Muhammad Asad dalam The Message of The Qur’an menerjemahkan kata al-Kautsar sebagai Good in abdundant “Karunia yang melimpah.”
Banyak ahli tafsir yang mengklasfikasikan surat ini ke dalam wahyu Allah yang diturunkan di Mekkah. Kendati demikian, Ibnu Katsir memiliki pandangan berbeda. Dalam Tafsir al-Quran al-Adhim atau yang sering disebut juga sebagai Tafsir Ibnu Kathir, Ibnu Katsir mengklasifikasikan surat ini ke dalam surat-surat al-Quran yang diturunkan di Madinah.
Landasan keagamaan yang dijadikan argumen untuk mengklasfikasikan surat ini ke dalam surat periode Madinah ialah adanya hadis sahih dari Anas bin Malik yang meriwayatkan dengan detail bagaimana surat ini diturunkan. Surat ini diturunkan “ketika Rasulullah SAW berada di antara kami di masjid”. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu Hanbal, Abu Dawud dan an-Nasa’i. Masjid yang disebut Anas bin Malik ini tentunya adalah masjid Nabawi di Madinah.
Ada dua alasan yang mungkin bisa dikemukakan terkait diklasifikasikannya surat ini ke dalam ayat madaniyyah; pertama, Anas bin Malik yang merupakan penduduk asli Madinah belum pernah bertemu dengan Nabi sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Saat itu usia Anas bin Malik kisaran 10 tahun; kedua, saat itu tidak ada masjid yang digunakan sebagai shalat sehari-hari selain masjid Madinah. Saat itu mesjidil Haram baru bisa diakses oleh umat Islam secara total ketika terjadi fathu Makkah pada tahun ke-8 Hijriyyah.
Tiga ayat yang terkandung dalam surat ini semuanya ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dan melalui Nabi ini kemudian ditujukan pula kepada segenap kaum beriman. Surat tersebut kira-kira terjemahannya demikian: (1) Lihatlah, Kami telah memberikanmu wahai Muhammad segenap karunia yang melimpah: (2) Maka dari itu, berdoalah kepada Tuhanmu dan laksanakanlah ibadah qurban [hanya kepada-Nya]; (3) Sesungguhnya, orang yang membenciumu akan terputus [dari semua kebaikan].
Menurut az-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasyaf, kata al-kautsar sebenarnya merupakan sighat mubalagah, atau susunan pola kata tertentu dalam bahasa Arab yang maknanya menunjukkan arti lebih. Karena itu, al-kautsar dengan makna mubalaghohnya ini dapat diartikan sebagai keberlimpahan yang banyak. Kata ini selain dijadikan sebagai nomina bisa juga difungsikan sebagai ajektifa dengan konotasi yang sama, yakni, mengandung arti keberlimpah ruahan.
Dalam konteks penggunaan kata yang terbatas pada surat ini saja, menurut ar-Razy dalam Mafatih al-Ghaib, al-kautsar jelas bermakna karunia yang berlimpah ruah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Karunia itu berupa semua kebaikan dalam pengertiannya yang abstrak dan spiritual seperti wahyu, pengetahuan, kebijaksanaan, kemampuan melakukan amal-amal saleh dan semua kebaikan di dunia dan di akhirat.
Jika dikaitkan dengan kaum beriman, karunia yang berlimpah ini dapat berupa kemampuan untuk mencapai pengetahuan, melakukan amal-amal kebajikan, ramah kepada semua makhluk dan karena itu dapat mencapai ketenangan dan ketentraman batin.
Selanjutnya dalam ayat kedua, kita temukan kata nahr dalam redaksi wanhar. Kata nahr sebenarnya memiliki banyak arti. Salah satunya ialah berkurban. Arti yang lain ialah bagian dada sebelah atas. Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nahr ialah menangkat tangan lurus dengan bahu sebelah atas. Sehingga, kata mereka, maknanya adalah “berdoalah kepada Tuhanmu, ucapkan kebesaran nama Tuhanmu dengan mengangkat tangan selurus bahu.”
Pendapat ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hatim, al-Hakam, Ibn Mardawih dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya dari Ali bin Abi Thalib yang berkata, “ketika surat ini diturunkan kepada Nabi SAW, Beliau bertanya kepada Jibril: ‘Apa yang dimaksud dengan nahr yang diperintahkan Allah di sini? Jibril menjawab: Yang dimaksud di sini bukan berkurban. Maksud kata ini adalah memerintahkanmu untuk mengangkat tangan saat takbiratul ihram dalam salat, saat takbir, rukuk dan mengangkat kepada dari rukuk. Sebab itulah salat kami dan salat malaikat yang berada di langit yang tujuh. Segala sesuatu itu memiliki perhiasannya, dan perhiasan salat adalah mengangkat tangan pada setiap takbir.’”
Sedangkan al-abtar adalah kebalikan dari al-kautsar, yakni orang yang tidak diberi karunia yang banyak. Hal demikian seperti yang dijelaskan oleh al-Fairuz Abadi dalam al-Qamus al-Muhit.