Tahapan Seseorang Menjadi Radikal

Tahapan Seseorang Menjadi Radikal

Tahapan Seseorang Menjadi Radikal

Ledakan ekstremisme kekerasan seperti terorisme tak terjadi tiba-tiba. Ia bekerja selayaknya alam bekerja. Berkembang lewat proses dan masa “inkubasi” lalu meledak dalam bentuk-bentuk kekerasan tertentu. Supaya gampang dipahami, begini contohnya. Apakah masuk akal jika tak ada hujan tak ada angin, pasangan anda tiba-tiba marah? Tidak masuk akal bukan? Bisa jadi karena ia ternyata membaca pesan yang tak disukainya pada seluler Anda, seharian tak kasih kabar, pasangan Anda terlalu banyak tanya seperti reserse, atau ada sikap-sikap yang membuatnya marah. Jika sampai di sini saja Anda tak paham, pasangan Anda pasti juga bisa sangat marah. Betul?

Banyak ahli menelurkan berbagai teori dan hipotesis bagaimana proses radikalisasi bekerja. Seperti hukum alam juga, makin banyak teori yang kit abaca makin bingunglah kita. Ada Randy Borum, profesor pada College of Behavioral and Community Sciences, Universitas South Florida Amerika, yang membuat tahap menuju terorisme jadi ringkas saja: empat tahap. Bermula dari keluhan-keluhan atau ketakpuasan, berlanjut dengan perasaan tidak mendapat keadilan, naik pada usaha mencari siapa yang bertanggung jawab atas ketidakadilan, lalu berakhir dengan membuat garis antara saya, kami, dan mereka.

Saya yakin, Borum mengakui apa yang terjadi di dunia ini tak terjadi semudah itu. Saya juga yakin Mario Teguh sadar apa yang sebetulnya terjadi tak semudah yang diomongkannya. Tetapi itulah gunanya praktisi dan ahli menjadikan yang rumit jadi jauh lebih sederhana. Jika sebaliknya, membuat yang sepele jadi rumit itu pasti pekerjaan birokrasi. Tapi birokrasi juga jadi mudah jika ada calo. Betul?

Bagaimana ciri-ciri perilaku orang yang terpapar ekstremisme kekerasan juga bukan pekerjaan gampang. Mungkin saking rumitnya, mereka menutup dengan pilihan kalimat diplomatis: semuanya bergantung konteks dan dinamika “yang terjadi sedemikian rupa”. Kalimat sedemikian rupa ini sering saya dengar dari omongan pembicara yang seringkali saya tak paham maksudnya. Mungkin, maksudnya rumit sekali. Kadang saya pakai juga. Sepertinya ini setara dengan kalimat penutup di kalangan kaum santri: wallahua’lam bishawab, Allah lebih tahu yang sesungguhnya. Itu artinya akal sudah mentok!

Ada sembilan ciri orang yang mengalami radikalisasi menuju ekstremisme kekerasan. Pertama, gemar menelusuri informasi tentang ideologi ekstremisme kekerasan. Kedua, menarik diri dari masyarakat atau hubungan-hubungan sosial. Ketiga, terlibat konflik dengan keluarga atau pihak lain seperti guru atau atau tokoh-tokoh agama. Keempat, membuat perubahan gaya hidup yang dramatis seperti berhenti dari pekerjaan yang tak diharapkan atau meninggalkan rumah. Kelima, membenamkan diri dalam kelompok-kelompok ekstrem. Keenam, begabung atau tetap berada dalam organisasi ekstremis. Ketujuh, membuat pernyataan publik tentang keyakinan atau ideologi kaum ekstremis. Kedelapan, menunjukan ancaman atau niat untuk terlibat dalam aktivitas teroris. Kesembilan, terlibat dalam aktivitas persiapan terkait serangan kekerasan seperti pelatihan, mendapatkan senjata atau material lain.

Ini rumusan para ahli tiga negara yang diundang dalam sebuah konferensi National Institute of Justice (NI) Amerika tahun 2015 di bawah tema Radikalisasi dn Ekstremisme Kekerasan: Pelajaran dari Kanada, Inggris, dan Amerika. Jika dilakukan di Indonesia menghadirkan ahli dari Asia Tenggara bisa jadi terdapat beberapa hasil yang berlainan. Inilah yang saya katakan sebagai “bergantung pada konteks dan dinamika yang terjadi sedemikian rupa”.

Keluarga Dita, pelaku bom gereja di Surabaya misalnya. Mereka bukan orang yang berusaha “menarik diri dari masyarakat atau hubungan-hubungan sosial”. Mereka berbeda dengan karakter pelaku teror sebelumnya yang lebih tertutup.

Rumusan ciri-ciri di atas bagaimanapun jauh lebih baik ketimbang sekedar mengatakan ciri-cirinya berjenggot atau bercelana cingkrang. Kedua ciri ini bukan ciri yang tepat, malah kadang menimbulkan prasangka negatif. Bahwa kita juga tak boleh mengingkari kenyataan bahwa memang ada mereka yang berjenggot atau bercelana cingkrang punya ideologi ekstrem seperti ditunjukan sebagian pelaku teror. Sekali lagi perkara ini memang tidak mudah. Bergantung pada konteks dan dinamika yang sedemikian rupa