Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 135: Perintah Allah untuk Berbuat Adil, Melarang Kolusi dan Nepotisme

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 135: Perintah Allah untuk Berbuat Adil, Melarang Kolusi dan Nepotisme

Keadilan dan kesaksian yang benar harus ditegakkan sebagai bentuk ketaatan kita terhadap Allah

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 135: Perintah Allah untuk Berbuat Adil, Melarang Kolusi dan Nepotisme

Kunci berbagai permasalahan di Indonesia kuncinya ada di keadilan. Kita lihat, kasus seperti skandal PT. Jiwasraya, kasus mantan direktur Garuda Indonesia dalam penyelundupan Harley Davidson, hingga kasus penyuapan yang dilakukan oleh Harun Masiku.

Sayangnya, kesan tebang pilih dalam penegakkan hukum masih ada, Keadilan hukum di Indonesia masih dianggap belum maksimal, masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Seakan yang kaya akan menang dihadapan hukum, dan yang miskin gigit jari di jeruji besi.

Upaya penegakkan hukum secara adil dalam Islam memiliki dasar kuat, terlebih bahwa hukum bukan dimiliki oleh kelompok tertentu bahkan orang-orang tertentu. Berbagai ayat mengandung pesan untuk bersikap adil, termasuk QS. al-Nisa’ ayat 135.

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ بِٱلۡقِسۡطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمۡ أَوِ ٱلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَۚ إِن يَكُنۡ غَنِيًّا أَوۡ فَقِيرٗا فَٱللَّهُ أَوۡلَىٰ بِهِمَاۖ فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ وَإِن تَلۡوُۥٓاْ أَوۡ تُعۡرِضُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا

Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.

Dalam tafsiral-Wasit, dijelaskan makna beberapa lafadh dalam ayat tersebut. qawwamina merupakan bentuk jamak dari bentuk mubalagoh lafadh qaimun dan qawwamun. Bentuk mubalaghah berarti mendirikan sesuatu dengan sempurna dan sebaik-baiknya. Sedangkan makna arti Shuhada’ bentuk plural dari singular Shahid, inti artinya adalah menunjukkan sifat bagi sosok yang berpegang teguh dengan pendirian. Panggilan dengan sebutan, yaayyuha al-ladhina amanu, merupakan bentuk panggilan yang menunjukkan untuk berbuat baik, taat dan melestarikan sesuatu yaitu keadilan.

Termasuk dalam tafsiral-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Qurthubi menjelaskan, maksud dari lafadh walidain, merupakan terhadap orang tua juga harus bersikap adil. Adalah berbuat baik kepada orang tua, memuliakan kedua orang tua, termasuk bentuk kebaikan kepada orang tua, juga membersihkan orang tua dari kesalahan, bukan untuk membela dalam kesalahan, yang benar harus disampaikan dengan benar dan jika salah juga harus ditetapkan sesuai prosedur. Kemudian kerabat juga disebut, kenapa demikian? Karena, mereka terkadang menjadi sumber nepotisme dan fanatisme, kekhawatiran jika kecendurungan unsur kerabat mempengaruhi dalam memutuskan suatu keputusan dalam suatu perkara. Senada dengan pesan QS. al-Tahrim ayat 6, sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Bentuk keadilan harus dimulai dari suatu kecil, sebelum berlaku adil dalam skala besar. Mulai dari skala kecil, yaitu keluarga. Bersikap adil terhadap keluarga, kemudian kepada para sanak keluarga.Dalam kondisi apapun harus bersikap adil tanpa ada kecenderungan kepada mereka,maka keadilan akan dapat ditegakkan. Mungkin ini merupakan salah satu solusi dari sekian permasalahan kolusi dan nepotisme yang terjadi di Indonesia.

Wahbah Zuhaili dalam al-Munir memaparkan, dari riwayat Ibnu Hatim. Ayat di atas diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, saat terjadi perselisihan masalah di antara dua laki-laki, yang satu seorang fakir miskin dan yang satu lainnya orang yang kaya. Pada saat itu, Nabi melihat bahwa sang fakir miskin tidak mendholimi si kaya. Dalam ayat ini, Allah tidak berpihak kepada siapapun, kecuali keadilan harus tetap ditegakkan untuk keduanya. Artinya keadilan harus tetap ditegakkan, bahkan tidak akan kokoh sebuah tatanan masyarakat kecuali dengan menegakkan keadilan, keberlangsungan pemerintahan dan untuk melestarikan aturan tidak akan bisa berjalan, kecuali keadilan harus ditegakkan.

Selama kecenderungan pada pihak-pihak tertentu mempengaruhi sikap dalam memutuskan sebuah permasalahan, maka keadilan tidak akan dapat ditegakkan. Andai saja ada upaya pemutarbalikkan fakta dari sebuah persaksian sebenarnya, tapi sesugguhnya Allah maha mengetahui sekaligus dengan sangat teliti.

Nawawi al-Bantani, menjelaskan bahwa walaupun yang terdakwa adalah orang fakir atau kaya, keadilan harus tetap diteggakkan. Bukan karena rasa belas kasihan terhadap orang fakir ataupun sebaliknya, untuk mendapatkan kerelaan dari terdakwa yang kaya raya, bagaimanapun kebenaran harus disampaikan dan ditegakkan. Keadilan sejatinya, adalah ditegakkan karena Allah. Apapun pertimbangan kemaslahatan seorang hakim, tetap Allah yang lebih mengetahui apa yang lebih Maslahah kepada sang terdakwa.

Pemahaman yang terkandung dalam ayat ini. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang teguh dalam menegakkan keadilan dalam perkaramu sekalian, di setiap situasi dan kondisi, bukan karena sesuatu yang mengalihkan perhatian kalian. Tapi jadilah para saksi Allah, yang menegakkan kesaksian yang benar untuk mencari Ridho Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi, bukan juga seperti urusan perut saja. Keimanan yang sesugguhnya adalah kalian bersikap adil dalam setiap hukum dan keputusan, dan juga mengembalikan kesaksiannya kepada Allah.

Demikian keadilan harus ditegakkan, bagi kita yang beriman harus adil dalam setiap tindakan dan keputusan. Keadilan tidak memandang kasta, ras, kelompok, tapi keadilan dan kesaksian yang benar harus ditegakkan sebagai bentuk ketaatan kita terhadap Allah. Bukan sekadar karena melaksanakan perintah Allah saja, tapi lebih dari itu untuk kemaslahatan bagi seluruh manusia. Wa Allah A’lam Bi al-Sowab.