Tafsir Surat Yasin Ayat 12: Jejak Manusia di Muka Bumi

Tafsir Surat Yasin Ayat 12: Jejak Manusia di Muka Bumi

Tafsir Surat Yasin Ayat 12: Jejak Manusia di Muka Bumi
Al-Qur’an

Setelah beberapa ayat sebelumnya berbicara tentang risalah kenabian yang terkait dengan penolakan dan penerimaan kepada Nabi Muhammad SAW, ayat ke-12 ini menegaskan bentuk kuasa Allah SWT yaitu menghidupkan kembali orang mati dan mengentahui segala sesuatu. Allah SWT berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

Innaa nahnu nuhyi al-mauta wa naktubu maa qaddamuu wa aatsaarahum wa kulla syai‘in ahshainahu fi imaamim mubin.

Artinya:

Sesungguhnya Kami menghidupkan (kembali) orang-orang (yang telah) mati dan Kami mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan (yakni amal-amal mereka yang diikuti oleh generasi sesudahnya). Dan segala sesuatu Kami pelihara dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfudz). (QS Yasin ayat 12)

Dari Basyar, dari Yazid, dari Said, dan dari Qatadah, Ibnu Jarir al-Tabari menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat ma qaddamu adalah catatan amal orang-orang baik yang menerima maupun menolak ajaran Nabi Muhammad SAW. al-Tabari menceritakan pula mengenai sebab turunnya ayat tersebut berdasarkan riwayat dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa sebagian kelompok anshor (orang-orang asli Madinah) tempat tinggal mereka jauh dari Masjid Nabi. Karena itu mereka bermaksud untuk pindah tempat tinggal agar lebih dekat dengan Masjid. Maka turunlah ayat ini yang di dalamnya terdapat keterangan bahwa Allah SWT mencatat amal dan atsar (jejak) mereka ketika melangkah menuju Masjid. Mereka pun tidak jadi pindah tempat tinggal.

Dari riwayat lain, tepatnya dari Ibnu al-Mutsanna dari Abdushshomad dari Syu’bah dari al-Jariri dari Abi Nadhroh dari Jabir, ia berkata: “Bani Salimah bermaksud untuk pindah tempat tinggal ke dekat masjid. Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada mereka: Wahai Bani Salimah tetaplah tinggal di tempat kalian karena sungguh jejak langkah kalian akan dicatat.”

Sedikit berbeda dengan al-Tabari, Imam al-Qusyairi menafsirkan kata menghidupkan yang mati (nuhyi al-mauta) dengan makna bahwa Allah SWT menghidupkan hati yang mati karena keras seperti batu dengan percikan tetesan hujan di atasnya dari awal penerimaan. Adapun makna frasa jejak mereka (atsarahum)berarti bahwa jejak mereka menuju masjid dan keadaan mereka ketika terjaga di malam hari untuk bermunajak kepada Allah SWT. Kemudian terkait dengan Imamin Mubin, menurut al-Qusyairi yang dimaksud adalah Lauh Mahfuzh.

Hampir sama dengan penafsiran al-Qusyairi, al-Zamaskhsyari ketika menafsirkan kata menghidupkan (nuhyi) dapat berarti pula dengan mengeluarkan mereka dari kemusyrikan menuju keimanan. Begitu pun dengan penafsiran tentang kata atsar, ia menjelaskan mengenai sebab turunnya ayat yang berkaitan dengan keinginan pindahnya Bani Salimah ke dekat Masjid Nabi sebagaimana telah diterangkan dalam tafsir al-Tabari.

Dengan penjelasan yang lebih detail mengenai munasabah ayat ini dengan ayat sebelas, Thahir Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa terdapat makna Kinayah Ta’ridhiyyah (majas kiasan) bahwa orang-orang yang tidak menerima manfaat atas peringatan Nabi SAW sama seperti orang-orang mati karena tidak memanfaatkan ajaran kebenaran sebagaimana orang yang berakal. Hal ini karena perumpamaan keadaan orang yang musyrik seperti keadaan orang yang mati karena kesesatan. Dengan demikian, ayat ini menunjukkan dua hal menurut Ibnu ‘Asyur: pertama perumpamaan (isti’arah) orang yang mati kepada orang-orang musyik, dan kedua perumpamaan menghidupkan dengan meniadakan kemusyrikan. Kemudian frasa naktubupada akhir ayat juga merupakan kinayah dari pembalasan dan pahala atas perbuatan amal saleh mereka dan pahala atas jejak mereka di muka bumi.

Kemudian terkait dengan kata ahshaina pada akhir ayat, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata tersebut bermakna menghitung dengan teliti. Ia menjelaskan bahwa Allah SWT yang bersifat al-Muhshi mengetahui kadar setiap peristiwa dan perinciannya, baik yang terjangkau oleh makhluk maupun yang tidak terjangkau, seperti embusan napas, perincian perolehan rezeki dan kadarnya untuk masa kini dan mendatang. Walhasil, menurut Quraish apa yang dijelaskan melalui ayat ini menggambarkan bahwa Allah SWt mengetahui dengan amat teliti perincian segala sesuatu dari segi jumlah dan kadarnya, panjang dan lebarnya, jauh dan dekatnya, tempat dan waktunya, kadar cahaya dan gelapnya, sebelumm ketika, dan saat wujudnya, serta lainnya yang semua ini tercatat dan terpelihara dengan sangat baik. Wallahu A’lam.