Tafsir Surat Yasin Ayat 62: Setan yang Menyesatkan

Tafsir Surat Yasin Ayat 62: Setan yang Menyesatkan

Tafsir Surat Yasin Ayat 62: Setan yang Menyesatkan
Kitab-kitab yang disusun rapi.

Pada ayat sebelumnya Allah SWT telah mengecam para pendurhaka untuk tidak menyembah (mentaati) setan. Pada ayat ini Allah SWT kembali menegaskan bahwa setan telah banyak menjerumuskan manusia dan hendaknya umat manusia menggunakan akal pikirannya agar tidak tergoda tipu daya setan. Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ أَضَلَّ مِنْكُمْ جِبِلًّا كَثِيرًا أَفَلَمْ تَكُونُوا تَعْقِلُونَ

wa laqad adhalla minkum jibillan katsiiraan afalam takuunuu ta’qiluun.

Artinya:

“Demi (Allah)! Sungguh, (setan) telah menyesatkan banyak kelompok di antara kamu, maka apakah kamu tidak berpikir?” (QS: Yasin ayat 62)

Imam Ibnu Jarir al-Thabari sebagaimana meriwayatkan penafsiran dari Muhammad bin ‘Amr dari Abu ‘Ashim dari ‘Isa dari al-Harits dari al-Hasan dari Waraqa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid, bahwasanya kata jibillan bermakna khalqan yang artinya makhluk. Dari penafsiran kata tersebut, penulis memahami bahwa setan tidak hanya menggoda manusia saja, tetapi juga menggoda golongan jin untuk sama-sama durhaka kepada Allah SWT.

Dalam memaknai kalimat afalam takuunuu ta’qiluun (apakah kalian tidak berpikir?), al-Thabari menerangkan bahwa kalimat tersebut ditujukan bagi orang-orang musyrik. Mereka mentaati setan untuk beribadah selain kepada Allah SWT. Padahal tidak selayaknya mereka mentaati musuh-musuhnya sendiri.

Al-Baghawi dalam kitabnya Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Quran menjelaskan bahwa terdapat perbedaan cara baca (qiraah) pada lafaz jibillan. Ya’qub al-Basri, satu dari sepuluh imam membacanya dengan jubullan, sedangkan Ibnu ‘Amir dan Abu ‘Amar, dua dari tujuh imam membacanya jublan, sedangkan yang lainnya ada yang membaca jubulan tanpa tasydid. Adapun yang membaca sebagaimana kita baca, menurut al-Baghawi adalah bacaan imam ‘Ashim dan juga para imam yang berasal dari Madinah.

Meski terdapat perbedaan cara baca, terang al-Baghawi, akan tetapi tidak berdampak pada maknanya. Lafaz tersebut tetap bermakna al-khalq wa al-jama’ah artinya kelompok atau kumpulan makhluk. Adapun penafsiran dari kalimat akhir afalam takuunuu ta’qiluun, menurut al-Baghawi adalah ungkapan agar umat Nabi Muhammad SAW belajar dari umat-umat terdahulu yang telah tertipu rayuan iblis.

Dalam hal menerangkan berbagai bacaaan kata j-b-l pada ayat di atas, al-Zamakhsyari sama seperti al-Baghawi. Begitu pun dengan pemaknaannya yang berarti makhluk (al-khalq). Namun al-Zamakhsyari menambahkan satu bacaan lagi meski kurang populer yaitu bacaan Ali bin Abi Thalib yang membacanya cukup berbeda jauh dari lafaz j-b-l menjadi dibaca jaylan (j-y-l) yang artinya generasi. Meskipun secara makna kata berbeda antara kedua lafaz tersebut, tetapi secara makna kalimat dan substansi tidak berbeda sama sekali. Jika menggunakan bacaan Ali tersebut, maka ayat ini bisa dipahami bahwa setan telah menyesatkan banyak generasi, dari generasi ke generasi agar umat manusia terjerumus ke dalam kesesatan.

Fakhruddin al-Razi menerangkan bahwa bentuk kesesatan (al-idhlal) sebagaimana diulas pada ayat dapat dipahami dalam dua makna sekaligus. Pertama, sesat sebagai sebuah sikap adalah melenceng dari tujuan dan mengabaikan tujuan tersebut (tawliyatun ‘an al-maqshad wa shaddun ‘anhu). Kedua, sesat sebagai sebuah akibat yang diumpamakan oleh al-Razi seperti orang yang menggunakan akalnya dengan sengaja untuk menempuh jalan yang salah.

Berbeda dengan penafsiran sebelumnya terhadap kata jibillan, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa kata ini seakar dengan kata jabala yang artinya gunung. Menurut Quraish kata ini lebih mengesankan kepada makna-makna seperti keras, kasar, besar, dan agung. Sehingga makna yang lebih tepat menurut Quraish adalah kelompok orang yang kuat dan tangguh. Artinya setan telah menjerumuskan banyak kelompok-kelompok manusia yang tangguh. Hal ini menggambarkan betapa kuatnya godaan setan kepada manusia.

Terkait makna kata ta’qiluun pada akhir ayat, bagi Quraish kata tersebut berakar dari kata ‘aqala yang artinya mengikat. Hal ini dapat dipahami bahwa potensi yang menghalangi manusia untuk melakukan keburukan dan kesalahan dinamakan akal. Karena potensi tersebut bagaikan mengikat manusia agar tidak terbawa oleh arus kedurhakaan dan kesesatan.