos yang melekat di dalamnya boleh jadi hanya permukaan kecil dari gunung es yang lebih besar dari persoalan mentalitas miskin, eksploitasi tradisi, dan sinisme lainnya, yang sebenarnya perlu diselami untuk mengungkap bagaimana hubungan sebenarnya antara masyarakat dan ruang hidup sekitarnya.
Sinisme di awal tadi telah lahir dari sudut pandang metropolis. kabin mobil berpendingin dengan laju 50-80 Km/jam bukan wahana kondusif untuk memindai pemandangan sisi kanan-kiri jalan sambil menerawang kemungkinan pola yang mungkin sedang bergolak di masyarakat setempat. Kecuali jika kemampuan analisis sosial terlanjur menubuh di alam bawah sadar.
Di kabin mobil, ada kecenderungan fokus penumpang tertambat pada tujuan perjalanan. Kabin mobil berubah mirip ‘gelembung’ yang memungkinkan bias kelas dan bias posisi bisa menguat dalam menentukan bagaimana masing-masing penumpang melihat pemandangan luar jendela. Tidak ada tatapan lebih romantis sekaligus ironis selain delik mata menyorot kemiskinan dari balik kaca mobil.
Kebalikan dari cara pandang itu telah muncul di tahun 1840. Nun jauh di Paris sana, orang-orang beralih dari memelihara anjing puddle ke kura-kura untuk memperlambat langkah jalan. Flaneuring, atau turtle-walk, kata Walter Benjamin, intinya sejenis ‘gastronomi mata’: berjalan dan mencerap suasana sekitar untuk membedah laju pertumbuhan kapitalisme dan melawan kelumrahan tatapan cuek disekitar pembangunan wilayah tertentu.
Mengganti perjalanan mudik dengan cara flaneuring akan menguras keringat. Biaya waktu dan biaya kenyamanan membengkak. Solusi yang mungkin bisa ambil adalah mengenakan tatapan flaneuring selama mobil melaju. Namun modifikasi cara memandang ini berkebalikan dengan kemapanan yang ada, lantaran neoliberalisme terlanjur mengkavling kesadaran―sebuah alam kesadaran yang sepenuhnya berbeda dengan Saedah dan Saeni maupun para pelestarinya.
Sebagai nafas pendidikan, neoliberalisme menghargai orientasi jenjang karir, semangat kompetisi belajar, keuletan, visi-visi pasca-studi, dan kesadaran landskap pasar kerja. Sebagai nafas budaya, neoliberalisme membentuk ruang dan ritme kehidupan dari jejaring dan simpul bangunan-bangunan publik dengan penekanan pada kegiatan transaksional maupun gratifikasi kenikmatan.
Keduanya saling melengkapi, dan sulit menoleransi anggota masyarakat yang kedapatan meminta-minta harta untuk kesekian kalinya. Neoliberalisme melihat bahwa etos kompetitif individu tidak berhubungan dengan struktur dan ragam kenyamanan fasilitas yang tersedia di suatu tempat.
Tatapan neoliberal melihat kehidupan berjalan menurut prinsip ‘rajin pangkal pandai, ulet pangkal sukses’. Ketika perjalanan mudik menyibak tabir bahwa kenyamanan metropolis dan akademisme Twitter bukan kenyataan tunggal dan tidak terjadi di semua tempat, maka resistensi kesadaran muncul dengan menawarkan apologi kalau tetesan koin di jembatan Kali Sewo adalah konsekuensi ‘alam’ untuk mereka yang tak memeluk ‘rajin pangkal pandai, ulet pangkal sukses’. Apologi ini memungkinkan jarak antara proses pengamatan dan kesimpulan label ‘mentalitas miskin’ sedekat urat nadi.
Bagi pendidikan neoliberal, jatung dari masalah sosial terletak, jika bukan di mentalitas individu/kelompok, maka terletak di akses partisipasi. Masalah sosial bisa selesai kalau mentalitas diubah, atau akses partisipasi diperluas, meskipun kenyataan lapangan sering menunjukkan pokok masalah aslinya disebabkan segelintir orang memiliki dan berkuasa untuk banyak hal.
