Ahli Kitab seperti yang sering diterjemahkan Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an sebagai the followers of the early revelations “Para penganut wahyu terdahulu” merupakan konsep yang penting dalam relasi Islam dengan agama-agama lainnya. Konsep mengenai Ahli Kitab sebagai penganut ajaran wahyu terdahulu sebelum Islam sangatlah tepat mengingat bahwa Islam sendiri tidak mengklaim sebagai agama baru. Islam hanyalah rangkaian terakhir dari ajaran-ajaran wahyu sebelumnya.
Karena posisinya sebagai rangkaian terakhir dari ajaran-ajaran wahyu sebelumnya, Islam dengan sendirinya dapat dikatakan sebagai agama yang meneruskan, mengoreksi dan bahkan melengkapi dari ajaran wahyu sebelumnya. Konsep Ahli Kitab begitu penting dalam ajaran Islam karena konsep ini berimplikasi kepada pengakuan akan adanya ajaran agama lain yang sama-sama mengandung kebenaran dan Islam hanyalah yang melanjutkan ajaran kebenaran tersebut. Kendati demikian, di kalangan para ulama, terdapat perbedaan pendapat soal penganut agama apa saja yang digolongkan sebagai Ahli Kitab.
Ada sebagian ulama yang menafsirkan bahwa Ahli Kitab hanyalah penganut agama Yahudi dan Kristen yang masih keturunan Bani Israel. Adapun selain dari keturunan Bani Israil maka tidaklah lagi disebut sebagai Ahli Kitab. Ada sebagian ulama lain yang berpendapat bahwa Ahli Kitab hanya meliputi Yahudi dan Kristen baik yang keturunan Bani Israel maupun yang bukan. Sebagian ulama lainnya berpandangan bahwa Ahli Kitab tidak hanya sebatas Yahudi dan Kristen namun juga Majusi dan Shabi’in.
Namun tidak cukup sampai di situ, Rasyid Ridha bahkan memperluas lagi makna Ahli Kitab yang tidak hanya Yahudi, Kristen, Majusi dan Shabi’in namun juga Hindu, Buddha dan Konghucu. Rashid Ridha membahas masalah ini dalam tafsirnya terhadap Alquran sural al-Maidah ayat 5 berkenaan dengan hukum menikah dengan wanita Ahli Kitab dan hukum memakan makanan yang berasal dari mereka.
Dalam Tafsir al-Mannar, Rasyid Ridha menegaskan bahwa di luar Yahudi dan Kristen, terdapat juga ahli kitab lainnya. Rashid Ridha tidak hanya menyebut Majusi dan Shabi’in namun juga Hindu, Buddha dan Konghucu (Konfusius). Untuk memperkuat pandangan ini, Rashid Ridha mengutip pandangan Abu Manshur Abd al-Qahir bin Thahir al-Baghdadi (wafat 426) dari kitabnya yang terkenal, al-Farq Bain al-Firaq yang berpandangan bahwa:
إن المجوس يدعون نبوة زاردشت ونزول الوحي عليه من عند الله تعالى والصابئين يدعون نبوة هرمس وأفلاطون وجماعة من الفلاسفة وسائر أصحاب الشرائع كل صنف منهم مقرون بنزول الوحي من السماء على الذين أقروا بنبونهم ويقولون إن ذلك الوحي شامل للأمر والنهي والخير عاقبة الموت وعن ثواب وعقاب وجنة ونار يكون فيهما الجزاء عن الأعمال السالفة
“Kaum Majusi itu mempercayai kenabian Zarathustra dan turunnya wahyu kepadanya dari Allah Ta’ala, kaum Shabi’in mempercayai kenabian Hermes, Plato dan beberapa filosof serta para pembawa syariat lainnya. Setiap kelompok dari mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orang-orang yang mereka percayai kenabian mereka, dan mereka katakana bahwa wahyu itu mengandung perintah, larangan, berita tentang kehidupan setelah mati, tentang pahala dan siksa, serta tentang surga dan neraka yang di sana ada balasan bagi amal perbuatan yang dilakukan di dunia.”
