Aksi pemenggalan kepala Samuel Paty menambah preseden buruk bagi kehidupan toleransi masyarakat Islam di Prancis. Motivasi Abdullakh Anzorov, sang pembunuh, melakukan aksi keji tersebut berlandaskan pada kegiatan pembelajaran di kelas yang menampilkan karikatur Nabi Muhammad SAW sebagai bahan diskusi tentang kebebasan berekspresi.
Kekerasan dengan motif penghinaan agama, khususnya persoalan karikatur Nabi Muhammad SAW ini bukan kali pertama. Tahun 2015 yang lalu, terjadi penembakan kantor sebuah surat kabar satir di Prancis, Charlie Hebdo. Para pelaku mendasari niat mereka karena merasa tindakan majalah tersebut yang menampilkan karikatur Nabi adalah penghinaan besar dan patut dibalas dengan nyawa.
Penembakan yang berujung pada pembunuhan sadis itu mengorbankan 12 nyawa. Sejarah akan mencatat betapa demokrasi dan kebebasan berpendapat dibayar dengan cara yang biadab. Namun, apa hanya aksi pembunuhan ini saja yang berbahaya?
Tidak, kondisi masyarakat Prancis setelah tragedi itu lebih parah lagi. Prancis masih mendapat tantangan untuk menjaga kehidupan toleransi dan keberagaman penduduknya. Hal ini akan menuntut kedewasaan dari negara yang menjunjung Liberté, égalité, fraternité (Kebebasan, keadilan, persaudaraan) mencegah terjadinya konflik SARA di tubuh masyarakat Prancis.
Tantangan ini tidak boleh diabaikan, harus dihadapi. Karena isu agama serta etnis paling gampang menyulut api dalam sekam. Akan sangat berbahaya bila tidak ditangani dengan baik dan hati-hati. Sebuah harian di Prancis, Le Journal du Dimanche, melakukan survei pasca penyerbuan kantor majalah Charile Hebdo itu pada 2015 lalu.
Hasilnya menunjukkan, 42% masyarakat Prancis menolak kartun yang diterbitkan mingguan Charlie Hebdo. Sementara itu, mereka yang mendukung pembatasan kebebasan menyampaikan pendapat di media sosial tercatat sebanyak 50%. Jajak pendapat itu juga mengatakan, sebanyak 81% responden mendukung pencopotan kewarganegaraan ganda terhadap mereka yang melakukan aksi terorisme di Prancis. Sedangkan bagi mereka yang pergi belajar di negara-negara yang dicurigai berkaitan dengan kelompok teroris, masyarakat Prancis lebih senang mereka dilarang kembali ke Prancis (68%).
Prancis saat ini ialah negara yang memiliki tingkat laju kaum imigran yang cukup tinggi di Eropa. Sebagian besar imigran itu ialah umat Muslim yang berasal dari negara bekas koloni Prancis sendiri. Orang-orang dari Aljazair, Tunisia dan Maroko menjadi tiga bangsa besar yang membangun komunitas Muslim di Prancis.
Populasi pemeluk agama Islam di Prancis pada 2017 saja sudah mencapai 8,8% dari total warga Prancis, membuat umat Islam menjadi kelompok minoritas terbesar di negara tersebut. Meskipun Prancis terkenal sekuler, Mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, yang kala itu menjabat sebagai menteri dalam negeri menginisiasi pembuatan “French Council of the Muslim Faith” (Conseil Français du Culte Musulman – CFCM). Dewan ini diperuntukkan guna mengatur aspirasi dan representasi Muslim Prancis.
Namun demikian, kondisi Muslim Prancis terkadang mendapat diskriminasi yang tinggi. Seperti keinginan mengekspresikan agama lewat busana yang dikenakan yakni, pemakaian jilbab. Belum lagi persoalan streotip pada kaum imigran yang menjurus generalisasi dan simplifikasi, seluruh Muslim digambarkan sama saja dengan pelaku terorisme global yang banyak didalangi kaum Muslim ekstremis. Hal ini menyebabkan Muslim Prancis harus berada di bawah bayang-bayang tersebut.
