Tafsir QS. Al-Fajr ayat 27 dan 28, tentang Hati yang Tenang

Tafsir QS. Al-Fajr ayat 27 dan 28, tentang Hati yang Tenang

Bagaimana sih al-Qur’an menyinggung tentang Hati yang Tenang?

Tafsir QS. Al-Fajr ayat 27 dan 28, tentang Hati yang Tenang
Ilustrasi hati.

Ketika kita membaca tokoh Psikolog, Sigmund Freud adalah diantara jajaran tokoh-tokoh Psikolog ternama. Dalam teorinya, Freud membagi jiwa menjadi tiga, yakni Id, Super Ego dan Ego. Klasifikasi ini menurut Ali Harb memiliki kemiripan dengan klasifikasi jiwa yang disebutkan didalam al-Qur’an yang menggunakan istilah an-nafs al-amarah, an-nafs al-muthmainnah, dan an-nafs al-lawwamah.

Adapun penjelasan dari istilah-istilah diatas, sebagaimana diungkapkan oleh Ali Harb adalah sebagai berikut: Id atau an-nafs al-amarah adalah dorongan jiwa yang memiliki karakter berlawanan dengan undang-undang, kebiasaan, tradisi, berlawanan dengan rasio dan pemikiran, serta tidak mengenal kewajiban dan larangan. Untuk itu, jenis ini memiliki karakter karakter kehewanan, individualisme, serta tunduk kepada hawa nafsu.

Sementara super ego atau an-nafs al-lawwamah selalu meihat pada cerminan sistem bersama, memiliki dorongan untuk mengeluarkan nilai-nilai mulia, serta memberi inspirasi bagi munculnya nilai-nilai. Adapun pesan penting dari super ego (an-nafs al-lawwamah) adalah kemanusiaan dan peradaban kemasyarakatan. Yang terakhir adalah ego atau  an-nafs al-muthmainnah. Jenis jiwa ini memiliki karakter membangun prinsip-prinsip keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan seseorang.

Kata spesifik yang menyebutkan nafs al-muthmainnah didalam al-Qur’an terdapat didalam QS. Al-Fajr ayat 27 yang berbunyi:

المُطمَئِنَّةِ النَّفسُ اَيَّتُهَا يَا

Artinya “wahai jiwa yang tenang“. (Q.S. Al-Fajr, 27).

Muhammad Al-Syaukani (w. 1250 H.) dalam  tafsirnya, Fath Al-Qadir (Vol. 5, h. 551), menyebutkan bahwa muthmainnah adalah ketenangan yang tercipta karena menjadi buah dari keimanan yang kuat dan mengesakan Allah sampai dalam lubuk terdalam hingga tidak ada keraguan sedikitpun didalam hatinya. Sementara Al-Mujahid mengartikan muthmainnah dengan ridho dan rela atas segala ketetapan yang telah Allah berikan. Muqatil menafsirnya dengan jiwa yang beriman dan mengalami ketenangan. Ibnu Kaisan menyebutkan muthmainnah dengan makna jiwa yang tenang dengan menjadikan dzikir sebagai perantaranya.

 

Dari penafsiran-penafsiran diatas, dapat kita satukan bahwa muthmainnah adalah ketenangan sebagai kesimpulan yang dihasilkan dari keimanan kepada Allah, meyakinkan hati akan ke-Esaan-Nya, yang bisa dilakukan dengan perantara berdzikir atau mengingat dan menyebut Allah, hingga akhirnya akan mengantarkan pada derajat untuk ikhlas dan ridho atas apapun yang telah Allah tentukan dan takdirkan, baik maupun buruk. Meminjam istilah didalam al-Qur’an, muthmainnah adalah lâ khaufun ‘alaihim walâhum yahzanȗn (jiwa yang sudah tidak merasa khawatir dan tidak pernah mengalami kesedihan).

Jiwa-jiwa yang muthmainnah tidak hanya mendapatkan seruan biasa dari Tuhan melainkan jiwa-jiwa tersebut disapa oleh Tuhan untuk kembali kepada-Nya dalam keadaan sebagai sosok yang rela dan diselimuti oleh ridho Tuhan. Al-Qur’an menyebutkan dengan menggunakan redaksi sebagai berikut:

مَرضِيَّةً رَاضِيَةً رَبِّكِ اِلَى اِرجِعِي

Artinya: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi”. (Q.S. Al-Fajr, 28).

Fakhruddin Al-Râzî dalam tafsirnya, Mafâtih Al-Ghaib (1985, Vol. 31, h. 177), dengan mengutip statement Al-Qaffal (salah satu Ulama terkemuka didalam Madzhab Syafi’i), menyebutkan “meskipun Allah menyebutkan dengan menggunakan redaksi kata perintah (Fi’il ‘Amr), namun yang dimaksud dari redaksi tersebut adalah kata informative (Kalam Khabariyyah). Artinya, ketika jiwa seseorang telah mengalami ketenangan sebagaimana dalam penjelasan muthmainnah diatas, maka jiwa tersebut akan kembali kepada keharibaan Allah dalam kondisi yang ridho (radhiyatan) dan diridhai (mardhiyyatan).

Faktor yang melatar belakangi ayat ini turun (asbâb an-nuzȗl) para Ulama mengalami perbedaan pandangan. Menurut Abȗ Hurairah dan Buraidah Al-Aslamî, ayat ini turun berkaitan dengan meninggalnya Hamzah bin ‘Abdul Muthallib (paman kinasih Nabi) ketika perang Uhud. Al-Dhahhâ menyebutkan ayat ini turun berhubungan dengan ‘Utsman bin ‘Affan ketika mewakafkan sumur Raumah (Bi’ru Raumah). Sedangkan Muqatil justru menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan tragedy ketika Khubain bin ‘Ady disalib oleh penduduk Makkah. Sementara itu, Al-Mawardi menjelaskan keterkaitan ayat ini adalah tentang Abȗ Bakr dan Ikrimah menyebutkan terkait dengan seluruh orang-orang mukmin (Jamâluddin Al-Jauzi, Zâd Al-Masîr fî ‘Ilmi Al-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994, Vol. 8, h. 263).

Terlepas dari perbedaan latar belakang sejarah yang menyebabkan ayat ini turun, pesan yang ingin disampaikan al-Qur’an melalui ayat ini adalah kejarlah dalam pencarian didunia ini hingga sampai derajat jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah) dan tidak hanya berhenti hanya tentang iman. Dengan kata lain, ada dimensi esensial yang jarang disadari oleh manusia bahkan justru dimensi tersebut menjadi tanda ridhanya Allah. Dimensi yang dimaksud adalah dimensi jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah). Ini adalah pesan yang dapat penulis serap, meskipun Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan maksud yang beragama dikalangan para ‘Ulama terkait maksud dari panggilan Allah didalam Suarat Al-Hijr ayat 28 ini, sebagaimana akan penulis tampilkan keterangan terssebut dalam paragrap penutup.

Didalam Tafsirnya, Al-Muharrar Al-Wajîz (1993, vol. 5, h. 481-482), Ibnu ‘Athiyyah menyatakan bahwa muthmainnah adalah merupakan derajat yang berada diatas derajat Iman. Sementara, para Ulama berbeda pendapat terkait maksud adari kata seruan dalam ayat ini. Ibnu Zaid menyebutkan maksud dari seruan ini adalah ketika jiwa seseorang telah keluar dari jasadnya (meninggal). Pendaapat ini mendasarkan pada Abȗ Bakr yang pada waktu itu bertanya kepada Nabi Muhammad Saw.. Nabi menjawab pertanyaan Abȗ Bakr dengan “malaikat akan berujar kepadamu wahai Abȗ Bakr ketika kamu meninggal kelak”. Sementara sebagian Ulama yang lain menyebutkan bahwa seruan Allah dalam ayat ini adalah untuk seluruh orang-orang mukmin didunia ini. Ketika Allah menyebutkan sifat-sifat orang yang membangkang kepada Nabi, Allah berfirman “Hai orang-orang mukmin, konsistenlah (istiqamah) dan bersungguh-sungguhlah sampau kalian kembali kepada-Nya dalam keadaan ridho dan diridhoi oleh-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.

A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian Tafsir al-Qur’an.