Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 15: Perilaku Menyekutukan Allah Perbuatan Paling Zalim

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 15: Perilaku Menyekutukan Allah Perbuatan Paling Zalim

Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 15: Perilaku Menyekutukan Allah Perbuatan Paling Zalim
Kitab-kitab yang disusun rapi.

Setelah dibangkitkan dari tidurnya yang cukup lama, Ashabul Kahfi berdakwah menyampaikan kebenaran pada masyarakatnya. Perbuatan mereka menyembah berhala itu termasuk kezaliman yang sangat nyata. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam firman Allah SWT:

هؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرى عَلَى اللَّهِ كَذِباً

Haulai qoumunat takhadzu min dunihi alihah, laula ya’tuna ‘alaihim bi sulthonim bayyin. Fa man azhlamu mimmaniftara ‘alallahi kadziba (15)

Artinya:

“Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Mereka itu orang paling zalim karena menciptakan kebohongan terhadap Allah?” (QS: Al-Kahfi ayat 15)

Imam al-Thabari dalam Jami‘ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an bahwa ayat 15 surat al-Kahfi ini menceritakan tentang kehebohan yang terjadi di masyarakat Ashabul Kahfi. Raja Romawi yang diikuti masyarakat Ashabul Kahfi itu menyembah berhala tanpa dasar. Oleh karena itu, Ashabul Kahfi menantang mereka menghadirkan argumentasi yang jelas dan rasional. Namun faktanya mereka tak sanggup. Oleh karena itu, mereka itu dianggap pendusta yang zalim, karena menyekutukan Allah.

Senada dengan al-Thabari, Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wat Tanwir menyebutkan bahwa masyarakat tempat Ashabul Kahfi bermukim itu menyembah berhala mengikuti tradisi kaum Romawi dan tidak memercayai Allah. Mereka yang menyekutukan Allah itu adalah orang yang paling zalim. Terlebih lagi, masyarakat Ashabul Kahfi yang mengikuti tradisi ibadah orang Romawi ini hanya ikut-ikutan dan tak mempunyai argumen yang kuat mengapa mereka menyembah berhala yang tak mempunyai kekuatan apa-apa.

Sementara itu, Imam al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil mengemukakan bahwa ketidakadaan dalil yang dimilik masyarakat Ashabul Kahfi menandakan praktik beragama mereka ini tertolak. Beragama itu harus memiliki dalil. Tidak boleh taklid buta semata. Di samping itu, menurut Imam al-Syaukan dalam Fathul Qadir, ayat tersebut berisi tentang tantangan Ashabul Kahfi pada masyarakatnya yang mengikuti Raja Romawi dalam menyembah berhala. Saat ditantang mereka tak mampu menghadirkan argumen apapun. Mereka hanya taklid buta yang dilarang dalam beragama.