Melalui keterangan ini, Rashid Ridha menerangkan lebih lanjut bahwa Ahli Kitab sebenarnya tidak terbatas pada Yahudi dan Kristen namun juga meliputi Hindu, Buddha dan Konfusius. Namun persoalan yang muncul kemudian ialah mengapa Alquran hanya menyebut Yahudi, Kristen, Majusi dan Shabiin dan tidak menyebut Hindu dan Buddha dalam berbagai ayat-ayatnya? Apakah dengan demikian, pengertian Ahli Kitab yang meliputi Buddha, Hindu dan Konghucu terlalu dipaksakan?
Terkait hal ini, Rashid Ridha dalam tafsir al-Mannar menjawab demikian:
والظاهر أن القرآن ذكر من أهل الملل القديمة الصابئين والمجوس ولم يذكر البراهمة والبوذيين وأتباع كنفوشيوس لأن الصابئين والمجوس كانوا معروفين عند العرب الذين خوطبوا بالقرآن أولا لمجاورتهم لهم في العراق والبحرين ولم يكونوا يرحلون إلى الهند واليابان والصين فيعرفوا الآخرين. والمقصود من الآية حاصل بذكر من ذكر من الملل المعروفة فلا حاجة إلى الإغراب بذكر من لا يعرفه المخاطبون في عصر التنزيل من أهل الملل الأخرى
“Yang jelas Alquran hanya menyebutkan para penganut agama-agama terdahulu, kaum Shabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut penganut Brahma (Hindu), Buddha dan para pemeluk ajaran Konghucu karena kaum Shabi’in dan Majusi dikenal oleh orang Arab yang menjadi objek dakwah Alquran. Hal demikian karena kaum Shabi’in dan Majusi itu secara wilayah berdekatan dengan wilayah Jazirah Arab di Irak dan Bahrain, dan orang-orang Arab belum pernah melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui penganut agama lainnya. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal oleh orang-orang Arab sehingga tidak perlu menyebut agama-agama yang terdengar asing bagi orang Arab. karena itu Alquran tidak menyebut penganut agama yang tidak dikenal oleh orang Arab yang menjadi objek dakwah Alquran.”
Pandangan ini kemudian diperkuat lagi oleh Rashid Ridha dengan ayat-ayat Alquran yang menyebutkan bahwa setiap kaum telah diutus nabi-nabi yang mengajarkan tentang pengenalan terhadap Tuhan. Selain itu, Rashid Ridha juga mengumpamakan Ahli Kitab dengan maknanya yang luas dengan gelar “ulama” untuk sekelompok manusia yang memiliki kelebihan khusus yang tidak berarti ilmu hanya terbatas kepada mereka dan tidak pada orang lain.
Pandangan Rashid Ridha yang memiliki corak rasional dalam tafsirnya ini kemudian diikuti oleh Muhammad Asad dalam The Message of The Qur’an. Asad sendiri dalam menulis tafsir Alquran mengakui banyak menimba inspirasinya dari tafsir al-Mannar yang ditulis Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Wajar kemudian terjemahannya terhadap kata Ahli Kitab sebagai “para penganut agama-agama terdahulu” sebelum islam sangat mencerminkan pengaruh corak Tafsir al-Mannar ini.
Banyak sarjana Barat menilai bahwa konsep Ahli Kitab dalam Alquran, konsep yang mengakui adanya unsur kebenaran dalam ajaran agama lain, merupakan konsep yang paling maju dalam sejarah agama-agama sepanjang masa. Ahli Kitab yang digaungkan nabi Muhammad ini telah menunjukkan keunggulan konsep-konsep Islam tentang bagaimana memperlakukan agama-agama lain.
Konsep Ahli Kitab yang ditawarkan Alquran, kata Cyril Glasse dalam The Concise Encyclopedia of Islam ialah: “…the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions…” (kenyataan bahwa Islam menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai benar adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama dunia). Inilah salah satu keunggulan konsep Islam yang sangat liberatif.