Seseorang telah kehilangan tasbihnya pada sebuah malam sebelum Ramadhan beberapa tahun lalu. Zikir rutin sehabis Isya’ membuatnya mengantuk. Di luar, hujan sore sebelumnya menyisakan gerimis yang panjang. Udara sejuk tanpa angin. Entah pada ratusan lafaz zikir ke berapa dia terlena dalam posisi bersila. Di antara ujung-ujung jemarinya masih tergantung seutas tasbih. Ketika sadar, tasbih itu tak ada lagi di tangannya.
Tasbih? Dia sudah lupa sejak kapan menggunakan rangkaian manik-manik kayu eboni warna ungu-tua itu. Yang diingatnya adalah bahwa tasbih itu sebenarnya dianyamnya sendiri dari rosario yang terdiri dari 108 butir manik-manik pemberian seorang bhiksu tua yang pernah dikenalnya pada masa lalu — seorang bhiksu yang sudah mokhsa. Seperti umumnya sebuah tasbih, ia merangkai butiran manik-manik itu menjadi 99 biji. Ia menyimpan 9 buir sisanya di sebuah kotak kayu.
Dari bhiksu itu dia mengenal berbagai macam tasbih Buddha. Panjang rangkaian manik-manik tasbih Buddha bermacam ragam. Yang terpendek adalah rangkaian 8 manik-manik. Itu adalah simbol delapan dharma. Yang lebih panjang memiliki 21 manik-manik — biasanya terbuat dari batu akik berbagai warna. Ada juga rangkaian 27 dan 54 yang terbuat dari berbagai jenis kayu padat yang amat keras. Untuk kedua jenis rangkaian tasbih ini, proses membuatnya sangat unik.
Agar setiap butir manik-manik kayu itu mengkilap, seorang bhiksu harus menyepuhnya dengan cara meremaskan jari-jari tangan pada sat persatu butirannya, sambil mengucapkan ratusan ribu mantra. “Zikir” seorang bhiksu ternyata lebih keras dan lebih berdisiplin. Zikir para bhiksu dilantunkan dalam berbagai suara. Senandung, gumam, rintihan, ratapan, dan berbaga tata-suara mantra, dilantunkan sesuai jenis-jenis gerakan tasbihnya.
Yang paling menarik adalah tentang tasbih terpanjang, terdiri dari 108 butir manik-manik. Beberapa jenis tasbih panjang ini terbuat dari mutiara. Ini adalah jenis tasbih Buddha yang dimiliki hampir semua aliran — Mahayana, Hinayana, Buddha Tibet, Zen Buddhism, dll. Jumlah 108 manik-manik menegaskan simbol dari ajaran tentang 108 jenis dosa yang diyakini dalam Buddhisme. Para bikhsu aliran Theravada menggunakan jenis tasbih ini, lebih ketimbang yang lainnya.
Kembali ke seseorang yang kehilangan tasbihnya itu. Dia yakin akan menemukannya kembali. Tasbih yang semula adalah rosario 108 manik-manik milik seorang bhiksu tetaplah sebuah benda yang profan. Bisa hilang dari sebuah ruang, tapi bisa ditemukan kembali di suatu waktu. Ia telah menyimpan 9 manik-manik aslinya untuk disisakannya hanya menjadi rangkaian 99 manik-manik tasbih, agar tercipta menjadi simbol Asmaul Husna — 99 nama indah Tuhan. Walaupun pernah dilumuri jutaan mantra Buddhis dan kini dilumuri dengan lafaz tahmid dan takbir, tasbih yang “kesingsal” itu tetaplah tak akan pernah berubah wujud, atau — ia hanya mengalami “transformasi ontologis.”
Pada tahun kelima sejak tasbih itu hilang, ia menemukannya kembali secara ajaib di sebuah gulungan sajadah, tepat pada malam ke-23 Ramadhan tahun ini. Mungkin ini semacam hadiah Lailat’ l-Qadr.