Contohnya, pasca penembakan kantor Charlie Hebdo, seorang reporter televisi bermuka Arab kena makian dari pejalan kaki di Paris dengan nada-nada rasis. Paranoia seperti itu janganlah berlarut-larut terjadi. Pasca tragedi Charlie Hebdo, Prancis ditantang untuk menghilangkan bentuk simplifikasi dan ketidakramahan pada keberagaman etnis di negaranya. Jangan sampai Islamophobia melekat di negara yang menjunjung kebebasan berekspresi ini.
Kebebasan berpendapat memang sudah dijamin. Namun, bagaimana dengan prinsip égalité (keadilan)? Setiap warga Prancis harus dipandang sama dan tidak ada tindak diskriminasi di mata hukum. Terlepas ia imigran atau bukan serta beragama maupun tidak beragama. Kali ini semboyan itu akan diuji dalam penyelenggaraan negara yang iklim demokrasinya dinilai baik ini.
Juga bagaimana pula dengan fraternité (Persaudaraan)? Bahwa saat ini lonjakan imigran akan memunculkan jenis warga baru. Bahwa generasi muda yang lahir dari para imigran ternyata membawa budaya khas akibat latar belakangnya masing-masing. Apakah Prancis menunjukkan semangat persaudaraannya? Dan menyebut mereka bagian dari bangsa Prancis saat ini?
Kaum imigran ini mungkin tergolong muda. Mereka tentu tidak mengalami kesamaan nasib saat revolusi besar, yang membentuk negara-bangsa Prancis. Lalu apakah mereka dan warga Prancis lainnya harus menyesuaikan kondisi keberagaman ini secara mendadak? Hal itu patut didiskusikan lebih lanjut. Bagaimana bentuk konsolidasi antar kebudayaan bisa terjadi. Harapannya akan mengarah pada transformasi masyarakat modern yang berwawasan global.
Tidak semua imigran datang dengan kemampuan ekonomi dan pendidikan mumpuni. Beberapa berusaha menjajal keberuntungan dan mewujudkan harapan lewat lapangan pekerjaan yang ada. Jika perselisihan ini tidak dibenahi dengan baik, maka pertentangan kelas bisa saja terjadi.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. Kita tidak ingin teror berlanjut pada perpecahan dan konflik di tubuh masyarakat sendiri. Ongkos yang dibayar tentu akan sangat mahal. Sedangkan pihak-pihak yang memancing di air keruh mengambil keuntungan ekonomi-politik dari situasi yang tercipta saat ini.
Kasus pembunuhan guru di Prancis yang menghebohkan ini bukan hanya tragedi pembunuhan saja. Ia menyimpan bom waktu yang bisa meledak kapanpun jika tidak ditangani dengan baik. Tercatat di tahun 2015 selang sebulan setelah penembakan kantor Charlie Hebdo, tiga mahasiswa Muslim University of North Carolina tewas ditembak di kota Chapel Hill, Orange Country, North Carolina, Amerika Serikat.
Peristiwa ini menghebohkan media massa walaupun media mainstream tidak banyak mempublikasikannya. Hal ini terjadi di negara yang memperbolehkan kepemilikan senjata bagi sipil secara terbatas, dan korbannya ialah warga negaranya yang Muslim.
Tragedi ini bisa saja terjadi dimanapun. Stereotip, phobia, dan kegamangan melihat lingkungan sekitar dapat terjadi kapanpun dan dimana saja. Apalagi jika sudah menjumpai trigger (pemantik) besar yang membangkitkan amarah dunia pada aksi sepihak yang radikal dan membawa panji jihad agama.
Oleh karena itu apresiasi yang baik patut diacungi jempol bagi siapapun yang tidak memandang dari satu perspektif terhadap preseden yang menciderai demokrasi ini. Pada akhirnya ini bukan soal siapa memihak siapa lantaran paham kebenaran miliknya sendiri. Namun, mampukah kita bersikap dewasa dan menjaga keberagaman ini sebagai potensi? Kalau kata Gus Dur, ”Yang sama jangan dibeda–bedakan. Yang beda jangan disamakan“.
*Tulisan ini pernah dimuat di situs Santrigusdur.com