Dari poin-poin ini, garis besarnya adalah untuk nggak usah bantuin dan belain KPK karena KPK sudah tercemar, nggak lagi murni, dan sudah main politik. Tulisan-tulisan ini juga seakan-akan mengindikasikan bahwa pansel sedang berjuang untuk memilih capim yang bisa “bersih-bersih” di KPK nantinya.
Membaca tulisan-tulisan ini membuat saya langsung teringat beberapa tahun yang lalu, saat saya mulai melihat ada perubahan di KPK. Karyawan-karyawannya mulai banyak yang berpakaian ala hijrah-hijrahan. Jenggot, celana cingkrang, jilbab lebar. Pokoknya gaya-gaya tipikal anak hijrah lah. Saya mengernyitkan dahi melihat pemandangan ini.
Belum lagi, mulai terdengar kasak-kusuk kalau di dalam sudah ada perseteruan yang melibatkan kelompok ideologi. Puncaknya adalah saat masjid karyawan mengundang Ustad Al-Asy-embuh-lah yang sangat terkenal dengan twit-twit ofensifnya untuk berceramah di sana. Aktivis gerakan anti korupsi langsung bereaksi keras. Saya sendiri termasuk yang cerewet banget protes ke Pak Jubir.
Ternyata kejadian itu membuat KPK bangun. Mereka mulai men-screening siapa-siapa saja yang boleh diundang untuk ceramah di sana. Harus ustad moderat, nggak boleh ustad nganu-nganu. Mereka juga mulai memperhatikan concern yang selama ini dilayangkan masyarakat, terutama soal pakaian. Saat kerja, ada standard profesionalisme yang berlaku. Mereka juga mulai mengobservasi dan memantau perilaku dan kinerja karyawannya.
Tapi rupanya itu tidak cukup untuk menekan gosip-gosip miring tentang radikalisme di KPK. Dua minggu lalu, saya dan rekan-rekan sejawat dari Perempuan Indonesia Antikorupsi berkesempatan audiensi langsung dengan pimpinan KPK dan jajarannya, ditemui langsung oleh Ibu Basaria Panjaitan dan Bapak Alex Marwata. Sebagai pemerhati percakapan masyarakat, saya nanya langsung dong ke pimpinan KPK tentang isu radikalisme ini.
Pak Budi dari jajaran staff KPK menjelaskan bahwa mereka juga sangat concern dengan isu yang mendera khalayak ramai ini. Beliau kemudian menjelaskan bahwa KPK sudah datang ke BNPT. Mereka menanyakan semua hal mengenai radikalisme, bagaimana cara mengidentifikasinya, apa tanda-tandanya, dan lain sebagainya. BNPT menjelaskan panjang lebar. Mereka menjabarkan spektrum radikalisme dari yang soft sampe yang hard, dan apa saja tanda-tandanya. Berbekal pengetahuan dari BNPT itu, KPK membawa pulang PR untuk mengidentifikasi apakah ada radikalisme di sana. Kalau ada, sudah di spektrum yang mana? Dan kemudian, bagaimana cara mengatasinya?
Setelah melakukan observasi panjang dan menelaah perilaku serta kinerja semua karyawan KPK, mereka berkesimpulan bahwa radikalisme tidak terjadi di KPK. Bahkan dalam spektrum terendah, yaitu soft radicalism pun. Yang ada cuma fenomena hijrah-hijrahan saja, yang sama sekali bukan berarti radikal. Woh… ternyata memang banyak dari kita yang belum bisa membedakan antara kostum hijrah dengan radikalisme. Mungkin dipikirnya semua yang cingkrang berjenggot atau berjilbab lebar itu radikal. Duh, saya jadi teringat beberapa teman saya yang cosplay-nya begitu. Kasihan sekali mereka ya, dapat stigma radikal yang hanya bisa hilang ketika orang mau bersusah payah mengenal mereka secara pribadi.
