Sebagai institusi sosial sekaligus pendidikan partikular, kekhasan pesantren secara minim terletak pada hierarki kekeluargaan di dalamnya yang spesial, keakrabannya dengan kehidupan agraris ataupun elit feodal masa lalu, serangkaian kitab-kitab klasik yang wajib dipelajari, dan keterbukaannya (aksesible) pada rakyat kecil desa.
Tidak kurang juga kisah-kisah ajaib lintas generasi. Terbang, melipat jarak, anti-peluru, ataupun kekuatan semi-Marvelis adalah tema yang biasanya melekat pada tokoh sentral pesantren abad 19. Tema cerita ikut berubah seiring berubahnya zaman. Berkendara tanpa bensin, bersepeda lintas kota dengan waktu tempuh sejajar dengan pesawat, menangani masalah mortalitas, ataupun pertarungan epik lintas dimensi merupakan cerita-cerita khas tahun 1950-1980an.
Oleh generasi pesantren pasca-milenium, masa lalu terbayang sebagai periode keemasan pesantren yang romantis. Semilir angin kampung, kesibukan agraris, menyepi di malam hari, prestasi dibidang religi-kebangsaan, akrab dengan laku oral dan hafalan, dan aneka potret hidup yang oleh gairah nasional tahun 1980an dikategorikan dalam label ‘terbelakang’, karena kondisi kualitas estetik, sanitasi, dan orientasi hidup yang kebalikan dengan imajinasi modern.
Di tahun 1980an juga lah, ketika modernisasi dan pembangunan nasional sepenuhnya berayun, Islam Indonesia mengalami evolusi. Sebagai sebuah subkultur, pesantren tidak bisa lepas dari kemauan rezim Orde Baru yang pada masa itu menaruh antusiasme pada bagaimana caranya agar Islam di Indonesia tidak menjadi musuh rezim, melainkan menjadi pendukung sekaligus penyedia pembenaran etis-normatif atas agenda-agenda pembangunan.
Maka, muncullah bibit dari pemandangan di kota, yang hari ini kita kenal dengan sufisme urban, muslim kelas menengah, dan ekspresi-ekspresi fundamental lain di tengah hiruk-pikuk gairah belanja, fashion, konsumsi simbol, dan ekshibisi kekayaan-kesalehan. Di pesantren, pemandangannya mewujud dalam bentuk kurikulum dan orientasi modern seperti: munculnya integrasi SMK dan pesantren; mata pelajaran bahasa Inggris, Teknik Komputer Jaringan, dan bahkan pelajaran Otomotif.
Memang tidak semua pesantren mengalami pengaruh tersebut karena berbedanya magnitude pembangunan dan industrialisasi di daerah sekitarnya. Pesantren pun terbelah. Ada yang berhasil mempertahankan signaturenya, mencetak santri par-excellence, dan alumni-alumni pengisi posisi meritokratik. Ada juga yang tergopoh-gopoh sambil mengantar santri pada kompetensi hidup modern alakadarnya, dan membekalinya keikhlasan dan kesabaran setebal baja untuk mengarungi pasar tenaga kerja industrialis.
Ketimpangan ini mudah dikenali antara pesantren di wilayah pusat kota dan pesantren di pinggir kota (ataupun di kota satelit). Sejak alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan industri lebih banyak terjadi di wilayah pinggir kota, sejak itu pula pesantren di area terdekatnya tidak lagi didominasi santri berlatar agraris, melainkan muncul latar-latar baru seperti tenaga kerja internasional, supir, marbot, warung kelontong, dan sumber pencaharian non-agraris lainnya dengan kadar kegetiran sepadan, atau mungkin lebih.
Mirip seperti belangga lebur (melting-pot), pesantren, baik di wilayah kota ataupun pinggir kota, mempertemukan anak-anak dari aneka kalangan, merentang dari elit pejabat nasional hingga petani garam―meski dengan proporsi yang berbeda. Selama tiga atau enam tahun, mereka mengenyam pendidikan yang sama. Setelah lulus, nasib mereka tetap ditentukan oleh latar awal orang tua mereka.
Ada sebuah pola berulang di banyak tempat, di mana keturunan kyai besar pemilik pesantren biasanya makmur di bidang bisnis, birokrasi, ketokohan ataupun sukses melanjutkan institusi leluhurnya. Beberapa pesantren adalah sebuah yayasan filantropi: merancang kurikulum modern, memberikan janji meritokrasi, menerapkan biaya bulanan reguler bagi calon santri yang mampu, dan menggratiskan atau mendiskon biaya masuk bagi calon santri tidak mampu atau yatim.
