Tafsir Surat Al-‘Ashr: Filosofi Waktu

Tafsir Surat Al-‘Ashr: Filosofi Waktu

Tafsir Surat Al-‘Ashr: Filosofi Waktu

Begitu berharganya waktu sampai-sampai orang barat berkata, ”Time is money”. Kehilangan waktu atau waktu dilalui dengan aktivitas yang tidak bermanfaat ibarat kehilangan segepuk uang. Beda lagi dengan bangsa Arab yang terkenal dengan agadiumnya yang berbunyi, “Waktu laksana pedang, bila engkau tak menaklukkannya, ia akan memotongmu”.

Dengan demikian, tidak salah bila Allah bersumpah dengan waktu dalam ayat pertama di surah Al-‘Ashr. Allah bersumpah dengan waktu bukan berarti Ia tidak lebih agung dari pada waktu, atau Allah tidak percaya diri dengan firmannya sehingga membutuhkan kata lain sebagai penguat apa yang Ia ucapkan. Sebagaimana halnya kita bila tidak yakin ucapan kita dipercaya orang lain, maka kita akan bersumpah dengan menyebut zat yang Maha Agung, yakni Allah SWT. Sumpah Allah berbeda dengan sumpah manusia. Sumpahnya dengan sesuatu yang dalam hal ini adalah waktu, mengindikasikan dan mengisyaratkan pada kita akan pentingnya sesuatu tersebut.

Al-Razi mengatakan dalam al-Tafsir al-Kabir bahwa waktu itu ajaib, unik dan penuh misteri. Dalam perjalanan waktu manusia, terkumpul berbagai takdir kehidupan yang tidak diketahui siapapun. Di sana ada kebahagiaan dan kesedihan, kemakmuran dan kemelaratan, sehat dan sakit, serta hidup kaya dan miskin. Namun demikian, kedudukan manusia hakikatnya tergantung pada detik-detik terakhir hidupnya. Bisa jadi sepanjang hidupnya dipenuhi dengan kemaksiatan pada Allah, menyusahkan orang lain, gaya hidup yang hedonis, tapi menjelang kematiannya ia bertobat kepada Allah dan menyebarkan cinta kasih kepada sesama sehingga dengan itu ia mendapatkan predikat husnul khatimah (akhir yang baik). Sebagaimana waktu asar (sore hari) adalah saat-saat terakhir siang sebelum berganti malam.

Kata al-‘ashr dalam ayat pertama surah Al-‘Ashr menurut ulama tafsir bisa berarti waktu atau masa secara mutlak, bisa juga merujuk pada waktu secara spesifik. Waktu salat asar, yakni sore hari, atau ‘ashr al-nabi, yang berarti masa hidup Nabi Muhammad SAW. Kedua masa itu memang dianggap penting.

Waktu shalat asar adalah waktu ketika matahari sebentar lagi akan habis masa tugasnya untuk menyinari bumi, waktu ketika orang-orang yang telah lelah bekerja akan berpulang ke rumahnya. Dalam monteks umur manusia, waktu asar adalah masa di mana ia telah berada di masa tua. Saat kekuatan fisik dan mentalnya mulai melemah seiring dengan mulai berakhirnya karir yang telah diperjuangkannya sepanjang hidup.

Adapun bagi yang menafsirkan sumpah Allah di sini merujuk masa kenabian memaknai surah Al-‘Ashr sebagai penegasan bahwa umat Islam adalah umat akhir zaman. Seakan-akan Allah ingin memperingatkan pada kita sebagai umat akhir zaman untuk lebih menghargai waktu, jangan sampai merugi dan menyesal ketika kematian telah datang atau ketika kehidupan sudah dicabut dari bumi ini.

Secara kebahasaan, kata ‘Ashr bisa juga berarti jus atau perasan. Bila direnungi, ada hubungan secara implisit antara kedua makna ini. Dalam artian, waktu yang berlalu silih berganti seakan-akan bertugas untuk menyaring antara orang sukses dari orang gagal, antara negara yang maju dari negara yang berkembang, dan antara peradaban yang unggul dari peradaban yang terpuruk.

Kembali ke surah Al-‘Ashr. Pada ayat kedua Allah menetapkan kerugian pada diri manusia. Ia berfirman:

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian”

Kata ulama, “dalam kerugian” berbeda dengan dengan sekadar “merugi”. Diksi yang pertama dipilih untuk menunjukkan betapa kehidupan semua manusia benar-benar akan tenggelam dalam dimensi kerugian bila tidak melakukan empat hal yang akan disebutkan selanjutnya.

