Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 82: Quranic Healing dan Merebaknya COVID-19

Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 82: Quranic Healing dan Merebaknya COVID-19

Al-Quran dipercaya sebagai kitab suci yang selalu relevan untuk setiap tantangan zaman dan peradaban. Tapi, bagaimana ini dimungkinkan?

Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 82: Quranic Healing dan Merebaknya COVID-19

Bagi umat Muslim, al-Quran tidak saja diimani sebagai kitab rujukan utama untuk panduan hidup, tetapi juga dipercaya mengandung fungsi medis, atau istilah bekennya adalah qur’anic healing. Soal kesehatan, umpamanya, al-Quran menyinggungnya pada berbagai ayat. Satu di antaranya dengan menggunakan istilah syifa’ dalam surah al-Isra’ ayat 82:

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari alQuran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan alQuran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.

Ternyata, al-Quran tidak cuma menyebutkan kata syifa’ dalam ayat itu saja. Setidaknya enam kali al-Quran menggunakan kata syifa’ dengan segala derivasiya.

Kronologinya kira-kira begini: al-Quran pertama kali menyebutkan term syifa’ ini pada surat al-Syuara’: 80. Ayat ini menjelaksan tentang pembicaraan nabi Ibrahim sehubungan dengan sakit dan penyembuhannya. Kata yasyfin dalam ayat ini adalah sebagai bentuk kontradktif dari kata marad.

Jadi yang dimaksud syifa’ di mari merupakan dawa’, yakni obat untuk menyembuhkan penyakit baik fisik maupun mental. Penyebutan syifa’ dalam ayat tersebut menujukkan bahwa Allah sebagai subjek dapat menyembuhkan. Adapun yang dimaksud objek yang dapat dijadikan sebagai sarana penyembuhan disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu dalam QS. al-Nahl: 69 dan QS. al-Isra’:82.

Pada QS. al-Nahl: 69 disebutkan bahwa madu perupakan salah satu hal yang dapat disebut syifa’. Sedangkan dalam QS. al-Isra’: 82 disebutkan bahwa al-Quran sendiri merupakan syifa’ bagi orang yang beriman. Lalu apa yang dimaksud dengan syifa’ itu sendiri?

Secara bahasa, kata syifa’—yang tashrif-nya adalah syafa-yasyfi-syifa’—menurut Ibn Manzur ialah obat yang terkenal, yang dapat menyembuhkan dari suatu penyakit. Sejalan dengan pendapatnya, al-Ashfahani mengidentikkan term syifa’ min al-marad dengan syifa’ al-Salamah yang pada perkembangannya istilah ini digunakan sebagai nama dalam penyembuhan.

Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat 82 surat al-Isra’ dengan mensinyalir turunnya wahyu kepada Nabi sebuah bacaan yang di dalamnya terdapat obat. Ya, al-Quran itu merupakan obat bagi seluruh penyakit hati seperti iri, dengki, kafir, ragu-ragu, kebodohan, kegelapan hati, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Tanthowi Jauhari yang dikenal sebagai mufassir era kontemporer dengan pendekatan saintifiknya juga menafsirkan kata syifa’ dalam QS. al-Isra’: 82 sebagai penyakit-penyakit hati.

Mufasir klasik juga menafsirkan ayat ini berkait dengan pengobatan dan penyakit. Sebut saja Muqatil bin Sulaiman yang menafsirkan bahwa al-Quran diturunkan sebagai obat hati, yakni untuk menjelaskan persoalan halal dan haram.

Dalam Mafatih al-Ghaib-nya, al-Razi menyebutkan bahwa al-Quran merupakan obat. Al-Quran secara keseluruhan berfungsi sebagai syifa’ (obat penawar atau penyembuh) bagi orang–orang yang beriman dengan alasan bahwa kata min pada ayat ini bukan dalam pengertian “sebagian”, melainkan menunjukkan jenis.

