#TanyaIslami: Susah Percaya Pemerintah, Apakah Itu Dosa?

#TanyaIslami: Susah Percaya Pemerintah, Apakah Itu Dosa?

Dalam Islam diajarkan untuk taat kepada pemerintah, namun di sisi lain bagaimana jika seorang warga merasa kecewa dengan pemerintah hingga muncul rasa tidak percaya dengan mereka, atau dalam bahasa lain, susah percaya pemerintah. Apakah menurut Islam hal tersebut diperbolehkan?

#TanyaIslami: Susah Percaya Pemerintah, Apakah Itu Dosa?

Dalam hidup bernegara, seringkali kita sebagai warga merasakan kinerja pemerintah yang kurang serius dalam menangani beragam persoalan. Mulai dari soalan pendidikan, ekonomi, stabilitas politik dan keamanan hingga persoalan ketersediaan faislitas yang memberikan kenyamanan bagi warga. Sebagai parameternya, para ahli survey kemudian membuat jejak pendapat soal tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah. Kadang hasilnya baik, kadang juga tidak. Bagi warga yang merasa bahwa kinerja pemerintah buruk, seringkali timbul dalam hati mereka rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah, atau susah percaya pemerintah.

Sebatas pengetahuan saya, dalam Islam diajarkan untuk taat kepada pemerintah, namun di sisi lain bagaimana jika seorang warga merasa kecewa dengan pemerintah hingga muncul rasa tidak percaya dengan mereka. Apakah menurut Islam hal tersebut diperbolehkan?

Jawab:

Terkait persoalan kewajiban taat kepada pemerintah atau pemimpin, al-Qur’an surat al-Nisa ayat 59 menjelaskan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Perintah untuk taat kepada pemimpin ini bahkan tanpa memandang status sosial darimana pemimpin tersebut berasal. Hal ini  didukung dengan hadis:

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِىٌّ

Artinya:

“Dengar dan taatlah kalian kepada pemimpin kalian, walaupun dia seorang budak Habsy.” (HR. Bukhari)

Di sisi lain, Rasulullah SAW juga mengancam orang-orang yang tidak taat dengan pemerintah, di antaranya melalui pernyataan beliau:

من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له

Artinya:

“Barang siapa yang melepaskan tangannya bai’atnya (memberontak) hingga tidak taat ( kepada pemimpin ) dia akan menemui Allah dalam keadaan tidak berhujjah apa-apa.” (HR. Muslim)

Lantas bagaimana jika pemimpin tersebut zalim? Rasulullah SAW tetap memerintahkan kepada kita untuk taat kepada pemerintah meskipun ia zalim:

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ وَقَالَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

Artinya:

“Dari Abu Hunaidah (wail) bin Hudjur RA, dari ayahnya, ia berkata: Salamah binti Yazid Al Ju’fi bertanya pada Rasulullah SAW: Ya Rasulullah, bagaimana jika terangkat di atas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah anda memerintahkan pada kami ? Pada mulanya beliau mengabaikan pertanyaan itu, hingga beliau ditanya yang kedua kalinya atau ketiga kalinya, maka Rasulullah SAW menarik Al Asy’ats bin Qois dan bersabda: Dengarlah dan taatlah kamu sekalian (pada mereka), maka sesungguhnya di atas mereka ada tanggung jawab/kewajiban atas mereka sendiri dan bagimu ada tanggung jawab tersendiri.” (HR Muslim)

Meski demikian, tentu ketaatan kita terhadap pemimpin yang zalim itu adalah sejenis ketaatan buta. Kita hanya diperintahkan untuk menaati perintah kebaikan, dan menolak perintah kemaksiatan. Rasulullah SAW bersabda:

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Artinya:

“Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Dengan demikian, meskipun misalnya kita menemukan pemerintahan yang diisi oleh orang-orang yang zalim, bukan berarti kita boleh tidak taat kepada mereka. Kita harus tetap taat jika memang apa yang mereka perintahkan adalah kebenaran. Namun jika yang mereka perintahkan adalah kemaksiatan, maka kita tidak boleh mengikutinya.

Rasulullah SAW bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Artinya:

“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

Lantas apakah sikap yang mesti kita tempuh ketika melihat seorang pemimpin atau pemerintahan yang zalim? Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita untuk memberikan peringatan kepada pemerintah dengan jalan yang baik, dan hal tersebut dinyatakan oleh Rasulullah sebagai jihad yang paling utama:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Artinya:

“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011).

Hal yang juga mesti diperhatikan ialah bagaimana kita hendak menakar seorang pemimpin itu zalim atau tidak? Kita perlu memikirkan hal ini dengan jernih. Jangan-jangan hanya karena keinginan personal kita tidak terpenuhi lantas kita dengan serampangan menyatakan bahwa pemimpin kita zalim. Jangan sampai terjadi seperti anekdot seorang pengendara yang melanggar aturan lalu lintas lalu ditilang. Nyatanya ia yang salah karena melanggar rambu, namun mentang-mentang ia harus mengeluarkan uang tilang, ia lantas menyatakan pemerintah zalim.

Secara garis besar kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kita boleh saja tidak percaya dengan pemerintah jika memang terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa tindakan pemerintah itu zalim, namun kita tetap harus menaati perintah pemerintah sebagaimana tertuang dalam undang-undang ataupun keputusan pemerintah. Jika kita hendak menegakkan kebenaran dalam arti hendak mengingatkan pemerintah, maka ingatkanlah dengan jalan yang baik. Jika kita terus menerus memupuk rasa ketidakpercayaan kita terhadap pemerintah, dikhawatirkan yang terjadi malah kita yang suudzon.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.

*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT