Presiden ke empat Indonesia merupakan perempuan. Beberapa pemimpin dalam perusahaan juga perempuan. Banyak pula perempuan bekerja untuk menafkahi keluarganya. Kita dapat melihat betapa banyak perempuan kini terlibat dalam ruang-ruang kepemimpinan di berbagai sektor. Di sisi lain, banyak pula yang kurang setuju dengan pemimpin perempuan dengan merujuk pada teks Al- Qur’an surah An-Nisa ayat 34 berikut:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.
Dalam beberapa terjemah Al-Qur’an ayat ini diartikan, “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan…”. Jika dihadapkan dengan fenomena yang terjadi hari ini, ayat ini tentu bertentangan. Dimana perempuan juga dapat menjadi pemimpin atau menduduki posisi strategis dalam berbagai bidang. Namun, kita juga tidak dapat memungkiri bahwa secara literal ayat ini bermakna laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan. Maka, benarkah bahwa dalam kajian tafsir, ayat tersebut bermakna demikian?
Pokok perdebatan dalam ayat ini seringkali terdapat pada kalimat ar-rijalu qawwamuna ‘alaan-nisa’. Berdasarkan kalimat tersebut Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaf berpendapat bahwa kalimat tersebut bermakna laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan. Zamakhsyari berpendapat bahwa laki-laki menjadi
pemimpin karena telah dilebihkan oleh Allah dari perempuan berupa kelebihan akal, keteguhan hati, kekuatan fisik, kepemimpinan dalam berbagai bidang baik pemerintahan (seperti: kepala negara, saksi di pengadilan) maupun keagamaan (seperti: azan, khutbah, imam shalat). Selain itu, laki-laki juga telah membayar mahar dan menafkahi keluarga.
Dari segi gramatikal, ayat tersebut menggunakan kata ar-rijal yang merupakan bentuk jamak dari kata ar-rajul. Dalam Lisan al-‘Arab, ar-rajul diartikan dengan laki-laki, lawan kata perempuan, dan seringkali digunakan untuk menyebutkan laki-laki yang sudah dewasa. Dalam tradisi Arab, kata ini tidak mengacu pada jenis kelamin tertentu, melainkan menekankan pada konstruksi sifat maskulin (kejantanan) dalam tradisi Arab yang dapat dimiliki baik pada laki- laki maupun perempuan. Penggunaan kata ar-rijal dalam Al-Qur’an juga selalu memiliki makna yang beragam. Seperti dalam QS al-An’am ayat 9 berikut:
وَلَوْ جَعَلْنٰهُ مَلَكًا لَّجَعَلْنٰهُ رَجُلًا وَّلَلَبَسْنَا عَلَيْهِمْ مَّا يَلْبِسُوْنَ
Artinya: Dan sekiranya rasul itu Kami jadikan (dari) malaikat, pastilah Kami jadikan dia (berwujud) laki-laki, dan (dengan demikian) pasti Kami akan menjadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka ragu.
Kata rajulan dalam ayat ini tidak dapat dimaknai sebagai jenis kelamin laki-laki. Tetapi ayat ini menekankan pada sifat-sifat maskulinitas (kejantanan), karena dalam Al-Qur’an keberadaan malaikat tidak pernah diisyaratkan dalam suatu jenis kelamin laki-laki. Kelebihan-kelebihan yang disebutkan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya di atas, juga memperlihatkan pada sifat-sifat maskulinitas: seperti kemampuan akal, keteguhan hati, dan kekuatan fisik yang dapat dimiliki juga oleh perempuan.
Berbeda dengan penafsir terdahulu, Amina Wadud seorang pemikir muslimah kontemporer dalam bukunya Qur’an and Women, memberikan penafsiran dengan menekankan pada kata faddhala. Kata faddhala yang merujuk pada pelebihan yang telah Allah berikan secara realita dapat terlihat bahwa tidak semua laki-laki lebih baik daripada perempuan, begitupun sebaliknya. Sehingga kelebihan yang Allah berikan tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu, Amina Wadud lebih menekankan pada transfer tanggung jawab dan hak yang harus adil antara laki-laki dan perempuan sesuai kelebihan masing-masing yang telah Allah berikan untuk menjadi pemimpin.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa secara literal ayat ini berbicara tentang laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Namun, lebih jauh penggunaan kata ar-rajul yang merujuk pada sifat-sifat maskulinitas menguatkan pendapat bahwa kepemimpinan laki-laki tidak bersifat mutlak. Kepemimpinan, sebagaimana dijelaskan Amina Wadud, harus memastikan transfer tanggungjawab dan hak yang adil. Sehingga ayat ini bukan berbicara tentang laki-laki sebagai pemimpin perempuan secara mutlak. Namun menekankan pada setiap orang, tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan dapat menjadi pemimpin sesuai dengan kelebihan yang telah Allah berikan.