Medio 2006, mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah membuat pernyataan kontroversial. Disebut olehnya bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci terporno yang pernah ada. Meski begitu, pernyataan ini menyeruak bukan dari ruang hampa.
Ya, pernyataan Gus Dur itu sebetulnya dilatarbelakangi oleh pro-kontra mengenai RUU Pornografi yang saat itu dibahas DPR. Gus Dur, dengan demikian, ingin menunjukan satu protes keras atas RUU yang dinilai sangat rapuh secara logika berpikir tersebut.
Nahas, tidak sedikit orang yang kemudian merespon pernyataan Gus Dur itu sebagai problem akidah. Alhasil, Gus Dur dinilai telah menista agama dan karenanya dilaporkan kepada pihak berwenang.
Betapapun, apa yang disampaikan Gus Dur saat itu adalah diskurusus umum dalam tradisi pesantren. Pasalnya, bagi Gus Dur, pendidikan seks dalam Islam memang memiliki porsi penting, bahkan sejak dari sumber primernya, yakni al-Qur’an.
Lebih jauh, perbincangan tentang sensualitas biasanya dihubungkan dengan pembahasan mengenai ayat-ayat eskatologi, seperti balasan amal di surga maupun di neraka yang memang selalu menarik untuk dibahas.
Ini dimungkinkan oleh, salah satunya, beragam penafsiran yang timbul dan metode pemahaman yang bermacam-macam. Penafsiran yang beragam ini terkadang digunakan oleh pihak-pihak tertentu dalam doktrinasi dan lainnya, seperti misalnya janji wanita yang disiapkan untuk para penghuni surga.
Salah satu ayat yang membahas ini adalah Q.S. An-Naba’ (78): 33. Konteks ayat ini membahas seputar balasan bagi orang-orang yang bertaqwa, seperti kebun-kebun (حدائق), buah anggur (أعنابا), dan juga perempuan (كواعب أترابا).
Pemaknaan kawā’iba atrāban di sini sangat bermacam-macam dan kebanyakan menggunakan makna yang cenderung menunjukkan sensualitas perempuan.
Tafsir Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Kabir-nya, misalnya, memaknai ayat ini sebagai perempuan yang memiliki buah dada montok, menonjol, dan bulat. Penafsiran serupa juga ditemukan dalam tafsir Imam at-Thabary dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an, dengan ditambahkan kriteria khusus “perempuan muda” atau “sebaya”.
Pada perkembangannya, pemaknaan tersebut kelewat kokoh dan mengakar pada ayat ini, bahkan hingga sekarang. Bisa kita lihat dalam Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, umpamanya, pemaknaan yang juga serupa masih digunakan dalam karya tersebut. Atau, pada mufasir sebelumnya seperti Kiai Bisri Musthofa dalam al-Ibriz juga menggunakan diksi serupa, kendati dalam bahasa Jawa.
Namun apakah makna yang dimaksud pada ayat tersebut memposisikan perempuan sebagai sebuah hadiah (gift) saja?
Jadi begini. Q.S. An-Naba’ merupakan surat yang turun pada masa Nabi Muhammad sebelum hijrah ke Madinah. Pada masa jahiliyyah atau Arab pra-Islam, perempuan masih dianggap hina dan diyakini sebagai sumber petaka. Bahkan perempuan diposisikan sebagai suatu “barang”, yang bisa menjadi rampasan perang ataupun jaminan hutang.
Maka, turunnya ayat kawa’iba atroban ini adalah sebuah upaya untuk menaikkan derajat perempuan pada masa itu. Perempuan pada masa awal Islam ini dikuatkan posisinya, dengan cara memposisikannya sebagai penghuni surga yang telah disiapkan oleh Allah. Kata kunci yang dapat diambil dari konteks ayat tersebut adalah “’atho’an hisaban” yang sekaligus merupakan bantahan terhadap posisi wanita sebagai suatu “barang” pada masa itu.
Di masa Islam sekarang, posisi perempuan sudah tidak lagi dipandang rendah. Maka dari itu penafsiran tersebut pun hendaknya juga mengikuti perkembangan yang ada. Karena konteks pada bahasan ayat tersebut adalah balasan bagi orang-orang yang bertakwa di akhirat, maka alangkah baiknya jika penafsiran tersebut diperluas spektrumnya.
Karena akar kata kawa’iba sama dengan ka’bah, maka makna sesuatu yang luhur atau mulia pada masa orang-orang yang bertakwa tersebut di kala hidup bisa menjadi salah satu solusinya. Konsekuensinya, ia tidak lagi dispesifikkan secara khusus pada satu jenis kelamin saja, agar supaya laki-laki maupun perempuan kelak di surga akan mendapat balasan yang setara. Wallahu a’lam