Surat al-Maidah disebut juga dengan Surat al-Uqud. Menurut Muhammad al-Ghazali penamaan yang terakhir ini lebih menunjukan kepada tema yang ada dalam surat ini, sedangkan penamaan yang pertama lebih merujuk kepada permintaan hawwariyyun terhadap Isa AS untuk menurunkan kepada mereka hidangan dari langit sebagai makanan bagi mereka dan kabar gembira—meski mengherankan—akan tetapi Allah mengabulkan permintaan tersebut untuk menguatkan kenabian Isa AS dan pembenaran risalahnya.
Selain itu, Surat Al-Maidah juga dinamai dengan al-akhyar (orang-orang baik) karena yang memenuhi tuntutannya menyangkut ikatan perjanjian pastilah orang baik. Surat ini dinami juga surah al-munqidzah (penyelamat). Diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda: “Surat Al-Maidah dinamai malakut as-samawat (kerajaan Allah Swt. yang Maha tinggi) dengan nama surat al-munqidzah karena ia menyelamatkan pembaca dan pengamal tuntunannya dari malaikat penyiksa.”
Menurut Mahmud Syaltut surah Al-Maidah menjelaskan kondisi umum waktu diturunkannya, menerangkan pula kondisi kaum muslimin pada waktu itu. Lanjut, dia berpendapat bahwa karakteristik surah Al-Maidah hampir tidak ditemukan di dalam surah-surah Madaniyah lainnya yang berbicara tentang syirik dan kaum musyrik.
Menurutnya, masa kaum musyrik telah berakhir dan tidak berperan lagi, kaum muslimin membutuhkan penyempurnaan tasyri‘ dan politik yang mengatur segala urusan mereka dan menjamin kelangsungan kebahagiaan mereka serta kepemimpinan mereka. Setelah itu, mereka mempunyai hubungan-hubungan khusus dengan goolongan-golongan Ahli kitab yang hidup dalam naungan dan tanggung jawab mereka. Oleh sebab itu, topik pembicarannya pun takkan lepas dari agama dan kitab mereka. Para ulama Tafsir sepakat bahwa al-Maidah tergolong Surah Madaniyyah.
Secara khusus, tulisan ini akan menjelaskan dan menggali penafsiran ulama terkait ayat 48 dalam surat al-Maidah berikut ini:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”
Menurut M. Quraish Shihab setelah berbicara kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS dan kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS, Q.S. Al-Maidah 48 kemudian berbicara tentang Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat ini turun setelah Surah Al-Mumtahanah, tepatnya pada peristiwa Perdamaian Hudaibiyah. Perdamaian antara kaum muslim dengan suku Quraisy. Salah satu persyaratan Perjanjian Hudaibiyah adalah semua suku diberi pilihan antara mengikuti Nabi Muhammad Saw. atau orang Quraisy sesuai kehendak mereka.
Dikisahkan bahwa ayat ini turun kepada Nabi SAW untuk memutuskan perkara peradilan, yang diajukan oleh Ahli Kitab dan non-Muslim yang meminta arbitrase kepada Nabi agar diputuskan berdasarkan ketetapan Al-َQur’an. Dengan diturunkannya ayat tersebut, Nabi SAW menjelaskan keragaman syariat yang diturunkan Allah SWT kepada masing-masing umat sesuai dengan kondisi zaman dan situasi yang berbeda, sedangkan pada masa Nabi Muhammad SAW, Allah SWT menetapkan syariat yang berdasarkan Al-Qur’an.
Secara umum, sebagaimana dikatakan al-Maraghi, ayat tersebut merupakan salah satu indikasi beragamnya syariat setelah sebelumnya diturunkan Taurat dan Injil kepada Bani Israil, sebagaimana telah dikemukakan di muka. Selain itu, ayat ini juga kerap dikutip oleh sebagian kalangan untuk mendukung argumentasi mereka sebagai indikasi bahwa Tuhan tidak pernah menggiring manusia dalam syariat yang satu.
Al-Maraghi juga menyebutkan bahwa sesudah Allah SWT menerangkan perihal beragamnya syariat, Allah SWT kemudian menerangkan bahwa syariat apapun dibuat sebagai sarana perlombaan menuju amal kebajikan, sebagai media agar orang-orang diberi balasan sesuai dengan amal perbuatannya.
Thabathaba‘i mengomentari ayat ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya Allah menyuruh hamba-Nya beribadah untuk satu agama, yaitu tunduk kepada-Nya. namun untuk mencapai itu, Allah memberikan jalan yang berbeda-beda dan membuat sunnah beraneka macam bagi hamba-hamba-Nya sesuai perbedaan kesiapan mereka dengan keragamannya.”
Menurut Mohammad Hassan Khalil kalangan pluralis soteriologis kerap mengacu ayat tersebut untuk mengindikasikan bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud menggiring manusia menjadi satu umat dengan hukum tunggal. Senada dengan Mohammad Hassan Khalil, Abd. Moqsith Ghazali berpendapat bahwa ayat tersebut memperlihatkan keragaman jalan yang diberikan Allah kepada manusia.
Sementara menurut Mun’im Sirry berpendapat bahwa ayat tersebut tampaknya merupakan pengakuan Al-Qur’an atas perbedaan masing-masing agama seperti ritual, adat, dan tradisinya sendiri. Selain itu, ayat ini menurut sebagian pendapat juga menjadi titik pusat ajaran pluralitas Al-Qur’an, yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai sangat unik karena semangatnya yang serba mencakup dan meliputi agama-agama lain. Dalam pandangan Al-Qurtubi, Allah membuat beragam syariat untuk menguji keimanan manusia.
Pandangan lain diungkapkan oleh Sayyid Qutb (w. 1966 M). menurutnya, ayat tersebut justru penegasan atas risalah Islam sebagai syariat pamungkas, yang dengan sendirinya menolak segala bentuk hukum-hukum jahiliah. Qutb menjelaskan bahwa risalah Muhammad adalah syariat yang disiapkan untuk seluruh umat manusia, yang senantiasa diberlakukan bagi kehidupan manusia di akhir zaman. Lebih dari itu, ayat tersebut juga seringkali dipahami oleh sebagian kalangan bahwa Allah swt. tidak pernah bermaksud untuk menggiring manusia kepada syariat yang tunggal. Selain itu, masih dalam ayat yang sama Allah swt. juga menyeru kepada manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Wallahu A’lam.