Jadi, al-Quran memungkinkan menjadi obat bagi seluruh penyakit yang ada di dunia baik itu obat ruhani maupun jasmani yang diderita manusia. Dalam hal ini al-Razi memperkuat pendapatnya dengan hadis Rasulullah yang kira-kira mengatakan bahwa barang siapa yang tidak berobat dengan al-Quran maka Allah swt tidak akan menyembuhkannya.

Mencengangkannya lagi, al-Razi memberikan indikasi bahwa dalam penyembuhan ruhani, al-Quran juga dapat digunakan. Ia mengatakan bahwa aktvitas tabarruk membaca al-Quran dapat menangkal berbagai penyakit.

Lebih jauh, al-Razi juga mendukung para ahli tafsir dan ahli perdukunan yang mengatakan bahwa bacaan mantra yang tidak diketahui artinya atau jimat yang sama sekali tidak bisa dipahami itu sama-sama memiliki pengaruh besar dalam memberikan manfaat dan menangkal kerusakan. Apalagi dengan membaca al-Quran al-Adhim yang jelas-jelas kesahihnnya, pastilah ia dapat mendatangkan kemanfaatan.

Al-Quran, dengan demikian, berpotensi menjadi obat segala penyakit baik jasmani dan rohani. Lalu siapa yang bisa membangkitkan atau memaksimalkan potensi itu?

Setiap orang pada dasarnya punya potensi itu. Akan tetapi secara spesifik, jawabnya tentu saja adalah mu’minin (orang beriman). Maksudnya mu’minin itu adalah orang yang yakin bahwa al-Quran itu syifa’. Sebab, bagaimana mau menggunakan dengan baik, kalau percaya saja tidak.

Lantas, bagimana skema al-Qur’an menangani penyakit atau wabah yang kelewat serius, semacam COVID-19, misalnya?

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Sebab, al-Quran memang tidak spesifik membahas persoalan ini. Anda bolak-balikpun juga tidak ada.

Bahwa kemudian terdapat praktik-praktik yang melibatkan ayat-ayat al-Quran yang dipercaya mengandung kekuatan magis sehingga dijadikan media terapis, itu benar sekali. Namun, kita juga tidak dapat menafikan kebutuhan abad sekarang yang lebih dominan kepada tindakan klinis ketimbang konsultasi magis.

Artinya, al-Quran sebagai pusaka yang dipercaya akan selalu relevan untuk setiap abad dan peradaban, pastilah meniscayakan upaya “pembunyian” baru.

“Al-Qur’an adalah teks mati, sedang manusia-lah yang menghidupkannya”, begitu kurang lebih petuah Sayyidina Ali.

Masalahnya, bagaimana kita akan mampu memaksimalkan potensi al-Quran yang dipercaya relevan dan solutif menjawab tantangan setiap zaman, kalau perdebatan umat Muslim hari-hari belakangan ini selalu berkutat pada persoalan remeh-temeh belaka?

Tentu, ini bukan tugas para dai atau ustaz baru pintar untuk “membunyikan” kembali al-Quran sehubungan dengan masalah-masalah kontemporer. Sederhana saja, al-Quran adalah satu hal, sedang COVID-19 merupakan satu hal lain.

Keduanya bisa sangat berbeda halauan, tetapi di tangan orang yang tepat keduanya bisa juga saling berkait-berkelindan. Ringkasnya, kalau Anda bukan seorang dokter atau tabib, jangan sekali-kali, umpamanya, membuka klinik kesehatan, atau bahkan bilang Corona sebagai “tentara Allah”.

Keduanya, sekali lagi, bisa sangat berbeda halauan, tetapi di tangan orang yang tepat keduanya bisa juga saling berkait-berkelindan. Dan, sejauh ini saya memang belum pernah ketemu dengan orang yang tepat itu. Yang jelas, ini bukan radarnya para pendakwah genit a la ustaz-ustaz seleb itu, melainkan para dokter serta ahli medis yang otoritatif untuk membahas serta mengatasinya.