Pada 09 Mei 2017, Gubernur Jakarta dikenai hukuman dua tahun penjara atas kasus penodaan agama Islam. Dilaporkan bahwa saat berbicara di depan para nelayan di Kepulauan Seribu pada bulan September 2016, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang akrab disapa Ahok, mengatakan bahwa lawan politiknya menggunakan surat al-Maidah ayat 51 untuk menipu masyarakat agar tidak memilihnya. Beberapa tafsir terhadap surat al-Maidah ayat 51 menjelaskan agar umat Islam tidak boleh dipimpin oleh pemimpin non-Muslim. Ahok telah meminta maaf, namun hal ini dipermasalahkan oleh lawan politiknya dan kelompok Muslim konservatif yang telah sejak lama berpendapat bahwa Jakarta tidak boleh dipimpin oleh non-Muslim. Lima hakim panel dari pengadilan Jakarta Utara yang memerintahkan penangkapan terhadap Ahok, mengatakan bahwa Ahok telah terbukti bersalah melakukan penodaan Agama. Pendukung Ahok berharap dia akan dibebaskan atau diberi keringanan setelah jaksa penuntut menyimpulkan bahwa Ahok tidak bermaksud menghina Islam. (dikutip dari: The Sunday Morning Herald, 10 May 2017, “Jakarta Christian’s Governor Ahok Jailed for two years for Blasphemy”)
Hukum terhadap kasus penodaan agama (Blasphemy) bukan merupakan ajaran al-Quran maupun Hadits. Beberapa ahli hukum Islam baru merumuskan hukum ini pada periode berikutnya setelah kemunculan Islam. Inilah yang kemudian menjadikan hukum ini kontroversial; tak ada dasar hukum yang otentik dari (sumber pokok) agama Islam itu sendiri. Padahal, perumusan hukum dalam Islam semata-mata hak Tuhan dan Utusan-Nya, bukan hak ahli hukum (jurist).
Poin kedua dalam masalah ini adalah, kata-kata yang diucapkan Ahok, tidak secara khusus tertuju pada ayat al-Quran, tapi lebih ditujukan pada sebagian umat Islam yang menyalahartikan ayat tersebut. Dengan alasan ini, apa yang diucapkan Ahok tidak bisa dikatakan sebagai penodaan agama, melainkan hanya kasus perbedaan pendapat saja. Menurut Islam, berbeda pendapat adalah hak setiap manusia. Sebuah pendapat yang berbeda dapat ditujukan hanya melalui alasan dan argumentasi logis; hal ini tentu saja tidak bisa dikenai hukuman.
Perbedaan pendapat mewarnai seluruh fase sejarah Islam. Dalam literatur sejarah Islam, banyak terjadi perbedaan antara Ulama mengenai penafsiran al-Qur’an ataupun hadits. Perbedaan pendapat tidak pernah dijadikan alasan untuk menghukum seseorang, justru perbedaan selalu menjadi sarana diskusi antar dua kelompok yang berbeda pendapat tersebut. Jadi jika umat Islam di Indonesia memiliki pendapat yang berbeda dari Ahok, seharusnya mereka menyampaikan argumennya serta menjelaskan kenapa mereka berbeda dengannya. Tak ada pengadilan ataupun hakim yang memiliki hak untuk mengeluarkan putusan bersalah atau memberikan hukuman bagi orang yang mengekspresikan pendapat berbeda.
Kasus-kasus semacam ini membuat Richard Dawkins, seorang penulis dan Ahli Biologi evolusioner dari Inggris, mengatakan dalam bukunya “The God Delusion”, bahwa Islam percaya terhadap konsep thoughtcrimes atau kriminalisasi terhadap pemikiran yang berbeda. Bagaimanapun juga, hal ini sama sekali tidak memiliki dasar. Barangkali memang ada sebagian muslim yang percaya bahwa ide dan keyakinan yang berbeda bisa dihukum, akan tetapi dalam al-Quran maupun hadits tidak ada perintah untuk menghukum orang begitu saja hanya Karena pendapat yang mereka sampaikan.
Selama Nabi Muhammad SAW hidup, ada beberapa lawan yang selalu memberikan komentar negatif terhadap Nabi dan dakwah yang beliau lakukan. Namun al-Quran tidak pernah mengatakan bahwa umat Islam harus menghukum orang semacam ini, justru salah seorang sahabat diberikan ijin oleh Nabi untuk merespon pendapat negatif lawan melalui puisi. Ini menunjukkan dalam Islam, kata harus direspon dengan kata, bukan dengan pedang ataupun senjata.
Maka, orang- orang Islam yang melibatkan diri dalam kasus di atas (menghukum yang berbeda-red) berarti telah turut serta dalam merusak citra Islam. (Terj. Faiqoh Rosita)
Maulana Wahiduddin Khan, Pendiri Center for Peace and Spirituality India.