
Ada dua kutub teori tentang hubungan tambang dan pembangunan. Teori pertama, tambang berhubungan negatif dengan pembangunan. Tambang tidak bikin kaya, malah tambah miskin. Bukan hanya miskin, tetapi korup. Bukan hanya korup, rakyat terjerat oleh spiral kekerasan. Mereka protes oleh pencaplokan lahan dan kerusakan alam, lalu ditumpas dengan kekuatan militer. Alhasil, kekayaan mineral bukan berkah, tetapi kutukan. Yang bilang begini basisnya studi serius: Nankani (1979), Corden & Neary (1982), dan Alan Gelb (1988). Resonansinya seperti pukulan gong oleh studi Richard Auty (1993) dan Sach & Warner (1995, 1999, 2001). Intinya, tidak ada negara yang menjadi kaya karena tambang. Kok bisa? Ada tiga saluran masuk: ekonomi, politik, dan sosial.
Secara ekonomi, negeri kaya tambang itu cenderung malas dan boros. Sektor ekstraktif itu, gampangnya, tinggal keruk-jual, tebang-jual, petik-jual. Tidak perlu riset, tidak perlu mikir. Mereka tergantung harga komoditas, karena itu rentan terhadap siklus boom-bust. Kalau harga tinggi, foya-foya. Kalau pas harga jatuh, utang. Gimana gak miskin? Itu seperti ekonomi anak kos. Mereka gak mikir meningkatkan industri sehingga negara bisa ambil pajak.
Dari saluran politik, sektor ekstraktif cenderung membentuk institusi politik yang ekstraktif. Mereka mengambil mandat dari rakyat, lalu menjualnya ke pemilk modal. Tidak ada demokrasi, karena kebijakan adalah produk perselingkungan penguasa dan pengusaha (pengpeng). Lalu sistem politik semakin otoriter. Negara memunggungi rakyat dan jadi pawang oligarki. Ini menimbulkan gejolak politik: konflik separatis, kekerasan paramiliter, dan konflik akibat depresi sosial. Alhasil, ekonomi tambang korosif terhadap demokrasi.
Secara sosial, negeri tambang mengandalkan berkah alam dan malas meningkatkan modal sosial. Karena tingginya tingkat pendapatan non-upah atau upah berbasis SDA, negeri kaya tambang tidak membangun human capital. Buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh sudah kaya! Maka jangan heran, banyak juragan tambang itu cuma lulusan SD. Ada juga yang bekas kernet truk. Setelah sukses dari hasil keruk jual, mereka kaya dan dihormati, lalu jadi bohir Pilkada dan Pilpres, lalu mengatur negara. Yang sekolah tinggi-tinggi, jadi kacung mereka. Modyar!
Tapi tidak semua sarjana setuju dengan kacamata buram begini. Ini teori kedua: tambang berkorelasi positif dengan pembangunan. Mereka membantah dengan data: banyak negeri jadi kaya karena tambang. Kamu pikir, Amerika jadi kaya dulu karena apa? Minyak bos! Norwegia, yang nilai SWF-nya sundul langit, kaya karena apa? Migas bos! Negeri-negeri Amerika latin dan Afrika tidak semua terpuruk gara-gara tambang. Chile dan Botswana nyaris kaya karena apa? Tambang bos! Kanada juga, China juga. Mereka negeri kaya migas dan tidak jatuh miskin karena kekayaan alamnya!
Lalu kuncinya apa? Ini yang jadi saripati dari pikiran penerima nobel ekonomi tahun lalu, Daron Acemoglu dan James Robinson. Institution does matter! Kuncinya tata kelola. Negara kaya SDA tetapi miskin tata kelola akan jadi negara miskin. Negara kaya SDA yang mengelola SDA dengan tata kelola yang baik, akuntabel, transparan, dan partisipatif akan jadi negara kaya. Negara miskin SDA akan jadi negara kaya dengan institusi yang terpercaya seperti Singapura.
Ini salah satu kerangka teori yang saya gunakan untuk melihat relasi migas dan pembangunan di Indonesia selama lebih dari satu abad. Basisnya data series, yang saya himpun dari statistik kolonial hingga data paling mutakhir BPS. Yang saya ukur adalah kinerja teknis dan operasional serta dampak sektor migas terhadap pembangunan. Kinerja teknis mencakup produksi dan cadangan. Kinerja pembangunan terkait kontribusi migas terhadap APBN, PDB, PDB per kapita, dan kesejahteraan sosial.
Hasilnya mengonfirmasi tesis Gelb (1988: 136) dan Auty (2007: 630-31): Indonesia tidak kena kutukan sumber daya alam. Ini berkat anak-anak sekolah, persisnya didikan Barkeley. Dengan kebijakan teknokratis, mereka berhasil meyakinkan Pak Harto untuk tidak boros. Uang minyak harus jadi tabungan masa depan. Caranya? Salurkan duit minyak untuk pendidikan dan kesehatan. Hasilnya, uang minyak jadi ribuan SD Inpres, ribuan Puskesmas, dan perbaikan irigasi pertanian yang membuat Indonesia meraih swasembada beras pada 1984. Itu berkat anak sekolah, alhamdulillah.
Tapi itu dulu. Kasusnya migas. Ahli geologi lebih tahu beda operasi migas dan minerba. Secara lingkungan, migas tidak seburuk minerba. Migas ngebor ke dalam tanah. Minerba ngeruk, ngungkal (caving out) tanah, dan meledakkan tanah. Kontur tanah berubah. Tumbuhan dan hutan di atasnya rusak. Dalam kondisi normal, migas lebih kurang merusak lingkungan. Kecuali pas apes, kayak Lapindo. Sekarang migas merosot. Minerba jadi primadona. Minerba adalah tersangka utama pencemaran dan kerusakan lingkungan. Di banyak tempat, tambang minerba menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Tambang minerba ini wajah brutal sektor ekstraktif. Ibarat kata, tidak perlu mikir. Orang pakai kolor, modal cangkul, bisa nambang, lalu jadi kaya. Banyak yang ngemplang pajak dan meninggalkan alam rusak purna tambang. Migas masih lumayan. Dia hanya bisa diekstrak dengan teknologi tinggi. Risetnya bisa puluhan tahun, seperti AS yang berhasil mengambil minyak serpih (shale oil). Saya setuju, tambang minerba harus dikontrol. Keruk-jual harus ditekan minimal. Hilirisasi diganti dengan industrialisasi. Ormas agama tidak perlu masuk ke dalam bisnis yang sekarang jadi kambing hitam.
Selebihnya, jika berminat lebih jauh, saya persilakan untuk membaca buku ini. Sedang proses penerbitan oleh LP3ES. InsyaAllah Agustus ini launching. Ini buku yang diambil dari disertasi yang saya pertahankan di FIA UI, Juli tahun lalu.
(AN)