Tafsir Q.S. Al-Hajj Ayat 37: Tentang Falsafah Ibadah Qurban

Tafsir Q.S. Al-Hajj Ayat 37: Tentang Falsafah Ibadah Qurban

Perayaan hari raya Idul Adha atau hari raya kurban akan segera berakhir. Namun tak salah jika tidak hanya daging kurban yang kita nikmati, namun mari kita menggali kembali filosofi hari raya Idul Adha.

Tafsir Q.S. Al-Hajj Ayat 37: Tentang Falsafah Ibadah Qurban

Di hari-hari kurban (Idul Adha) tidak sedikit kita saksikan sebagian politikus maupun artis yang menampilkan keindahan dan fenomena hewan kurbannya. Ada sebagian yang menilai bahwa para artis maupun politikus tersebut sedang memasang panggung pencitraan.

Di luar konteks apapun yang mereka maksudkan, alangkah baiknya kita melakukan tadabur Q.S. al-Ĥajj/ 22: 37 untuk mengetahui hakikat kurban dan falsafah yang terkandung di dalamnya.

لَنْ يَنالَ اللَّهَ لُحُومُها وَ لا دِماؤُها وَ لكِنْ يَنالُهُ التَّقْوى‏ مِنْكُمْ كَذلِكَ سَخَّرَها لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلى‏ ما هَداكُمْ وَ بَشِّرِ الْمُحْسِنينَ (37)

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. al-Ĥajj/ 22: 37).

Penyembelihan hewan kurban merupakan ritual yang kita saksikan tiap tahunnya. Ritual suci ini dilakukan pada hari-hari naĥr (tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzul ĥijjah). Penting diketahui bahwa tidak semua kegiatan menyembelih binatang disebut berkurban. Disebut berkurban karena menyembelihan binatang dengan niat hanya untuk ber-taqarrub kepada Allah swt semata, bukan karena niatan lainnya. Disebut berkurban karena dilakukan pada hari-hari naĥr. Disebut berkurban  karena bukan untuk alasan-alasan tertentu semisal untuk aqiqah anak atau membayar tebusan tertentu karena seorang telah meninggalkan suatu kewajibannya dalam ibadah haji.

Jadi, hal yang membedakan antara berkurban dengan ritual penyembelian binatang lainnya adalah soal waktu dan niatannya. Berkurban tidak diperkenankan dilaksanakan di luar hari-hari naĥr, dan bukan karena alasan-alasan tertentu, kecuali hanya mengharapa ridho Ilahi dan ber-taqarrub/ mendekatkan diri kepada Allah swt. Maka dari sini, sangat jelas diketahui bahwa sudah seharusnya kita meluruskan niat saat melakukan ibadah kurban. Kurban bukan untuk pencitraan. Nilai kurban kita terdapat pada sejauh mana niatan kita sebagaimana yang terkandung dalam hadis berikut:

إن اللّه لا ينظر إلى صوركم و لا إلى أموالكم، و لكن ينظر إلى‏ قلوبكم و أعمالكم

Sesungguhnya Allah swt tidak melihat pada penampilan dan hartamu, akan tetapi melihat pada isi hati dan perilakumu”.

Selanjutnya, besar kemungkinan akan muncul beberapa pertanyaan mendasar terkait dengan fenomena kurban,  misalnya: (1). Apa kepentingan Allah swt memerintahkan kepada kita untuk berkurban?, (2). Apa rahasia dan falsafah dalam ibadah kurban tersebut? dan (3). Apakah benar daging maupun darah hewan kurban yang kita sembelih akan sampai kepada Allah swt?

Jawaban dari tiga pertanyaan tersebut akan kita temukan dalam Q.S. al-Ĥajj/ 22: 37. Ayat tersebut mengisyaratkan, bahwa Allah swt tidak membutuhkan daging dan darah hewan kurban kita. Bahkan, Allah swt tidak butuh pada sesuatu apapun. Allah swt bukanlah sesuatu yang bersifat jasmani, maka Allah swt tidak membutuhkan hal-hal yang bersifat jasmani seperti daging maupun darah hewan kurban. Bahkan sebaliknya, Allah-lah yang merupakan Sang Pemberi wujud/ eksistensi keberadaan pada segala sesuatu. Segala sesuatu, seluruh makhluk-lah yang membutuhkan Allah swt.

Pesan lainnya yang terdapat dalam ayat tersebut adalah tujuan dari berkurban itu sendiri, Selain itu, seluruh jenis dan tuntunan ibadah merupakan pembelajaran dalam pendidikan islam, tidak luput juga dalam ibadah kurban. Ritual ibadah kurban mengajarkan kita sebuah altruism dan pengorbanan di jalan Ilahi. Mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan fakir-miskin dan orang-orang yang lemah secara ekonomi. Mengajarkan kita untuk tidak egois, yang hanya memikirkan diri sendiri. Mengajarkan kepada kita untuk mau berbagi hal-hal material yang kita miliki. Mengajarkan kepada kita untuk bisa melepaskan diri dari keterikatan pada hal-hal yang bersifat jasmani dan materi.

Daging dan darah hewan kurban kita adalah simbol jasmani dan materi. Hal-hal yang yang bersifat jasmani dan materi akan mengalami kehancuran/ fanā. Oleh karenanya, melihat penyembelihan binatang kurban menjadi sunnah hukumnya. Kenapa demikian? Dengan melihat penyembelihan binatang kurban, diri kita akan ingat akan sebuah kematian/ ajal. Tujuan dan pesan puncak dari berkurban adalah takwa sebagaimana terekam dalam pesan ayat berikut: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya…”.

Sebagaimana disebutkan bahwa tujuan dari ibadah kurban adalah mencapai derajat takwa. Para ulama menjelaskan bahwa takwa memiliki beberapa tingkatan. Al-Fakr ar-Rāzī dalam tafsirnya Mafātīĥ al-Ghayb menjelaskan tingkatan takwa sebagai berikut: “Tingkatan takwa terendah adalah seorang hamba yang mampu menjauhi segala larangan agama dan melaksanakan segala perintah Allah swt. Sedangkan, tingkatan tertinggi dari takwa (al-atqā) adalah melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi larangan agama disertai dengan ketercelupan cahaya Ilahi. Qalbunya selalu sibuk ingat/ dzikir kepada Allah swt. Al-Fakr ar-Rāzī menyatakan, jika qalbu-nya berpaling kepada selain Allah, dianggap sebagai sebuah dosa/ kesalahan.” Tingkatan ketakwaan semacam ini diisyaratkan Q.S. al-Ĥajj/ 22: 37 sebagai al-Muĥsinīn: “Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”, maqamnya nabi Ibrahim yang telah sukses, patuh dan taat terhadap perintah Allah untuk menyembelih Ismail, putranya.

قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنينَ (105)

Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. ash-Shaffāt/ 37: 105).

Pesan penting lainnya dalam ayat ini adalah tentang kuasa Ilahi yang telah menundukan (at-taskhīr) ragam hewan ternak untuk keperluan manusia. Hewan ternak tunduk dan patuh pada manusia sehingga dagingnya bisa dinikmati dan punggungnya bisa ditunggangi. Penundukan hewan semacam ini memiliki sebuah tujuan tersendiri, yakni: agar manusia menyadari keagungan Allah swt. Segala keagungan dan keindahan adalah milik-Nya. Manusia pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa. Jangankan harta dan kekayaan yang menjadi hiasan kita, hingga pada tahapan diri dan wujud kita adalah milik-Nya. Wallahhu a’lam.

Kerwanto, Penikmat Kajian Tafsir Al-Qur’an