Tafsir Surat Fathir Ayat 28: Makna dan Kriteria Ulama dalam Al-Quran

Tafsir Surat Fathir Ayat 28: Makna dan Kriteria Ulama dalam Al-Quran

Tafsir Surat Fathir Ayat 28: Makna dan Kriteria Ulama dalam Al-Quran

Secara lughawi, ulama merupakan jama’ dari ‘alim, artinya orang yang berilmu, yang terambil dari akar kata yang berarti “mengetahui secara jelas”.

Dalam terminologi Al-Quran, ulama bukan hanya mereka yang mendalami ilmu agama saja melainkan mereka yang memiliki ilmu di bidangnya. Menurut Prof. Quraish Shihab, dalam Tafsir al-Mishbah, ayat ini memberikan penjelasan bahwa mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah “ulama”. Dengan demikian, siapapun yang memiliki pengetahuan dan dalam disiplin apapun pengetahuan tersebut, maka ia dapat disebut “alim”.

Pengetahuan yang dimiliki ini menghasilkan “khasyat”. Menurut Imam Ar-Raghib al-Ashfihani, “Khasyat” adalah rasa takut yang disertai penghormatan yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Syekh Thahir Ibn Asyur menulis apabila yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu, sebesar pula kadar kekuatan khasyat/takut.

Imam Hasan al-Bashri, sebagaimana dikutip oleh Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya, menjelaskan apabila orang yang berilmu (‘alim) ialah orang yang takut kepada Allah yang Maha Pengasih, dan menyukai apa yang disukai oleh Allah dan menghindari apa yang dimurkai Allah.

Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW menjelaskan apabila ulama merupakan pewaris para Nabi (al-‘ulama waratsatul anbiya). Para nabi tidak mewariskan harta, hanya ilmu.

Di dalam masyarakat, ada beberapa istilah yang berkembang sesuai dengan konteks lokal untuk menyebut ulama. Di Jawa, disebut kiai. Di Sunda, disebut Ajengan. Di Nusa Tenggara Barat disebut dengan istilah Tuan Guru, di Aceh disebut dengan Tengku, di Bugis disebut dengan istilah Gurutta, dan sebagainya.

Ketika Walisongo masih hidup, para ulama disebut Sunan/Susuhunan. Generasi berikutnya merasa segan menggunakan istilah mulia ini, hingga akhirnya hanya menyematkan diri menggunakan nama “Ki Ageng”. Karena generasi pelanjutnya merasa sungkan menggunakan gelar ini, maka mereka mencukupkan diri dengan istilah “Ki Gede”. Generasi setelahnya akhirnya hanya menggunakan nama “kiai” yang sebelumnya hanya dipakai menyebut nama benda-benda yang dihormati.

Selain itu ada juga beberapa istilah yang seringkali saling bertabrakan di masyarakat. Yaitu, muballigh, da’i, dan ulama. Pertama, muballigh alias penyampai. Prosesnya disebut tabligh. Mubaligh hanya menyampaikan pesan/isi, dia tidak terikat dengan syarat yang ribet. Karena hanya menyampaikan saja, maka tidak dibutuhkan kualifikasi individu.

Kedua, da’i atau pengajak. Kinerjanya namanya dakwah. Di sini mulai dibutuhkan kualifikasi individu, sebab dia bukan hanya pengampai pesan, melainkan pengajak/penyeru. Jika muballigh hanya menyampaikan kewajiban shalat, maka da’i sudah masuk dalam ranah mengajak orang shalat.

Nah, setelah itu ada kualifikasi seorang “alim”. Dia bukan hanya menyeru dan mengajak, melainkan juga melaksanakan apa yang telah dia sampaikan dan dia serukan. Kategori ini lebih bercorak seorang “alim” di bidang keilmuan agama yang menggunakan tiga level pendekatan: dengan hikmah, dengan mauidzoh hasanah (ujaran yang baik), dan debat/perbantahan yang ekselen (ahsan), sebagaimana diterangkan dalam Surat an-Nahl ayat 125. Hanya saja, berdasarkan QS. Fathir 28, tidak semua yang memiliki ilmu bisa disebut ulama. Sebab, ciri utama seorang ulama adalah khasyatillah, takut dengan Allah.

