Tangan di Atas Tak Selalu Lebih Mulia dari Tangan di Bawah

Tangan di Atas Tak Selalu Lebih Mulia dari Tangan di Bawah

Tidak semua ternyata, yang di atas lebih mulia dari pada di bawah

Tangan di Atas Tak Selalu Lebih Mulia dari Tangan di Bawah

Hari itu ada informasi lewat WA grup, orang tua salah seorang murid kehilangan sepeda motor. Sepeda motor itu sangat penting dalam kehidupan keluarga tersebut. Sepeda motor itu bisa dianggap satu-satunya sarana penyambung hidupnya. Selama ini, sepeda motor itu dipakai sang ayah untuk mengojek. Hasil dari ngojek itulah yang digunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan membayar pendidikan anak-anaknya.

Sontak, semua orang tua siswa yang tergabung di WA grup tersebut dibuat terkaget dan mengelus dada. Mungkin diam-diam sama-sama mengumpat, “itu pencuri kok kurang ajar banget ya.” Apalagi, kehilangan itu ada di lingkungan sekolah saat si ayah mengantar anaknya dan hanya ditinggal beberapa saat untuk masuk ke sekolahan.

Para orang tua kemudian bersepakat untuk urunan dan hasilnya akan diberikan kepada si ayah agar bisa membeli motor dan bisa segera mengojek kembali. Kekompakan para orang tua ini tergolong luar biasa. Di tengah kehidupan masyarakat kota yang terbilang individualistik, empati ini ibarat oase di tengah gurun egoisme masyarakat urban.

Terkumpullah sejumlah uang yang akhirnya membuat si bapak ini bisa membeli sepeda motor. Memang bukan motor baru, tapi motor yang terbeli jelas masih sangat layak untuk digunakan mengojek kembali.

Tatanan moral seakan tegak kembali. Bahwa, begitulah seharusnya hubungan yang terjadi antara orang kaya dan orang miskin, antara orang bahagia dengan orang yang dilanda kesusahan. Adalah kewajiban moral bagi orang kaya untuk menolong orang yang tak berpunya. Adalah kewajiban moral bagi orang berada untuk membantu orang yang dilanda kesusahan.

Keseimbangan semesta terasa tegak berdiri. Orang kaya menyantuni orang miskin dan dengannya orang kaya secara moral mendapatkan kemuliaannya. Orang miskin berucap terima kasih karena kebutuhannya tercukupi dari kedermawanan orang kaya, sehingga si miskin tak perlu didesak keadaan untuk berbuat kejahatan.

Akan tetapi keseimbangan semesta moral ini bisa hancur kalau kedermawanan ini semata-mata untuk memuasi “nafsu mulia” orang kaya. Kedermawanan bisa gagal menciptakan keseimbangan semesta jika dalam praktiknya justru membuat si miskin menjadi kehilangan martabatnya. Si miskin diletakkan sedemikian rupa sebagai pengemis yang membutuhkan bantuan si kaya. Posisi si miskin direndahkan agar bisa dijadikan si kaya untuk berpijak dan membusungkan dadanya sebagai orang kaya.

Itulah yang aku dapatkan ketika saat pertemuan orang tua siswa, perwakilan orang tua siswa mengumumkan bahwa dana urunan dari para orang tua berhasil mengumpulkan sejumlah uang dan uang tersebut sudah diberikan kepada yang berhak. Sampai di titik ini, keseimbangan moral masih terjaga dengan utuh. Apalagi, apa yang dilakukan oleh perwakilan itu adalah sebentuk pertanggungjawaban publik.

Namun, kemuliaan moral itu jatuh berkeping-keping ketika perwakilan tersebut memangghil istri si korban untuk maju dan memintanya mengucapkan terima kasih kepada para orang tua lain. Saya tak kuat melihat sang istri berdiri di depan para orang tua sebagai si miskin penerima bantuan dan harus mengucapkan terima kasih kepada orang-orang kaya yang membantunya. Saya tidak bisa membayangkan rasa malu dan rendah diri yang ditanggungnya saat dia berucap ribuan terima kasih.

Saya tahu bahwa ada hadits yang mengatakan “Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah”. Tapi, tak seharusnya orang memberi bantuan kepada orang lain merasa mulia sambil merendahkan orang yang dibantunya. Kemuliaan itu mestinya menjadi motivasi bagi orang kaya dalam menjaga keseimbangan semesta dalam konteks relasi kaya-miskin, bukan menjadi dalih untuk berlaku sombong dan menepuk dada, sambil mempermalukan si miskin.