Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Makna Jalan yang Lurus dan Jalan yang Sesat

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Makna Jalan yang Lurus dan Jalan yang Sesat

Ar-Razi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa surat Al-Fatihah ayat 6-7 ini menjelaskan tingkatan sebuah golongan.

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Makna Jalan yang Lurus dan Jalan yang Sesat

Surat Al-Fatihah adalah surat pembuka dalam Al-Quran. Selain itu, surat ini hampir setiap hari dan setiap waktu kita baca. Setiap shalat, memulai acara, memulai suatu kegiatan, dan lain sebagainya. Lalu, apa makna yang terkandung dalam surat Al-Fatihah ini?

Tulisan ini hendak membahas tafsir dari surat Al-Fatihah, ayat 6-7, yang berbunyi:

(7)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Menurut as-Shobuni dalam Rawai’ al-Bayan, Lafad “al-Shirath” merupakan sebuah kalimat yang biasa digunakan oleh orang Arab untuk menunjukkan setiap perkataan maupun perbuatan yang sesuai dengan aturan ataupun menyimpang dari aturan. Sedangkan “al-mustaqim” adalah sifat dari shirath yang menunjuk kepada hal yang sesuai koridor dan tanpa penyimpangan.

Tujuan dan maksud dari dua kata di atas yang terbungkus indah dalam ayat ke 6 surat al-Fatihah adalah agama Islam. Karena agama Islam adalah sebuah jalan yang lurus dan terbebas dari penyimpangan.

Jika kita lihat secara keseluruhan, ayat ke 6 ini secara tidak sadar membuat kita berdoa dan meminta kepada Allah agar selalu dilimpahkan Iman dan amal saleh serta dijadikan hamba-Nya yang selalu meniti jalan Islam yang bermuara kepada surga-Nya.

Al-Shirath al-mustaqim juga bisa kita artikan sebagai doa atau permintaan kita kepada Allah agar diselamatkan saat meniti jembatan di al-yaum al-mahsyar nanti.

Lafadz “An’amta alaihimmengarah kepada setiap orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah. Yaitu golongan yang termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 9:

فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقا

“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Secara bahasa, nikmat adalah setiap hal yang membuat kita bahagia. Maka cinta pun bisa disebut dengan nikmat. Bahkan jika bencana yang ditimpakan Allah kepada kita dan kemudian bencana itu menjadikan kita tersadar dan bahagia. Maka bencana itupun bisa disebut nikmat.

Inilah tujuan kenapa Allah memakai redaksi “An’amta alaihimdan bukan “a’thaita alaihim”. Karena lafadz “A’thabisa mengandung dua arti, yakni bisa jadi yang diberikan kebahagiaan ataupun kepedihan. Berbeda dengan “An’ama”.

Lafadz “al-maghdhubi alaihim” adalah representasi dari kaum Yahudi. Sedangkan lafadz “al-dlallin” ditujukan untuk menggambarkan umat Nasrani yang menyimpang dari ajaran yang benar. Interpretasi dari dua lafadz di atas diungkapkan oleh al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani-nya.

Al-Razi berbeda pendapat mengenai dua kalimat di atas. Dalam Mafatih al-Ghaib-nya, al-Razi ingin lebih memperlebar objek dari dua lafadz di atas. Menurut al-Razi, golongan yang dikaitkan dengan “al-maghdhubi alaihim” adalah setiap orang/golongan yang perbuatan zahirnya menyimpang dari ajaran agama. sedangkan “al-dlallin” adalah orang-orang yang menyimpang dalam aqidahnya. Bahkan menurut al-Razi, orang yang menyimpang dalam perbuatan zahir dan aqidahnya lebih parah daripada Yahudi dan Nasrani.

Dalam pendapat yang lain, al-Razi juga mengarahkan dua lafadz ini untuk orang kuffar dan munafiq. Dia berargumen bahwa surat Al-Fatihah ini merupakan skema dan herarki sebuah golongan. Mula-mula Allah menyebutkan golongan mukmin yang direpresentasikan dalam “أنعمت عليهم”, kemudian menyebutkan golongan kuffar dalam “المغضوب عليهم”, baru kemudian menyebutkan golongan munafiq dalam “الضالين”.

Sebenarnya dua pendapat mufassir yang berbeda corak ini tidak untuk dikonfrontasikan. As-Shobuni sendiri kenyataanya ingin memadukan dua pendapat yang kelihatan menyimpang ini. Yakni dengan pemahaman bahwa selain Yahudi dan Nasrani, dua lafadz tersebut juga bisa ditujukan kepada orang-orang yang menyimpang dalam perbuatan dan aqidah.

Wallahu A’lam.