Hampir tidak ada ruang perhitungan untuk akar sejarah dan gambaran etnografis bagaimana kekayaan dan kekuasaan itu mulanya terkumpul, bagaimana masalah sosial awalnya lahir dan bagaimana sebenarnya masyarakat melihat dunianya, sebab keduanya tak bisa diterjemahkan dalam bentuk angka dan indeks―sebuah ukuran baik-buruknya situasi dan selesai-tidaknya permasalahan.
Pengajaran imajinasi di atas telah berlangsung setidaknya selama 20 tahun terakhir sejak Indonesia keluar dari krisis 1998, dan telah menjadi tawaran kacamata dominan―di samping media sosial dan tweet-tweet akademis―untuk generasi kelahiran 1990an dan 2000an (kelompok usia mayoritas pengguna Twitter dan Instagram) dalam melihat masalah-masalah sekitar.
Dalam konteks ini, ‘keberjarakan’ terjadi sejak dalam gagasan dan saat melihat fenomena. Satu sisi, epistemologi metropolis mereka sudah sejak awal berjarak dengan masyarakat di daerah. Sementara, perbendaharaan teori hasil sekolah tidak pernah diinterogasi ulang. Di lain sisi, kebertubuhan dalam proses pengamatan dan pengalaman juga berjarak.
Ketika tahun 1980 masih selisih 43 tahun silam, di kabin mobil hari ini masih ada orang tua mereka yang menjelaskan kenapa begini dan begitu untuk satu fenomena di desa yang menurut Gen Z dan Millenial kota tampak ganjil. 22 tahun kemudian, ketika Gen Z dan Millenial telah menjadi kemapanan baru di tahun 2045, tidak menutup kemungkinan penjelas ini-itu dari generasi terdahulu tidak lagi tersedia. Peluang tatapan neoliberal menjadi kemapanan lumrah, membesar.
Tahun 2023, Millenial dan Gen Z masih berada di posisi rintis karir. Persoalannnya hanya tinggal menunggu, implikasi apa yang mungkin terjadi ketika tatapan neoliberal terbawa di puncak karir atau di posisi strategis yang menentukan hajat banyak orang di tahun 2045? Ini bukan barang baru. Embrio tatapan intervensi-stigmatis sudah terjadi sejak kolonialis Eropa merintis program perbaikan hidup orang pribumi. Dan fermentasinya mengental saat Orde Baru merintis upaya serupa untuk mengantar Indonesia tradisional ke versi modern.
Antropolog Tania Murray Li menyebutnya ‘wali-wali masyarakat’. Singkatnya, ‘si paling tau’ hidup harus begini dan begitu, menuju kesini dan kesitu menurut ukuran-ukuran kebersihan, kesejahteraan, gaya hidup, dan etos modern. Di samping itu, besarnya pengaruh bawah sadar gramatika visual media sosial, mungkin melahirkan varian baru bernama ‘wali-wali masyarakat si paling hidden gem’.
Implikasinya? Walaupun sejumlah hal di daerah diromantisasi, tapi ada sebagian hal-hal di daerah tetap jadi olok-olok. Misalnya seperti pelabelan warga Kali Sewo bermental miskin dan jamu kobok Jogja tidak higienis. Sementara, sebagian hal-hal lain mungkin jadi objek komoditas informasi, sebagaimana objektifikasi rumah Abah Jajang berpemandangan curug Citambur, Cianjur.
Cara kita menatap sesuatu menentukan cara kita memperlakukan sesuatu. Problemnya adalah iklim neoliberal yang menggiring individu pada kecenderungan cara pandang tertentu, sambil mengalihkan dari varian cara pandang lain. Proses perbandingan bagaimana wujud masalah sebenarnya kemudian hanya terjadi dalam batas normatif kerangka yang dikehendaki neoliberalisme, bukan terjadi di ranah esensi sebenarnya. Iklim ini terus merajut kemapanannya dengan memproduksi muda-mudi dan ‘wali-wali masyarakat’ yang berjarak.