Berikut ini adalah testimoni Qadhil Qudhat Najmuddin Abdurrahman b. Syamsuddin Ibrahim al-Barizi al-Juhni al-Syafii yang disadur dalam kitab “Al-Ifshah ala Masail al-Idhah” karya Abdul Fattah Husain Rawah al-Makki:
“Suatu masalah yang tiap tahun berulang di musim haji dan menjadi ujian bagi kalangan ulama maupun orang awam yaitu perempuan yang berihram mengalami datang bulan sebelum mengerjakan tawaf wajib yaitu tawaf ifadah. Berbagai cara dilakukan agar bisa tawaf termasuk dengan cara ditandu karena anggapan tidak menginjak lantai masjidil haram bagi wanita haid adalah boleh.
Pada tahun 707 H. cara ini banyak dilakukan perempuan terpandang dan lainnya. Diantara mereka ada yang meminum obat untuk menunda masa menstruasi dan mereka sangka berhasil sehingga mereka mandi junub lalu mengerjakan tawaf namun sesudah itu keluar haid seperti biasanya. Ada pula perempuan yang darah haidnya berhenti sehari tanpa minum obat kemudian mandi junub dan tawaf tapi setelah itu menstruasi kembali. Ada juga perempuan yang masih menstruasi melakukan tawaf dengan terlebih dulu mandi bersuci. Sebagiannya lagi memilih bertawaf dengan ditandu dalam kondisi menstruasi.
Itulah masalah perempuan haid yang terbagi ke dalam empat kelompok. Sehingga ketika masalah pelik itu terjadi pada kaum perempuan dan mereka khawatir pulang belum tuntas manasik hajinya, padahal mereka datang dari daerah yang jauh dengan risiko perjalanan berat, meninggalkan kampung halaman, berbisah dengan orang-orang yang dicintai, anak-cucu dan kerabat, termasuk biaya yang tidak sedikit; sehingga mereka banyak menanyakan masalah tersebut. Akal mereka hampir saja jatuh pada keputusan yang salah. Apakah ada solusi mengatasi masalah ini? Apakah dari masalah besar ini ada keringanan?
Atas dasar itulah aku memohon kepada Allah agar diberikan pertolongan dan petunjuk untuk memberikan solusi yang meringankan bagi hamba-hamba Allah dari pandangan seluruh ulama mazhab yang telah Allah jadikan di balik perbedaan mereka itu ada rahmat. Sehingga muncul jawaban dariku. Wallahu a’lam bisshawab.
Bahwasanya boleh bertaqlid pada salah satu dari mazhab-mazhab fiqh dan boleh pula bagi tiap-tiap orang bertaqlid kepada salah satu pendapat mereka dalam satu masalah sementara dalam masalah lainnya bertaqlid pada mazhab yang lain. Tidak ditentukan bertaqlid kepada mazhan tertentu dalam berbagai masalah. Jika hal ini dimengerti maka sah bagi masing-masing dari 4 kelompok haji yang memiki masalah di atas untuk mengikuti pendapat sebagian mazhab.
Pertama, bagi kelompok 1 (pakai obat untuk menunda menstruasi) dan 2 (menstruasinya tidak teratur) maka menurut mazhab Syafii tawafnya sah dengan mengikuti salah satu pendapatnya yakni sekiranya haidnya berhenti sehari atau dua hari sebab pada saat itulah perempuan dianggap suci. Qaul ini sekalipun dianggap talfiq (mencampur berbagai pandangan) akan tetapi telah dibenarkan oleh pengikut imam Syafii semisal al-Ghazali, al-Mahalli, Manshur al-Maqdisi, al-Ruyani, bahkan dipilih oleh Abu ishaq al-Marwazi dan diditetapkan oleh al-Darimi.
Adapun menurut mazhab Abu Hanifah dipastikan tawafnya sah karena menurutnya tidak disyaratkan orang yang tawaf dalam keadaan suci dari hadas dan najis. Menurutnya sah tawafnya wanita yang haid dan orang junub sekalipun hal itu awalnya sangat dihindari. Sementara dalam mazhab Malik tawaf mereka juga sah sebab pada dasarnya perempuan pada waktu tidak keluar darah haid adalah kondisinya suci. Begitupun pendapat mazhab Hanabilah sama dengan mazhab Maliki.
Kedua, bagi kelompok 3 (wanita yang memaksakan tawaf dalam kondisi haid sekalipun mandi terlebih dulu) tawafnya tetap sah berdasarkan pendapat Abu Hanifah. Sementara jika mengikuti mazhab Hanabilah sekalipun tawafnya sah akan tetapi ia harus membayar dam berupa menyembelih onta dan ia dianggap berdosa karena masuk mesjid dalam kondisi junub.
Ketiga, bagi kelompok 4 (perempuan yang haid tapi tawaf di atas tandu). Mereka adalah yang sudah menggunakan tandu dari penginapannya di Mekkah. Menurut ulama Mesir yang menukil mazhab Maliki bahwa orang yang sudah tawaf qudum, sai namun karena ia awam atau lupa tidak mengerjakan tawaf ifadah dan langsung meninggalkan Mekkah maka tawaf qudumnya itu cukup menggantikan tawaf ifadah. Akan tetapi pandangan ini ditakhrij oleh sesama pengikut mazhab Maliki asal Baghdad seperti Qadi abu Abdillah Muhammad. Menurutnya jika jarak waktu meninggalkan Mekkah itu lebih dua hari dan tidak mungkin kembali karena ada halangan yang mengancam.
Saya sendiri berpendapat seputar masalah kelompok 4, bahwa ia wajib kembali jika mampu di tahun-tahun berikutnya untuk mengganti. Sementara sebagai kafarat tidak mengerjakan tawaf ifadah karena tidak tahu atau lupa itu maka ia harus memotong kambing untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Pandangan ini dalam rangka kehati-hatian memilih hukum.
jika tawaf keempat kelompok perempuan itu dianggap sah maka berarti mereka bisa ber-tahallul. Wallahu a’lam.”
Demikian testimoni Al-Baziri semoga bermanfaat khususnya bagi perempuan yang menunaikan ibadah haji.