Tafsir Surat Yasin Ayat 60-61: Wasiat Allah SWT Agar Tidak Mengikuti Setan

Tafsir Surat Yasin Ayat 60-61: Wasiat Allah SWT Agar Tidak Mengikuti Setan

Tafsir Surat Yasin Ayat 60-61: Wasiat Allah SWT Agar Tidak Mengikuti Setan
Kitab-kitab yang disusun rapi.

Setelah pada ayat sebelumnya dikatakan  ‘wamtazuu’ kepada para ahli neraka, dengan segera mereka tersingkir dengan terhina dan penuh penyesalan. Lalu pada ayat ini Allah SWT mengecam mereka dengan firman-Nya:

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ () وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

alam a’had ilaykum yaa banii aadama an laa ta’buduu al-syaythaan inaahuu lakum ‘aduwwun mubiin. wa ani’buduunii hadzaa shiraathin mustaqiim.

Artinya:

“Bukankah Aku telah mewasiatkan (berpesan) kepada kamu, hai anak-cucu Adam, bahwa janganlah menyembah setan, (karena) sesungguhnya ia (setan) adalah musuh yang nyata bagi kamu. Dan (bukankan Aku juga telah berpesan) bahwa sembahlah Aku. Inilah jalan lebar yang lurus.” (QS: Yasin Ayat 60-61)

Ibnu Jarir al-Thabari ketika menafsikran dua ayat di atas tidak mengutip riwayat dari siapa pun. Menurut penafsirannya, ayat 60 Allah SWT seakan mengatakan, “bukankah aku telah mewasiatkan dan memerintahkan kalian ketika di dunia untuk tidak menyembah setan? Kalian malah mentaati setan dalam bermaksiat kepada Allah SWT” (alam uushiikum wa aamurukum fi al-dunya an laa ta’buduu al-syaythaan fatathii’uuhu fi ma’shiyatillah). Untuk kalimat innahu lakum ‘aduwwun mubiin, al-Thabari menerangkan bahwa Allah SWT telah memperingatkan untuk tidak mengikuti setan karena setan adalah musuh yang nyata sejak awal penciptaan manusia yaitu ketika Adam AS dan Hawa tertipu oleh bujuk rayu setan.

Untuk ayat ke 61, menurut al-Thabari adalah penegasan kembali bagi para penduduk neraka dan seluruh umat manusia bahwa hanya menyembah Allah SWTlah satu-satunya jalan yang lurus. Ketaatan dan ikhlas dalam beribadah, tidak mengikuti kehendak dan bujuk rayu setan, adalah sebenar-benarnya agama (al-din al-shahih).

Menurut Imam al-Qusyairi, pada kedua ayat di atas seolah-olah Allah SWT berfirman, “Aku telah menasihati dan memperingati kalian, berapa kali aku mengingatkan tetapi kalian tidak menerima ancaman-Ku, tidak melaksanakan perintah-Ku, malah kalian menyalahi Ku, kalian telah menzhalimi diri kalian sendiri, oleh karenanya terjadilah apa yang seharusnya terjadi” (laqad nashahtukum wa wa’azhtukum wa min hadzaa hadzartukum wa kam awshaltu lakum al-qawl wa dzakkartukum falam taqbaluu wa’zhii wa lam ta’maluu bi amrii faantum khaalaftum wa ‘alaa anfusikum zhalamtum wa bidzaalika sabaqat al-qadhiyyah).

Al-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kasysyaaf mengungkapkan bahwa kata al-‘ahdu pada ayat di atas bermakna al-washiyyah (wasiat) sedangkan kata ‘ibadat pada kalimat an laa ta’buduu al-syaythaan berarti tidak mantaatinya dalam segala bentuk rayuan dan godaannya.

Menurut Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb bentuk janji atau wasiat Allah SWT sebagaimana tertera dalam ayat 60 di atas bisa dijelaskan dalam dua kategori. Pertama adalah Janji atau wasiat Allah SWT kepada Nabi Adam AS, bapak umat manusia sebagaimana tertera dalam QS Thaha ayat 115. Kedua janji atau wasiat kepada anak keturunan Adam sebagaimana disebutkan pada ayat ini dan juga ayat-ayat yang lain seperti dalam QS al-A’raf [7] ayat 172. Ketiga, peringatan tentang janji Allah SWT ini telah disampaikan para Rasul kepada setiap kaumnya. Oleh karena itu, kata al-Zamakhsyari, orang-orang yang berakal (al-uqalaa‘) bahwa setan selalu memerintahkan untuk berbuat keburukan.

Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan kecaman kepada kaum musyrikin dan para pendurhaka dengan menggunakan seruan ‘wahai putra-putri adam’. Selain menandakan bahwa pesan itu telah diturunkan sejak masa Nabi Adam AS, hingga masa terakhir, juga untuk mengingatkan semua pihak bahwa permusuhan dengan setan telah mengakar jauh, tidak mungkin hilang apalagi berkurang. Dalam ayat yang lain, terang Quraish, yakni pada QS al-A’raf [7] ayat 172 Allah SWT telah memperingati agar bani Adam tidak tertipu oleh setan sebagaimana Adam dan Hawa yang dikeluarkan dari surga.

Menurut Quraish, penggunaan kata a’had (aku berpesan) dan u’budunii (sembahlah Aku) dalam dua ayat di atas menunjukkan dua hal. Pertama mengisyaratkan bahwa pesan itu sungguh jelas dan penting karena Allah SWT sendiri yang menyampaikan, sehinga Dialah sumbernya secara langsung. Kedua mengisyaratkan penyembahan tidak diperkenankan kecuali hanya kepada-Nya, tidak kepada siapa pun. Ketiga bentuk kata ganti orang pertama tunggal menandakan tidak ada keterlibatan siapa pun, hanya Allah SWT, seperti dalam hal beribadah dan menerima taubat. Jika menggunakan bentuk jamak, maka hal itu mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya dalam hal yang dibicarakan maupun untuk menggambarkan Allah SWT.