Tahun Berganti dan Kita Masih Dengar Hikayat Pilu Ahmadiyah: Dipinggirkan Negara, Dimuliakan Gus Dur

Tahun Berganti dan Kita Masih Dengar Hikayat Pilu Ahmadiyah: Dipinggirkan Negara, Dimuliakan Gus Dur

Tahun Berganti dan Kita Masih Dengar Hikayat Pilu Ahmadiyah: Dipinggirkan Negara, Dimuliakan Gus Dur
Ilustrasi keberadaan kelompok minoritas

Ternyata, 2024 Minoritas masih dianggap jadi problem sosial di Indonesia. Ini terjadi karena relasi sistem timpang. Misalnya yang kuat samakin kuat berkuasa dan yang lemah semakin dilemahkan. Akhirnya menciptakan sistem diskriminatif, subordinatif, bahkan kekerasan di segala level.

Fenomena itu bisa kita lihat dalam kasus diskriminasi pada Jemaat Ahmadiyah yang ingin mengadakan Jalsah Salanah (pertemuan tahunan) di Kuningan. Penentangan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat dan Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (Forkopimda), tetapi juga oleh pihak pemerintah Kuningan. Pelarangan sepihak tersebut berlindung atas dasar menjaga keamanan dan kondusifitas dan Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 12 tahun 2011 tentang larangan kegiatan Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat.

 

Saya menilai pelarangan tersebut menunjukkan negara kalah terhadap tekanan kelompok intoleran, sekaligus negaralah yang menjadi sumber utama perilaku diskriminatif tersebut. Ahmadiyah didiskriminasi secara struktural oleh negara melalui peraturan timpang di satu sisi, dan komunitas mayoritas muslim di sisi lain.

 

Bahasa senderhananya, dengan terus menganggap Ahmadiyah sesat, maka pemerintah dengan superioritasnya menjadi kunci utama pembuat kebijakan gila untuk dijadikan alat legitimasi dan justifikasi untuk melakukan kekerasan oleh kelompok mayoritas anti Ahmadiyah. Sedang mayoritas ini dengan teologi eksklusivismenya mengeklaim yang paling banar karena itu dia boleh gamang dan melakukan penyerangan. Atas dasar itulah keduanya saling meneguhkan dalam perbuatan tercela.

 

Buah simalakama

 

Kini, Ahmadiyah seperti buah simalakama; apa pun pilihannya, dipandang salah. Di kehidupan sosial dan kenegaraan, misalnya, dituduh subversif atau oportunis. Di basis agama, mereka distigma kelompok bermasalah. Negara dan kelompok mayoritas masyarakat bersatu melakukan penyingkiran secara bersamaan.

 

Dalam buku Dilema Minoritas di Indonesia: Ragam, Dinamika, dan Kontroversi (2020), menyebutkan praktik diskriminatif terhadap minoritas seperti Ahmadiyah atau mereka yang masih mempertahankan agama leluhurnya berlangsung secara terstuktur, sistematis dan massif. Praktik itu berakar pada “politik pembedaan” antara yang disebut agama dan kepercayaan yang terekam dalam no. 1/PNPS/1965.

 

Dalam UU tersebut dijelaskan hanya terdapat tiga kategori agama yang direstui di Indonesia: 1) enam agama yang diakui; 2), kelompok yang dibiarkan adanya, seperti Baha’I, Sikh, dan Yahudi; dan 3), kelompok penghayat kepercayaan. UU itu tak mengakomodasi hak-hak kelompok penghayat dan dua kelompok agama minoritas yang ada di masyarakat, yang kini sedang terlantar seperti Syiah dan Ahmadiyah.

 

Proses intoleransi, diskriminasi, dan minoritisasi dari dua kelompok (negara dan mayoritas) terhadap Ahmadiyah terjadi sudah lama dan sungguh kelam. Dalam berbagai kesempatan, kegiatan keagamaan Ahmadiyah dilarang, diintimidasi, diusir dan bahkan dipersekusi. Mereka dibayangkan tertinggal, terbelakang, terpencil dan diperlakukan seolah tak memiliki sejarah, argumentasi dan agensi sosial. Yang terjadi kemudian mereka dianggap tak memiliki kuasa atas hak-haknya.