Kata khusr menurut M. Quraish Shihab tidak hanya berarti rugi, melainkan juga bisa berarti celaka, sesat dan hal-hal lainnya yang bermakna negatif. Terkait dengan waktu hidup manusia, Orang yang umurnya tidak diisi dengan hal produktif, maka termasuk golongan yang merugi dan tidak mensyukuri nikmat Allah berupa umur yang telah diberikan. Sebab, modal manusia yang paling berharga adalah waktu. Berbeda dengan uang misalnya, yang apabila telah dibelanjakan bisa kembali, namun tidak dengan waktu. Sekali berlalu ia tidak akan pernah kembali, bahkan sedetik pun darinya.

Waktu kapanpun bernilai sama. Tidak ada yang namanya waktu nahas dan waktu mujur, sebagaimana yang dipahami bangsa Arab dahulu saat surah ini turun, bahkan juga masih diyakini sebagian orang masa kini. Yang berpengaruh sesungguhnya adalah aktivitas apa yang dilakukan saat waktu itu berjalan.

Orang yang mampu mendayagunakan dan memanajemen waktu dengan baik, besar kemungkina ia akan sukses di masa mendatang. Para calon orang sukses di masa mendatang tidak jarang memiliki target prestasi apa yang harus terselesaikan pada waktu tertentu. Sedangkan orang yang gagal, cenderung karena tidak bisa memanajemen dan mengoptimalkan waktu dan kesempatan yang ada.

Bila sudah demikian, hampir dipastikan muncul penyesalan di kemudian hari. Memang, waktu penyesalan datangnya ketika manusia memasuki “asar hidup”-nya dan menjelang “maghrib hayat”-nya.  Umat Islam dalam menghargai waktu dapat belajar dari budaya barat. Meskipun secara keyakinan, banyak dari mereka yang non-muslim, tapi kita tidak boleh menutup mata dan enggan mengakui ada budaya mereka yang patut kita contoh karena sesuai dengan semangat Islam dalam menghargai waktu. Charles Darwin misalnya pernah berkata, “A man who dares to waste one hour of time has not discovered the value of life.” Begitu juga budaya tepat waktu mereka yang tercermin dari ungkapan William Shakespeare, “Better three hours too soon than a minute too late.”

Selanjutnya pada ayat terakhir Allah mengecualikan orang-orang yang tidak termasuk merugi.

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Dari ayat di atas dipahami bahwa orang-orang yang tidak rugi, sesat dan sengsara dalam menjalani kehidupannya disyaratkan empat hal. Pertama, beriman terhadap ajaran agama. Dalam konteks tertentu iman bisa diartikan dengan keyakinan, cita-cita, kepercayaan diri, optimistis dan motif perbuatan. Kedua, amal saleh. Yakni aktualisasi dari iman. Seseorang tidak cukup memiliki keyakinan dalam hati, berpikir positif dan optimis, tapi juga perlu dibarengi aksi nyata mewujudkan dan memperjuangkan apa yang diyakini. Ketiga, saling menasihati atau berwasiat dalam hal kebenaran dan kesabaran. Orang Islam tidak semestinya egois hanya memikirkan diri sendiri, tapi juga dituntut untuk juga peduli memikirkan nasib orang lain. Ini diwujudkan dengan saling membantu, saling memberi masukan dan saling memotivasi, layaknya saudara.

Lebih jauh, dalam hadis tingkatan muttafaqun ‘alaih yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam al-Arba’in al-Nawawiyyah disebutkan:

“Tidak beriman salah satu di antara kalian, sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim)

Surah Al-‘Ashr ini meskipun surah yang paling pendek, namun isinya mengandung makna yang dalam, sehingga menurut imam Syafi, surah ini telah mencukupi setiap orang jika mau mentadabburinya dengan benar. Merenungi soal waktu memang sesuatu yang penting. Salah satunya dengan sering-sering membaca surah Al-‘Ashr ini. Sebagaimana yang dahulu sering dilakukan para sahabat Nabi ketika akan berpisah dari sebuah pertemuan, juga sebagaimana yang diteladankan guru-guru kita saat akan mengakhiri pelajaran di masa kecil dahulu.