Menurut KH. A. Mustofa Bisri, di antara ciri ulama adalah “Alladzina yandzuruna ila al-ummah bi’ainirrahmah” alias mereka yang melihat umat dengan pandangan kasih sayang. Jiwa pendidik mereka kuat, sebab melihat umat sebagai anak-anaknya yang harus mereka bimbing, mereka tunjukkan ke jalan yang diridhai Allah (sabili rabbika) bukan dengan pandangan seorang penghukum yang melihat umatnya sebagai calon terdakwa.

Mereka yang bukan melihat umatnya sebagai calon penduduk neraka, melainkan melihatnya sebagai kandidat penduduk surga. Karena itu, dalam pendidikan keummatan mereka bisa menempatkan diri kapan menggunakan pendekatan targhib (motivasi) maupun tarhib (intimidasi) yang berkaitan dengan ajaran Islam.

Dalam Nashaih al-‘Ibad, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan di antara kriteria mereka yang merugi adalah, “Man istakhoffa bil-ulama’i khasira addin”, barangsiapa yang merendahkan ulama maka dia akan merugi dalam urusan agama. Sebab, jika air tidak mengalir ke tempat yang lebih tinggi, maka demikian pula dengan ilmu. Ia tidak akan pernah masuk ke hati dan pikiran orang-orang yang tinggi hati.

Berkaitan dengan perkataaan Syekh Nawawi di atas, ada pula ucapan Imam Ibnu Asakir yang relevan, yaitu “Luhumul Ulama’ Masmuumah”, daging ulama itu beracun. Yang menghirupnya akan jatuh sakit, yang mencicipinya akan mampus. Artinya, sudah banyak kejadian yang membuktikan apabila ulama itu “malati” (bahasa Jawa: kualat, membawa sial bagi mereka yang memfitnahnya). Biasanya, ketika seseorang memfitnah ulama, Allah membuka aib maupun menimpakan musibah kepada pemfitnahnya.

Karena Mautul alim, mautul alam. Wafatnya seorang ulama adalah bencana bagi semesta alam. Sebab mereka memiliki karakteristik yang khas. Ketika seorang ulama wafat, maka keilmuan, kekayaan pengetahuan, dan karakteristiknya ikut terbawa. Sebab, masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda.

Maka, di antara tanda akhir zaman adalah Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Demikian pentingnya kedudukan ulama, ada sebuah maqalah yang mengatakan jika selama 40 hari seseorang tidak duduk dan belajar bersama ulama, maka hatinya akan mengeras.

Kematian seorang ulama, menurut Sayyidina Abdullah Ibnu Mas’ud RA adalah lubang dalam Islam yang tidak bisa ditambal. Oleh karena itu, kata beliau, carilah ilmu sebelum ilmu itu dicabut oleh Allah dengan mewafatkan para ulama. Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu wajhah, wafatnya seorang ulama ibarat tangan yang terpotong. Tidak akan bisa tumbuh lagi.

Dalam “Tanqihul Qaul”, Syekh Nawawi al-Bantani menukil sabda Rasulullah dalam “Lubabul Hadis”-nya Imam as-Suyuthi, bahwa di antara tanda orang munafik adalah tidak bersedih atas wafatnya para ulama (Man lam yahzan limautil alim, fahuwa munafiqun, munafiqun, munafiqun).

Wallahu A’lam Bisshawab

——
Tulisan di atas merupakan bahan kajian tafsir di Pondok Pesantren Mabdaul Ma’arif, desa/kec. Jombang, Kab. Jember. Selasa, 11 Dzulqa’dah 1439 H/24 Juli 2018.