Padahal teman-teman saya ini cinta mati sama Indonesia, sampe bela-belain sering begadang untuk membuat karya-karya yang membanggakan untuk Indonesia. Mereka tidak setuju dengan khilafah, dan sangat tidak suka dengan radikalisme. Mereka orang-orang yang sangat inklusif. Apalagi mantan mbaknya anak-anak yang pakai cadar tiap kali keluar rumah ya… Walaupun waktu pilpres kemarin dia ngotot sengotot-ngototnya Jokowi harus menang (dan sering berantem dengan sopir saya yang ngotot Prabowo harus menang), seberapa sering dia kena stigma radikal tiap berpapasan dengan orang yang nggak dia kenal ya?
Yang jelas saya selalu meng-update kondisi di sana lewat orang-orang NU yang bekerja di sana. Iya, di KPK juga ada anak NU lho. Nggak usah kaget, ah. Pikiran bahwa orang NU itu ndeso udah gak jaman. Anyway, orang-orang NU yang ada di sana tentu adalah yang melihat sendiri sehari-hari seperti apa sesama karyawan di sana. Setelah berkali-kali bertanya ke mereka, update terakhir yang saya dapatkan sekitar 2-3 hari lalu dari salah satu mereka adalah, “Nggak ada, Mbak. Ada memang beberapa gelintir orang, tapi ya jauuuhh banget dari radikal. Jauh panggang dari api lah.”
Lalu, soal pengelompokan pertentangan polisi-polisi itu. Apa benar ada polisi Taliban dan polisi India yang sedang bersitegang? Ya nggak tau. Yang saya tau, beberapa tahun lalu ada polisi-polisi yang bertugas di KPK yang habis masa kerjanya, dan segera akan ditarik kembali ke kepolisian. Mereka-mereka ini polisi-polisi idealis yang berusaha tetap bertahan di KPK karena merasa bahwa mereka bisa berbuat lebih banyak di KPK yang cenderung bersih dari perpolitikan institusi ketimbang kalau mereka balik lagi ke institusi mereka.
Mereka-mereka ini yang ketika menyidik kasus yang berhubungan dengan kepolisian bersikap profesional dan mengedepankan independensi mereka. Nah, mereka ini masuk kelompok yang mana? Ya mbuh, mesti tanya sama yang bikin pengelompokan Taliban-India tadi. Tapi coba aja buka-buka lagi berita-berita tahun-tahun lampau, terutama nggak lama setelah rame kasus alat simulator SIM. Biar agak terang sedikit lah, siapa-siapa aja yang dimasukkan dalam kelompok ini.
Jadi, tidak ada radikalisme di internal KPK? Ya nggak tahu. Bisa ada, bisa nggak ada. Saya sih nggak berusaha untuk bilang nggak ada radikalisme di KPK. Tapi seandainya kita asumsikan ada radikalisme di KPK, apakah kemudian jawabannya adalah memilih capim-capim dengan rekam jejak buruk? Itu ibarat tubuh sedang sakit, lalu dikasih minum baygon. Sakitnya hilang. Beserta seluruh tubuhnya. Baygon-nya menghancurkan semua organ-organ di tubuhnya. Lalu mati. Menyelesaikan masalah radikalisme? Mungkin iya. Tapi meninggalkan permasalahan yang luar biasa besar untuk pemberantasan korupsi.
Kalau kita curiga ada radikalisme di KPK, justru kita wajib kudu harus memaksa pansel memilih capim-capim yang kuat, berintegritas tinggi, dan independen. Orang-orang ini yang bisa kita andalkan untuk bersih-bersih. Orang-orang berintegritas tinggi ini yang justru bisa kita dorong untuk melakukan berbagai hal yang perlu untuk menumpas radikalisme (seperti misalnya bekerja sama dengan BNPT untuk melakukan assessment radikalisme di KPK). Lha kalau yang ditelorkan adalah capim dengan rekam jejak buruk, melanggar kode etik, nggak berintegritas, nggak independen, lalu mau berharap apa sama mereka?
Nah, yang menarik adalah tudingan bahwa kelompok Taliban ini memlihara LSM-LSM antikorupsi yang sekarang dilepas dari kandangnya untuk menyerang dan memojokkan pansel. Saya agak sedikit GR menganggap saya ada di kelompok yang dituding ini, walaupun saya bukan orang LSM. Mereka (dan saya juga kayanya) dituding sebagai pembela kelompok polisi Taliban. Yang kenal saya cukup baik pasti akan pusing bacanya kan? Sama, saya juga. Saya, dengan rambut skinhead sebelah, kok ya bisa-bisanya dimasukkan dalam kategori pembela radikalisme? Tapi anggaplah saya tidak termasuk golongan yang dianggap pembela Taliban dan radikalisme ini. For the purpose of this discussion, let’s take me out of this equation.