 

Hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, mulai dari pengurusan akte kawin, akte lahir, KTP, KK, akses pendidikan, pekerjaan, tradisi, dan sumber-sumber ekonomi, tempat ibadah bahkan sampai soal penguburan jenazah dinafikan. Akibat peminggiran ini, sistem yang ada di masyarakat sana dikuasai segelintir orang. Dan nahasnya dampak peminggiran ini, sejak 1949 hingga 1992, telah terdapat 517 aliran kepercayaan mati di seluruh Indonesia. Yang terjadi kemudian adalah “genosida kultural”.

 

Peminggiran hak-hak sosial sosial-ekonomi dan kultural-agama bagi minoritas seperti Ahmadiyah, semakin mempertajam batas agama, etnis dan mengukuhkan pola sistematis diskriminasi negara terhadap kelompok minoritas beragama di Indonesia. Dan ini berbanding terbalik dengan pesan Presiden Prabowo yang menekankan pentingnya menjaga kerukunan dalam berbangsa dan bernegara.

 

Anehnya, kelompok mayoritas dan negara tahu betul bahwa perlakuan diskriminatif pada Ahmadiyah telah menihilkan toleransi dan moderasi beragama. Mereka tahu bahwa tindakan tersebut telah menghilangkan apa yang mereka perjuangkan sendiri, yakni persatuan, kerukunan dalam keberagamaan sebagai kunci menuju kemakmuran bangsa. Apakah Ahmadiyah pantas diakui sebagai agama, sebatas apabila siap dipasarkan demi pariwisata, rating toleransi, demokrasi di pasar akademik dan internasional?

 

Sebagai bangsa tampaknya kita masih terjebak pada nilai-nilai keviralan sebagai analog pencintraan. Ahmadiyah tidak akan ditolong apabila tidak berdampak pada rating si penolong. Inilah kondisi Ahmadiyah sekarang yang tampaknya sendirian. Di Indonesia, Ahmadiyah adalah mustadh’afin (kelompok tertindas). Dia ditindas kanan-kiri: negara dan mayoritas.

 

Gus Dur membela Ahmadiyah

 

Jika ada Gus Dur, pasti Ahmadiyah dibela, karena ia punyak hak sebagai warga negara Indonesia. Pendirian Gus Dur jelas: “Kalau membuat propaganda bahwa Ahmadiyah sesat atau bersalah, ya, silakan. Tapi, kalau meniadakan Ahmadiyah, itu tidak betul, karena bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir,” terang Gus Dur kepada wartawan di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin (9/6).

 

Ketika Ahmadiyah diserang Front Pembela Islam (FPI) dan muncul desakan agar Ahmadiyah dibubarkan, Gus Dur lagi-lagi membela: “Selama saya masih hidup, saya akan pertahankan gerakan Ahmadiyah. Ngerti nggak ngerti terserah!”

 

Gus Dur rela dan mantap membela Ahmadiyah hidup di Indonesia selama dirinya masih hidup. Menurutnya, pembelaan tersebut beradasarkan kebenaran membela mustadh’afin dan dalam rangka menegakkan UUD 1945. Bagi Gus Dur, Ahmadiyah dilindungi keberadaannya oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Karena itu ia berhak untuk hidup dan berkembang di Tanah Air.

 

Jika pemerintah takut menegakkan keadilan bagi Ahmadiyah di Kuningan, ini sama halnya negara tidak menegakkan UUD 1945 secara benar. Menurut Gus Dur, pemerintah yang tidak memiliki keberanian, maka masyarakat akan terus konflik. Itu salahnya pemerintah yang tidak punya keberanian,” jelasnya.

 

Bahkan jika Ahmadiyah tidak menemukan tempat untuk berlindung karena pemerintah tak lagi bisa melindungi mereka, Gus Dur menawarkan kediamannya di Ciganjur. Gus Dur menegaskan bahwa dirinya siap menjadi saksi ahli untuk Ahmadiyah jika nantinya dibubarkan oleh pemerintah. Dan berkali-kali Gus Dur juga memasang badan dan berpesan kepada Anshor untuk melindungi kelompok minoritas seperti Ahmadiyah.

 

Dengan pembelaan itu, Gus Dur sedang mengingatkan kita mengenai batas menyangkut relasi negara, warga negara, dan agama. Saya setuju dengan Gus Dur, bahwa pengakuan terhadap toleransi, moderasi, konstitusi dan nasionalisme adalah menjanjikan kemaslahatan bersama dalam sebuah komunitas sosial dan global. Karena itulah, kita harus menjaga agama, negara dan warga negara berpijak di atas humanisme dan keadilan terhadap perbedaan, utamanya pada kelompok tertindas seperti Ahmadiyah.