Ketika Nabi Muhammad mulai banyak pengikutnya, para penguasa Quraisy merasa terancam. Intimidasi, hinaan, dan celaan menjadi makanan Nabi setiap hari. Kehidupan “jahiliyyah” telah melahirkan tatanan kehidupan yang eksploitatif dan hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Konsekuensinya, banyak masyarakat yang harus menjadi korban.
Kecemasan dan ketakutan para pembesar Quraisy berhubungan dengan eksistensi penghasilan dan popularitas mereka yang merasa terancam. Masyarakat Arab yang kuat seperti mereka (pembesar Quraisy) hanyalah minoritas. Sementara yang mayoritas, yakni orang-orang yang lemah, tidak jarang menjadi objek keganasan dan korban dari ambisi para penguasa pada waktu itu. Hak-hak mereka, baik kemanusiaan, penghasilan, dan hak hidup, kerap dirampas.
Dalam QS. An-Nisâ ayat 75, Al-Qur’an mengkritik mengapa nasib-nasib orang-orang lemah justru tidak diperjuangkan. Merekalah kelompok masyarakat yang tidak boleh luput untuk selalu diperjuangkan. Tepatnya, ayat tersebut berbunyi:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!“.
Dengan melalui ayat ini, Fakhruddîn Al-Râzî dalam Mafâtih Al-Ghaib menyebutkan kewajiban untuk memperjuangkan (berjihad) nasib orang-orang lemah (mustadh’afîn). Dalam redaksi ayat bahkan tafsirnya, Al-Râzî menggunakan istilah berperang. Kewajiban ini mengingat orang-orang yang lemah, anak-anak, dan perempuan sudah berada dalam zona lemah yang paling dasar pada waktu itu. Bahkan menurut Al-Râzî, kewajiban untuk membela dan memperjuangkan nasib-nasib orang lemah juga diamini oleh kalangan Mu’tazilah.
Dalam membaca tafsir ayat ini, hemat penulis, yang perlu untuk diperhatikan adalah semangat membela dan memperjuangkan nasib-nasib masyarakat yang terdiskreditkan. Narasi perang dalam ayat ini perlu untuk diperluas artinya. Untuk itu, penulis lebih nyaman menggunakan kata “membela dan memperjuangkan”.
Mengingat ayat ini adalah terkait dengan masalah sosial, sudah sepatutnya kata mustadh’afîn tidak dibatasi dalam masalah keyakinan, terlebih dalam iklim sosial masyarakat modern seperti sekarang ini. Mari kita bangun bersama konstruksi berfikir tersebut.
Al-Râzî memang menyebutkan dengan jelas siapa yang dimaksud mustadh’afîn dalam surat ini. Menurutnya, meraka adalah orang-orang islam, baik laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil, yang selalu mendapat intimidasi, tidak mendapatkan kebebasan, dari orang-orang Quraisy.
Mutawalli Al-Sya’rawi juga menyinggung hal yang sama. Menurutnya, kronologi ayat ini berkisah tentang orang-orang islam yang mengalami penindasan, penyiksaan, hingga tidak bisa keluar dari Mekkah, padahal mereka sudah tidak nyaman di sana. Kronologi tersebut begitu membantu kita dalam upaya memahami ayat ini.
Datangnya Nabi adalah dalam upaya untuk membumikan keadilan, kemanusiaan, hingga tercipta kehidupan yang harmoni. Semangat-semangat ajaran Nabi dinilai oleh orang-orang pembesar Quraisy sebagai ancaman bagi posisi mereka sebagaimana telah disebutkan diatas.
Nabi datang untuk membawa nilai-nilai mulia. Kelompok muslim pada waktu itu adalah lawan dari orang-orang musyrik yang bertindak aniaya, eksploitatif, dan menindas. Dalam konteks sekarang, sifat-sifat negatif ini bisa dilakukan oleh umat beragama manapun, termasuk umat islam. Adapun korban dari sifat-sifat negatif ini juga bisa dari pemeluk agama manapun, termasuk non-muslim. Untuk itulah, mengapa kata mustadh’afîn tidak hanya dipahami dalam arti umat islam saja, seperti yang disampaikan oleh para penafsir.
Dalam hal ini, penulis memahami apa yang disampaikan oleh para penafsir baru sekedar berbicara dalam konteks pada waktu itu. Belum adanya upaya untuk mengkontekstualisasikan pada iklim sosial ketika mereka hidup, apalagi masa modern sekarang ini. Untuk itulah, mengapa nilai-nilai perjuangan Nabi perlu untuk dikedepankan dalam memahami ayat ini. Setelah itu, kita tarik nilai-nilai itu dalam konteks sekarang yang sudah banyak berkembang.
Kesimpulannya, membela dan memperjuangkan nasib orang-orang yang tertindas, apapun agama dan kepercayaannya, adalah keniscayaan yang semestinya dilakukan. Wallahu a’lam bishshawab.