Tafsir Surat Al-Waqi’ah Ayat 27-30: Nikmat yang Diterima Ashabul Yamin di Surga

Tafsir Surat Al-Waqi’ah Ayat 27-30: Nikmat yang Diterima Ashabul Yamin di Surga

Tafsir Surat Al-Waqi’ah Ayat 27-30: Nikmat yang Diterima Ashabul Yamin di Surga
Kitab-kitab yang disusun rapi.

Surat al-Waqi’ah ayat 26 merupakan ayat terakhir di mana allah menerangkan nikmat yang di peroleh al-sabiqun kelak di surga. Pada ayat selanjutnya, Allah menerangkan golongan kedua: golongan kanan atau yang menerima catatan amal dari arah kanan. Allah menerangkan nikmat yang diberikan kepada ashabul yamin atau golongan kanan di ayat 27-30.

Allah berfirman:

وَأَصْحَابُ الْيَمِينِ مَا أَصْحَابُ الْيَمِينِ () فِي سِدْرٍ مَخْضُودٍ () وَطَلْحٍ مَنْضُودٍ () وَظِلٍّ مَمْدُودٍ

Waashhabul yamini ma ashhabul yamin. Fi sidrim makhdud. Wa thalhim mandhud. Wa dzillim mamdud.

 Artinya:

“Dan golongan kanan, Alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri. Dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya). Dan naungan yang terbentang luas.” (QS: Al-Waqi’ah ayat 27-30)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkomentar terkait ayat di atas,  setelah Allah selesai menuturkan tempat golongan al-sabiqun, Allah lalu menyertakan setelahnya keterangan tentang golongan kanan. Mereka ini, seperti yang diungkapkan Imam Maimun Ibnu Mahram, berada di posisi sebawahnya al-sabiqun. Ayat 27 seakan-akan memancing pertanyaan, lalu bagaimana golongan kanan? Bagaimana kelak keadaan mereka? Di mana mereka kelak akan bertempat?

Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam Tafsir Jalalain menyatakan Bahwa kata sidrin maknanya adalah syajarun nabqi (pohon buah Bidara). Pohon Bidara atau widara adalah sejenis pohon kecil penghasil buah yang tumbuh di daerah kering dan dikenal dengan ziziphus mauritinia. Pohon Bidara memiliki buah yang merupakan sumber Karoten, Vitamin A serta C, dan lemak. Daunnya dapat menjadi jamu, dan juga dapat membusa serta digunakan untuk memandikan mayat. Selain buah dan daun, bagian dari pohon ini yang berguna adalah akar, kulit kayu, serta kayunya sendiri.

Kata makhduud maknanya adalah la syauka fihi (tidak memiliki duri). Pohon Bidara memang dikenal memiliki duri. Pohon Bidara memiliki daun penumpu berupa duri, dan berdiri sendiri serta lurus. Namun, ciri ini berbeda dengan pohon Bidara di surga. Allah telah menegaskan bahwa pohon di surga tidak memiliki duri. Imam al-Hakim meriwayatkan sebuah hadis yang oleh beliau serta al-Dzahabi dinilai shahih:

أقبل أعرابي يوما فقال : يا رسول الله لقد ذكر الله في القرآن شجرة مؤذية و ما كنت أرى أن في الجنة شجرة تؤذي صاحبها فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : و ما هي قال : السدر فإن لها شوكا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : في سدر مخضود يخضد الله شوكة فيجعل مكان كل شوكة ثمرة فإنها تنبت ثمرا تفتق الثمرة معها عن اثنين و سبعين لونا ما منها لون يشبه الآخر

“Suatu hari, seorang Arab datang menghadap. Ia lalu berkata: “Wahai Rasulullah, di dalam al-Qur’an, Allah telah menuturkan tentang pohon yang menyakiti penghuninya. Padahal aku kira di surga tidak ada pohon yang menyakiti penghuninya”. Lalu Rasulullah salallahualaihi wasallam bertanya: “Pohon apa itu?” Si Arab menjawab: “Pohon Bidara. Pohon itu memiliki duri”. Rasulullah salallahualaihi wasallam lalu berkata: “ ‘Di antara pohon bidara yang tidak berduri’. Allah menghilangkan duri lalu menggantikannya dengan buah. Setiap tempat duri menumbuhkan buah-buahan yang memiliki 72 warna. Tidak ada satupun buah yang warnanya menyamai warna buah yang lain”.

Di dalam ayat 29, kata thalhin oleh Imam al-Mahalli dimaknai dengan syajarul mauzi (pohon pisang). Penafsiran ini berbeda dengan Ibnu Katsir. Ibnu Katsir menyatakan bahwa thalhin adalah semacam pohon besar yang tumbuh di tanah Hijaz yang memiliki banyak duri, atau dalam kamus dikenal sebagai pohon Akasia.

Sedangkan kata mamdud pada ayat 30 maknanya, menurut Imam Al-Mahalli, adalah daaimun (langgeng). Lebih lanjut, Imam al-Shawi dalam Syarah Tafsir Jalalain menerangkan, langgeng ini artinya tidak akan hilang dengan munculnya matahari.