Pada artikel berikut ini akan dijelaskan tentang keadaan manusia yang sebenarnya ketika mereka diberikan umur panjang. Sebagaimana telah disebutkan pada dua ayat sebelumnya bahwa bila Allah SWT menghendaki niscaya para pembangkang itu dibutakan dan dibuat tidak bisa bergerak, pada ayat ini menurut para ulama adalah bentuk kuasa Allah SWT yang dapat membutakan dan mengubah bentuk ternyata ada pada siklus kehidupan umat manusia. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ
wa man nu’ammirhu nunakkishu fi al-khalqi afalaa ya’qiluun.
Artinya:
“Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya, Kami mengembalikannya dalam penciptaan. Maka tidakkah mereka berpikir?” (QS: Yasin Ayat 68)
Ibnu Jarir al-Thabari dalam kitabnya al-Jami’ fi Ta’wil al-Qur’an dengan mengutip riwayat dari Basyar dari Yazid dari Sa’id dari Qatadah, menerangkan bahwa ayat di atas merupakan gambaran atas siklus kehidupan manusia. Bagi orang-orang yang dipanjangkan umurnya, maka ia akan dikembalikan keadaannya seperti waktu bayi dan kanak-kanak karena lemah dan pikun. Jadilah ia tidak mengetahui apa-apa meskipun ia sebelumnya telah banyak pengalaman dan pengetahuan.
Senada dengan al-Thabari, Imam al-Qusyairi menerangkan bahwa ayat di atas merupakan bukti kuasa Allah SWT untuk mengembalikan keadaan manusia setelah ia mencapai batas kekuataannya lalu kembali menjadi lemah. Al-Qusyairi menambahkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia, bertambah kekuatan, tetapi di saat yang bersamaan berkuranglah usianya sehingga ada saatnya ia menjadi seperti kanak-kanak yang lemah dan tidak berdaya. Sehingga berkurangnya usia yang terus menerus menghabiskan seluruh jatah umurnya.
Masih sama dengan kedua mufassir di atas, al-Baghawi dalam kitab tafsirnya Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Quran menerangkan bahwa pada ayat tersebut Allah SWT mengembalikan kondisi manusia ketika telah renta mejadi kanak-kanak seperti awal mula dilahirkan di dunia. Lebih spesifik kata nunakkishu dalam keterangan al-Baghawi berarti nudh’ifu jawarihahu (melemahkan seluruh organ dan anggota tubuhnya) setelah sebelumnya kuat dan mengembalikannya menjadi banyak kekurangan setelah sebelumnya banyak kelebihan. Di akhir ayat, menurut al-Baghawi, al-Quran mengajak manusia untuk mengambil hikmah bahwasanya Allah SWT Maha Kuasa untuk membolak-balikkan keadaan manusia dan membangkitkannya kembali setelah mereka mati.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kawat nu’ammirhu berasal dari kata ‘umr, yang artinya usia. Kata yang digunakan dalam ayat di atas berarti ‘Kami panjangkan usianya’. Adapun kata nunakkishu sebagai lanjutan kalimat pada ayat di atas diambil dari kata dasar nakasa yang berarti membalik, dengan menjadikan yang di atas berada di bawah dan sebaliknya.
Menurut Quraish, pesan dari ayat 68 ini senada dengan QS. al-Nahl [16]: 70, yang menunjukkan bahwa manusia akan dikembalikan pada kondisi yang paling lemah sebagaimana ketika bayi tidak berdaya. Dalam penelusuran Quraish, selain ayat 68 Surat Yasin dan ayat 70 Surat al-Nahl ini setidaknya ada beberapa ayat lain dengan substansi yang sama persis yaitu dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 96, Fathir [35] ayat 11 dan ayat 37.
Dari beberapa ayat tersebut, Allah SWT menggunakan bentuk kata jamak yang artinya memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah SWT dalam panjang dan pendeknya usia. Artinya ada keterlibatan manusia dalam hal memperpanjang harapan hidup. Menurut Quraish, hal seperti ini diperkuat oleh Hadis Nabi yang mengatakan bahwa silaturahmi dapat memperpanjang umur dan memperbanyak rezeki. Ayat al-Qur’an dan hadis seperti ini, bagi Quraish, dapat dimaknai bahwa silaturahmi adalah sarana untuk menjalin kembali hubungan yang putus dan menjernihkan yang keruh, yang pada akhirnya dapat mengurangi stress. Karena stress, kata Quraish, adalah salah satu penyebab kematian yang paling banyak.
Berbeda dengan penafsiran-penafsiran di atas, Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur memahami kata nu’ammirhu tidak dalam arti memperpanjang usia, akan tetapi masih merupakan kelanjutan dari ayat 66-67 sebelumnya yang merupakan ancaman. Dalam ayat ini, menurut Ibnu ‘Asyur, kata nu’ammirhu berarti ‘Kami biarkan hidup’, tidak Kami matikan bersama orang-orang musyrik lainnya. Seakan-akan ayat ini menyatakan: Kami tidak mengubah bentuk mereka dan tidak membutakan mereka, Kami biarkan mereka hidup dalam keadaan hina. Wallahu A’lam.