Tujuannya murni membantu mobilitas sosial anak-anak tidak mampu. Namun, upaya tersebut sering kali gagal sebab, pertama, belum meratanya wawasan soal dinamika dunia modern di kalangan pengelola, pengurus ataupun pengajarnya; kedua, sempitnya pemaknaan ‘sabar, ikhlas, dan menerima takdir’ dalam pengajaran kepada santri, tanpa referensi pembanding di luar teks-teks agama; ketiga, bias diskriminatif kadang muncul secara institusional dalam bentuk favoritisme terhadap santri-santri yang melanjutkan kuliah.
Hal itu biasanya terjadi di pesantren-pesantren di wilayah pinggir kota atau kota satelit, yang secara geografis belum tentu menjadi pilihan prioritas bagi wali santri dari kalangan elit, yang pada derajat tertentu, bisa menjadi aktor penengah bagi sumberdaya di luar pesantren, baik dalam bentuk kekerabatan, perjanjian, ataupun intelektual.
Ketimpangan wawasan pesantren pun terjadi, ketika pesantren di pusat kota memiliki relasi aktorial lebih dekat dengan perguruan tinggi, daripada relasi aktorial pesantren di kota satelit. Kedekatan relasi ini menyajikan ruang pertukaran wawasan bagi khazanah aktual dan khazanah klasik―sesuatu yang belum tentu tersaji di pesantren di wilayah pinggiran (kalaupun terjadi, si santri yang bersangkutan perlu mengeluarkan energi yang tidak sedikit).
Salah satu konsekuensi yang paling mencolok dari ketimpangan ini adalah absennya kesadaran peta gerakan islam politik di sebagian kalangan pengajar pesantren di wilayah pinggiran, yang berimplikasi pada insensitivitas santri dalam bernavigasi di lautan informasi dan ideologi. Di pondok, santri mungkin marhabanan, namun di media sosial, ia tetap bisa terpersuasi oleh akun hijrah ataupun puitika dakwah Falix Siauw.
Akan tetapi, yang lebih pilu daripada itu adalah saat rentetan ketimpangan struktural dan ketimpangan wawasan tersebut mempercepat laju kemunduran sekelompok santri yang justru sepenuhnya komitmen pada agama dan teks-teks klasik.
Mereka ditelan digitalisasi dalam candu eskapis dari masalah kerentanan ekonomi, keterpinggiran asmara, ketidakpastian marital dan romantisasi Islam tradisional yang boleh jadi hanya terasa nikmat di kalangan mereka, namun secara bersamaan membekukan agama dan teks-teks klasik dari kebermanfaatan untuk kelompok di luar mereka ataupun kemanusiaan secara umum.
Romantisasi atas prestasi religio-kebangsaan Islam tradisional di masa lalu kemudian mulai menampilkan involusinya ketika kebekuan tersebut berhadapan dengan gerak zaman yang kaotik. Contoh terbaik mengenai masalah ini misalnya adalah, pertautan mesianistik menengenai vaksin, dajjal dan akhir zaman yang dipromosikan oleh salah satu pemimpin pesantren ternama.
Contoh lainnya adalah, ketika komitmen mendalam pada agama, tasawuf dan teks-teks klasik tetap tidak menjamin terlindungnya santri dari personalisasi iklan oleh algoritma situs perbelanjaan, karena tek terhubungnya jembatan analitik antara khazanah sufistiknya dengan aturan main dunia maya.
Seketika, dalih-dalih asketis dalam teks-teks klasik bisa berjalan beriringan dengan laku konsumerisme situs perbelanjaan, ataupun dengan laku ekshibisionisme komedi ala media sosial. Semua itu diterima apa adanya tidak hanya tanpa penelisikan mendalam, melainkan diberikan pembenaran sebagai ‘tambahnya nikmat’ dan ‘dakwah’.
Upaya untuk mencegah ketimpangan di pesantren dan kemunduran santri telah banyak diinisiasi, dari mulai modernisasi pesantren, integrasi universitas Islam dengan pesantren, hingga strategi pembagian kerja antara universitas Islam sebagai pencetak ilmuan Islam dan pesantren sebagai pencetak ulama. Tetapi nafas di baliknya sering kali berangkat dari semangat insuler dan ego-sektoral terhadap nativisme kebangsaan dan reaksi terhadap modernisme.
Implikasinya, gairah eksperimen atas kemapanan, keberanian berpetualang di kolam sudut pandang, tradisi ataupun ideologi, dan kejujuran terhadap pikiran sendiri, menubuh dengan malu-malu di sebagian kecil santri, sementara konservatisme menubuh pada sebagian besar lainnya.
Yang terjadi kemudian adalah, kepasifan teologis atas kondisi struktural yang menindas, dan tak terselesaikannya simpul distortif masa lalu yang kini terlanjur mapan, seperti fatalisme ala gabungan Islam-Jawa dan materialisme mentalitas urban yang ditelan apa adanya sebagai Islam.