Apakah Islam menolak untuk dikritik? Apakah mengkritik volume pengeras suara masjid juga termasuk mengkritik Islam, sehingga bisa dituduh telah menistakan agama? Mungkin itulah pertanyaan yang memuara ketika Meiliana, ibu tiga anak keturunan Tionghoa di Sumatra Utara divonis 18 bulan penjara lantaran mengeluhkan pengeras suara masjid yang dianggapnya terlalu keras dan mengganggu itu.
Dalam kesempatan ini penulis tertarik untuk mengkajinya dalam perspektif kitab-kitab Tafsir dengan fokus pembahasan pada QS. Al-A’raf [7]: 205 yang berbunyi;
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.
Selama ini, suara yang dikumandangkan melalui speker masjid dan mushola tidak jauh dari suara adzan, iqamah, dan tilawah. Semua itu dalam agama memiliki fungsi ganda, yakni: dzikir dan syiar agama. Namun, apakah karena menjadi ritual agama, tidak diperkenankan bagi individu masyarakat untuk mengkritiknya apabila dinilai mengganggu? Sebelum sampai pada kesimpulan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis akan memaparkan pandangan-pandangan para mufassir (ahli tafsir) atas QS. Al-A’raf [7]: 205 sebagai jembatan untuk menemukan jawaban atas masalah tersebut.
Ketika kita teliti dalam Tafsir al-Qur’an al-’Adzim karya Ibnu Katsir (w. 774 H.), ayat ini memiliki dua obyek yang menjadi sasarannya, yaitu, pendengar dan pemilik suara. Bagi pemilik suara (orang islam), Ibnu Katsir mengungkapkan; bahwa Allah memerintahkan untuk mengurangi volume suara ketika membaca al-Qur’an. Dengan alasan, karena orang-orang musyrik ketika mendengarkan suara al-Qur’an, mereka akan mencela al-Qur’an, Allah dan Rasulullah. Untuk itulah diperintahkan untuk memelankan suara ketika membaca kalimat-kalimat suci agama (Ibnu Katsir: 1998, Vol. 3, 487-488). Ibnu Abbas (w. 68 H.), sebagaimana dikutip oleh al-Baghawi (w. 516 H.), mengatakan: ketika membaca bacaan-bacaan dalam shalat jahr (shalat yang mengeraskan suara) hendaknya jangan terlalu keras (al-Baghawi: 2002, 509). Ibnu Hayyan (654-745 H.) dalam Bahr al-Muhith mengungkapkan bahwa kerasnya suara menandakan tidak memperdulikan kepada lawan bicara (mukhattab) dan merasa lebih tinggi (Ibnu Hayyan: 2002, Vol. 4, 574).
Sedangkan bagi pendengar, ketika dikumandangkannya kalimat-kalimat suci hendaknya mendengarkannya dengan seksama kemudian meningkat untuk mengingat Tuhannya didalam hati (Ibnu Hayyan: 2002, Vol. 4, 573). Penjelasan senada juga diungkapkan oleh al-Thabari (224-310 H.) dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Aay al-Qur’an. Menurutnya: mintalah petunjuk dari keterangan-keterangan yang ada di dalam al-Qur’an dan ketika kamu mendengarkan al-Qur’an yang sedang dibacakan, maka ingatlah akan tempat kembalimu kelak (al-Thabari: 2001, Vol. 10, 667).
Satu hal lagi yang perlu penulis sampaikan sebelum melangkah pada jawaban adalah satu Hadis Nabi Muhammad SAW. perihal mengeraskan suara dalam membaca al-Qur’an.
نَا الحسن بن علي ، نَا عبد الرزاق، أنا معمر، عن إسماعيل بن أمية، عن أبي سلمة، عن أبي سعيد قال: اِعتَكَفَ رَسول الله فِي المَسجِدِ، فَسَمِعَهُم يَجهَرُونَ بِالقِرِاءَةِ فَكَشَفَ السَترَ وَقَالَ “أَلا إِنَّ كُلُّكُم يُنَاجِي رَبَّه، فَلاَ يُؤذِيَن بَعضُكُم بَعضاً، وَلاَ يَرفَع بَعضُكُم عَلَى بَعضٍ فِي القِراءَةِ” او قال “فِي الصَلاَةِ”
“Telah menceritakan kepadaku Hasan bin ‘Ali, telah menceritakan kepadaku ‘Abd al-Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ma’mar, dari Isma’il bin Umayyah, dari Abi Salamah , dari Abi Sa’id, berkata; Rasulullah sedang i’tikaf didalam masjid, lantas beliau mendengar para sahabat saling mengeraskan suaranya ketika membaca al-Qur’an, kemudian Nabi membuka satirnya dan berkata: ingatlah, sesungguhnya kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka benar-benar jangan saling menyakiti diantara kalian dan tidak saling mengeraskan suara ketika membaca al-Qur’an atau sholat” (Hadis ini di nukil dari syarah Sunan Abi Dawud, menurut al-’Aini, hadis ini dikeluarkan oleh an-Nasa’i).
Badr al-Din al-’Aini (w. 855 H.) ketika menjelaskan hadis ini mengatakan, apabila mengeraskan suara bisa menyakiti atau mengganggu orang lain maka hukumnya adalah makruh (al-’Aini: 1999, Vol. 5, 237). Sehingga, ketika ada orang yang mengingatkan tentang sesuatu yang makruh apakah hal tersebut dinamakan menistakan agama?
Sebagai penutup, dalam paparan Ibnu Katsir di atas terdapat pelajaran menarik yang perlu kita perhatikan, yaitu, meskipun membaca al-Qur’an merupakan ibadah dan syiar agama, namun, apabila mengandung efek negatif (misal: mengganggu), hendaknya untuk mengurangi volumenya dengan suka rela. Dalam bersyiar, meskipun itu adalah baik, apabila dilakukan dengan cara yang salah maka akan berubah menjadi sesuatu yang tidak baik. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan untuk bijaksana (hikmah) dalam mengajak orang lain.
Sebagai catatan, yang di kritik adalah volume suara adzannya bukan kalimat adzannya. Sehingga, masihkah pantas menvonis sebagai penistaan agama?Wallahu a’lam bi al-shawab.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir al-Qur’an.