Isu Islamofobia masih terus bergulir. Terbaru, Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Moh. Mahfud MD., terpaksa harus membantah isu tersebut secara pribadi melalui akun Twitter miliknya (@mohmahfudmd).
Bantahan tersebut terpaksa diutarakan olehnya sebagai buntut komentar Muhammad Said Didu (@msaid_didu), mantan Staf Khusus Menteri ESDM Sudirman Said periode 2014-2016, atas pernyataan beliau saat diwawancarai oleh wartawan CNN Indonesia.
“Sudah terbantahkan, bahwa Islamofobia memang ada di Indonesia, dan sepertinya hal tersebut dibiarkan oleh pemerintah,” cuit Said Didu mengomentari berita yang dirilis oleh CNN Indonesia.
Dalam wawancara tersebut, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu menyatakan kepada wartawan bahwa Islamofobia sebenarnya hanyalah tudingan antar kelompok. Beliau memberi contoh sikap yang dituding sebagai Islamofobia, yakni perilaku seorang pegiat media sosial, Abu Janda.
Diketahui bahwa Abu Janda sering menuduh orang hanya berdasarkan pakaian seperti bercadar, bercelana cingkrang, lalu ia sebut sebagai radikal. Dari pernyataan tersebut, orang yang tertuduh radikal kemudian menuding bahwa Abu Janda fobia terhadap Islam (re: Islamofobia).
Merasa pernyataannya dipelintir oleh Said Didu, Mahfud dengan tegas menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada Islamofobia. Hal itu terbukti dari banyak hal. Misalnya, dilibatkannya umat Islam dalam berbagai bidang serta pesatnya pertumbuhan institusi Islam di Indonesia.
“Kalau orang bilang ‘celana cingkrang, cadar itu kearaban dan kadrun’, itu yang bilang bukan pemerintah, tetapi kelompok orang terhadap kelompok lain. Kalau itu dianggap Islamofobia, maka ada juga dong Kristenfobia, Hindufobia, Katolikfobia?” tegas Mahfud.
Lebih lanjut, Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII) tersebut menyodorkan bukti lain bahwa Islam justru ‘dimanjakan’ di Indonesia, bukan disingkirkan sebagaimana di negara yang memang masih mengidap Islamofobia.
Hal itu dibuktikan dengan kebijakan pemerintah yang disusun secara khusus untuk memfasilitasi Islam, seperti UU tentang Pondok Pesantren, Lahan dan Dana Abadi Pesantren, hingga eksekutorial Pengadilan Agama yang telah disejajarkan dengan Pengadilan Umum.
“Jujur ya, yang menuduh ada Islamofobia itu adalah mereka yang kalah dalam kontestasi demokrasi, lalu menuding Islamofobia kepada yang menang, yang (padahal) adalah juga Islam,” lanjutnya.
Bantahan dari Mahfud nampaknya belum memuaskan Said Didu. Mantan Sekretaris Kementrian BUMN periode 2005-2010 ini kembali melemparkan tudingan. Menurutnya, dengan tidak ditangkapnya seorang yang namanya disebut oleh Mahfud dalam wawancara, dalam hal ini Abu Janda, menunjukkan bahwa Islamofobia ada dan pemerintah membiarkannya tumbuh subur.
Tudingan liar itupun dibantah dengan lugas oleh Mahfud. Menurutnya, jika hanya masalah perbedaan pendapat, maka hal itu bukan Islamofobia. Dan pemerintah tidak perlu menindaknya, mengingat hal tersebut merupakan polemik biasa yang memang bisa dan boleh diperdebatkan.
“Soal ditindak, siapa bilang dibiarkan? Kalau tidak melanggar hukum seperti beda pendapat tentang model hijab, ya biar saja. Itu polemik, dua-duanya boleh berdebat. Tapi, kalau menista agama, seperti Kece dan Saifudin Ibrahim, ya ditindak. Anda tidak lihat?” tulis Mahfud.
Selama isunya masih bergulir, membantah tudingan Islamofobia harus dilakukan. Mengingat, isu tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mereka yang melontarkannya pun pada dasarnya gagal paham atau bahkan sengaja memelintir maknanya. Mereka seringkali menggunakannya untuk melabeli kelompok lain yang memiliki pandangan politik maupun pemahaman agama yang berbeda dengan mereka.