Pada kelompok ayat sebelumnya Allah SWT menjelaskan terkait dengan peredaran matahari dan bulan yang menyebabkan terjadinya siang dan malam. Pada kelompok ayat berikut ini, Allah SWT memberikan penjelasan mengenai bahtera yang dapat berlayar di lautan lepas. Ada persamaan antara bulan, matahari, dan bahtera/kapal, bila bulan dan matahari diperumpamakan seperti berenang di angkasa begitu pun bahtera yang memang berlayar di lautan lepas. Baik bulan, matahari yang ada di angkasa maupun kapal/perahu yang berada di samudera hanya bagaikan setitik dari luasnya kekuasaan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَآيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ () وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِنْ مِثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ
Wa aayatun lahum annaa hamalnaa dzurriyyatahum fi al-fulki al-masyhuun. Wa khalaqnaa lahum min mitslihi maa yarkabuun.
Artinya:
“Dan suatu tanda (kebesaran dan kekuasaan Allah SWT) bagi mereka adalah bahwa Kami mengangkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh (muatan). dan Kami menciptakan (pula) bagi mereka (sarana angkutan) yang serupa untuk mereka kendarai.” (QS: Yasin ayat 41-42)
Mengenai kedua ayat di atas, Ibnu Jarir al-Thabari memiliki beberapa penjelasan dengan riwayat yang berbeda. Pertama, terkait dengan maksud dari kata dzurriyyatahum pada ayat 41. Mengutip beberapa riwayat seperti dari al-Dhahhak, Qatadah, dan Ibnu Zaid kata tersebut merujuk pada anak cucu keturunan Nabi Adam as yang diangkut dalam bahtera Nabi Nuh. Artinya al-falak al-masyhun (bahtera yang penuh muatan) yang dimaksud dalam ayat adalah merujuk pada bahtera Nabi Nuh as. Kedua, pada ayat ke-42 yang dimaksud dengan min mitslihi (serupa dengannya) menurut al-Thabari sebagaimana ditukil dari beberapa riwayat seperti dari Abu Malik, dari Abdullah bin Abbas, dari al-Hasan, Abu Shalih, dan al-Dhahhak, adalah kapal kecil yang seringkali digunakan penduduk pesisir untuk berlayar di lautan.
Imam al-Qusyairi dalam kitab tafsirnya Lathaif al-Isyarat menerangkan kedua ayat di atas dari sudut pandang sufistik. Menurutnya, bahtera yang disebutkan dalam ayat adalah isyarat bagi bahtera kehidupan yang di dalamnya terdapat makhluk-makhluk Allah SWT yang sedang mengarungi lautan takdir, ada tantangan dan perjuangan dari ombak dan badai yang acapkali dapat menenggelamkan penumpang bahtera.
“Betapa banyak hamba-hamba Allah SWT yang tenggelam karena terlampau sibuk melewatkan siang dan malam untuk mengumpulkan harta benda dan hanya bermain-main dengan anak dan teman-temannya. Sehingga ia terlena terhadap dunia. Betapa banyak orang yang tenggelam karena terlalu fokus mendengarkan bisikan hawa nafsunya, sehingga ia tuli dari hati nurani lalu lupa tujuannya hidup di dunia dan tempat ia kembali,” Tulis al-Qusyairi dalam tafsirnya.
al-Qusyairi melanjutkan, “Namun ada pula hamba-hamba yang sibuk menjaga perahu dengan menyibukkan diri untuk bangun di tengah malam. Memuliakan hati nuraninya dengan terus menerus berdzikir dan mengingat Tuhannya. Hamba-hamba yang seperti ini tidak diragukan lagi bahwa mereka amat sedikit.”
Pada ayat 41 dan 42 di atas menurut Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib, terdapat dua implikasi sekaligus. Pertama berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yaitu penjelasan tentang daratan (al-ardh). Artinya manusia tidak hanya dianugerahi bumi sebagai tempat berpijak, mereka juga diberikan kemampuan untuk mengarungi lautan yang presentasenya lebih luas dibandingkan daratan.
Kedua, Allah Swt menganugerahkan manusia mampu mengendarai kendaraan baik di laut seperti memakai kapal (al-fulk) maupun di darat (min mitslihi) dengan menggunakan unta dan kuda. Dari kedua implikasi ini, terdapat penjelasan lain. Menurut al-Razi, Allah Swt memberikan nikmat kepada manusia dalam dua nilai kebutuhan, pertama bernilai kebutuhan dasar yaitu bumi dan laut serta kehidupan di dalamnya termasuk adanya siang dan malam. Kedua bernilai kebutuhan komplementer seperti kendaraan berupa binatang-binatang yand dapat ditunggangi maupun kapal untuk mengarungi lautan luas.
Berbeda dengan penafsiran-penafsiran sebelumnya terkait dengan kata al-fulk al-masyhun yang dimaknai dengan bahtera Nabi Nuh As. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab tafsirya Marah Labid mengartikan kata tersebut sebagai perumpamaan bagi rahim perempuan yang mengandung bayi di dalamnya. Kekuasaan Allah Swt yang telah menjaga bayi dalam rahim yang kokoh dan dapat menumbuhkan manusia dari yang asalnya sperma menjadi bayi dengan bentuk yang sempurna.
Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah menerangkan bahwa terjadi perbedaan makna di kalangan mufassir terkait dengan kata dzurriyyah. Menurut Raghib al-Asfihani, sebagaimana dikutip Quraish, memaknai kata ini dengan arti keturunan baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa. Sebagian mufassir yang lain memahaminya dengan arti ‘leluhur’ karena terkait dengan al-fulk al-masyhun yang dimaknai dengan bahtera Nabi Nuh as. Ada pula yang memaknainya dengan anak yang masih kecil. Namun ulama yang memaknai ini tidak mengaitkan kata al-fulk al-masyhun dengan bahtera Nabi Nuh as.
Dari perbedaan-perbedaan di atas, Quraish Shihab memandang makna yang lebih tepat adalah anak keturunan yang berada dalam bahtera Nabi Nuh as. Karena meyakini kata al-fulk al-masyhun sebagai bahtera Nabi Nuh sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Syu’ara ayat 119. Artinya ayat ini menekankan bahwa seandainya leluhur kaum musyrik Mekah tidak diangkut dalam bahtera Nabi Nuh, tentulah tidak akan lahir anak-anak mereka, cucu-cucu dan seterusnya.
Terkait ayat 42, menurut Quraish Shihab, ayat ini mengisyaratkan akan terciptanya aneka alat transportasi yang dapat digunakan manusia. Ayat ini berkaitan dengan Q.S an-Nahl ayat 8 yang menegaskan bahwa aneka transportasi ini ada yang diketahui maupun tidak diketahui dalam konteks masyarakat Arab pada masa itu.