Sore kemarin saya mengikuti buka bersama, lebih tepatnya Takjil gratis bersama HTI. Dalam kesempatan itu seorang penceramah mengutip satu hadist yang terjemahannya seperti ini “tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi” sambil menunggu waktu berbuka sang penceramah menekankan akan pentingnya silaturahmi. Sehingga saking pentingnya silaturahmi, orang yangmemutus silaturahmi tidak akan masuk surga. Namun demikian ada silaturahmi yang bisa diputus atau istilah ustad tersebut memutus silaturahmi secara syar’i. Yaitu orang yang diajak bersilaturahmitelah meninggal dunia. Dengan demikian ketika seseorang yang telah meninggal dunia maka putus sudah hubungan kita dengannya atau istilah ustad tersebut “memutus silaturahmi secara syar’i”.
Dalam konteks ini, sebetulnya saya ingin mengajukan satu pertanyaan kepada ustad tersebut, apakah memutus hubungan silaturahmi tersebut termasuk tidak berkunjung ke kuburannya atau dalam bahasa sederhananya adalah berziarah.Dugaan sementara saya mungkin begitu, sehingga ketika seseorang sudah meninggal dunia maka tidak ada kewajiban bagi kita untuk bersilaturahmi lagi walaupun hanya berkunjung ke makam orang tersebut. Padahal dalam tradisi masyarakat Tiongkok, ketika seseorang meninggal dunia kita diharuskan melakukan perkabungan selama dua tahun, bahkan pemujaan terhadap leluhur yang telah meninggal dunia dijunjung tinggi oleh masyarakat Tiongkok. Sebagai penghormatan, makam leluhur di bangun di tempat yang tinggi dan tanah yang subur, dan bagi seorang anak laki-laki diharuskan berdoa untuk arwah orang tua atau leluhur secara priodik.
Huston Smit berpendapat bahwa pandangan hidup bangsa Tiongkok kuno terdiri dari tiga unsur yang saling berkaitan, langit dan bumi serta manusia yang dipandang sebagai kesinambungan. Singgih Basuki berpendapat bahwa istilah langit dan bumi dimaksudkan sebagai pribadi-pribadiyang berdiam di langit. Dalam bahasa Tiongkok disebut (Ti) yaitu para nenek moyang yang berdiam di langit yang kemudian nenek moyang tersebut diperintah oleh nenek moyang yang lebih tinggi yang disebut (Shang Ti). Nah para nenek moyang yang ada di langit tersebut kemudian secara turun temurun akan diikuti oleh keturunannya yang ada di bumi dengan demikian tidak ada jaring pemutus diantara mahluk yang ada di langit maupun yang ada di bumi.
Bisa dibayangkan hubungan keduanya tidak terputuskan, kedua-duanya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian memutus silaturahmi dalam tradisi Tiongkok itu haram hukumnya. Menurut C.J. Blaker, dalam tradisi agama Tionghoa (meskipun saya sendiri kurang nyaman menyebut agama Tionghoa) terdiri dari tigabagian penting dalam ritual pemujaannya. Pertama,pemujaan terhadap alam, kedua, pemujaan terhadap leluhur dan terakhir pemujaan terhadap langit. Singkat cerita masyarakat Tiongkok pada umumnya tidak pernah memutus silaturahmi secara mutlak, bahkan orang-orang yang telah meninggal sekalipun selalu dipuja sebagai bagian dari roh yang memberikan pengaruh di alam dunia.#Entahlah
*) Zhe Haetamy; Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.