Jadi siapa orang-orang yang katanya membela polisi Taliban itu? Ternyata mereka adalah orang-orang yang dari jaman purba dahulu kala sudah berjuang buat pemberantasan korupsi. Mereka yang aktif menjaga KPK dari berbagai serangan. Ingat Cicak-Buaya 1 dan 2? Mereka-mereka ini yang menginisiasi dan tidak lelah berjuang sampai ada perubahan. Mereka orang-orang yang sama yang berteriak lantang melawan radikalisme. Mereka orang-orang yang ribut di sosmed apabila ada tindakan intoleransi yang merugikan kaum minoritas. Mereka orang-orang yang marah atas tindakan-tindakan rasisme dan sektarian. Mereka orang-orang yang sama yang selalu memastikan demokrasi dan HAM dijunjung tinggi di negara ini.
Lalu mereka dituduh sebagai orang-orang yang tidak memahami radikalisme? Dianggap orang-orang bodoh yang bisa ditipu dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu (yang radikal pula)?
Saya jadi makin bingung dengan kriteria yang dipakai untuk menuduh orang-orang ini sebagai pembela kelompok radikal. Dan kalau pengelompokan aktornya saja sudah melenceng begini, lalu apa yang bisa dipegang dari narasi ketakutan akan Taliban itu?
Apalagi kalau lihat individu-individu yang juga menyuarakan tekanan ke pansel untuk tidak meloloskan capim dengan rekam jejak buruk. Ada ibundaku Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dan Buya Syafi’i Maarif. Mereka lantang sekali bicara tentang capim dengan rekam jejak buruk. Mereka bersuara keras sekali meminta pansel hanya meloloskan orang-orang yang terbukti integritasnya.
Lha kurang apa rekam jejak mereka dalam melawan intoleransi dan radikalisme? Apa iya dengan pengalaman berbangsa mereka berpuluh-puluh tahun mereka akan mudah dibohongi dan dimanfaatkan oleh kelompok radikal? Mereka tidak senaif seperti yang dituduhkan salah satu tulisan itu.
Justru mereka bisa melihat bahwa kalaupun ada radikalisme, solusinya bukan dengan menggunakan cara-cara yang akan melemahkan KPK nantinya, seperti memilih calon pimpinan yang rekam jejaknya buruk. Apalagi kalau sampai revisi UU KPK yang pasal-pasalnya sangat melumpuhkan KPK. Ah, itu sih bukan lagi meminumkan baygon, tapi sudah racun tikus kualitas super.
Jadi gimana dong? Mesti percaya siapa? Ya terserah, bebas aja. Mau percaya yang nulis soal taliban-talibanan itu ya monggo. Mau nggak percaya sama mereka, ya monggo juga. Kalau masih ragu, dateng aja ke KPK. Ngobrol sama orang-orang di sana, biar bisa dengar langsung. Lalu timbang-timbang semua informasi yang kamu punya berdasarkan nilai yang kamu pegang.
Saran saya sih buatlah keputusan yang well-informed, bukan karena omongan orang yang entah apa tujuan dan agendanya. Tabayyun aja dulu. Biar kamu nggak nyesel kalau nanti bikin keputusan yang ternyata berdampak sangat besar buat bangsa.
Kalau saya sih karena nggak mau jadi anak durhaka, saya ikut ibu saya aja. Udah jelas track recordnya, selalu memikirkan bangsa, nggak pernah ikut-ikutan carut-marut perebutan posisi, jabatan, dan kekuasaan, cuma punya 1 agenda dalam hidupnya yaitu memastikan masyarakat mendapatkan yang terbaik, dan selalu memperjuangkan nilai-nilai yang sudah dicontohkan Gus Dur. Ah, saya jadi makin kangen Gus Dur dengan kesederhanaan berpikirnya yang dengan jernih memetakan permasalahan. Nggak keruh dan butek dengan segala macam narasi ketakutan