Religiusitas dan kebaikan bukanlah dua hal yang selalu berjalan beriringan. Bahwa semua agama mengklaim dirinya mengajarkan kebaikan, itu adalah satu hal. Namun, semua bentuk pemikiran, apapun itu, baru akan benar-benar disebut sebagai pemikiran ketika ditafsirkan. Dan yang disebut sebagai “tafsir” itu tidak sama dan tidak akan pernah sama dengan “yang ditafsirkan”.
Ayat suci adalah sebuah kalimat yang sudah selesai dituliskan. Namun, pemahaman kita akan arti ayat suci itu selalu bisa diperdebatkan. Itulah yang disebut sebagai multitafsir. “Ayat suci” dan “apa yang kita pahami dari ayat suci” adalah dua hal yang berbeda. Kadangkala kita gagal membedakan antara pendapat pribadi dan firman Tuhan.
Jadi, ketika seseorang mengutip ayat suci untuk menguatkan argumennya, itu tidak berarti argumennya mutlak benar dan tak bisa dibantah. Kenapa? Karena sebenarnya yang dia kemukakan adalah tafsir akan kalimat Tuhan, bukan kalimat Tuhan itu sendiri.
Gereja Oikumene di Kelurahan Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur, dilempar bom molotov pada Minggu, 13 November 2016. Sejumlah balita terluka, satu di antaranya meninggal dunia. Belakangan diketahui bahwa pelaku bukanlah orang baru di dunia terorisme. Sebelumnya dia pernah 3,5 tahun mendekam di penjara karena membuat teror bom buku di Puspitek Serpong, Tangerang. Konon, pelaku adalah anggota Jamaah Ansharut Tauhid yang merupakan pecahan dari Jemaah Islamiyah (JI) yang dikenal sebagai kelompok proterorisme.
Lalu pertanyaannya, apakah ini berarti Islam mengajarkan kekerasan dan terorisme? Kita tentu tidak bisa dan tidak boleh mengambil kesimpulan dengan terburu-buru. Karena sekali lagi, “ayat suci” dan “tafsir atas ayat suci” itu adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Umat Islam yang mencintai kedamaian boleh saja berujar, bahwa mereka yang melakukan aksi terorisme sebenarnya bukanlah Islam dan tidak benar-benar memahami ajaran Islam, dan sebagainya dan sebagainya. Namun, faktanya, fanatisme dan ekstremisme di dunia Islam itu memang sungguh-sungguh ada.
Mereka yang menafsirkan bahwa ajaran Islam menghalalkan kekerasan itu benar-benar nyata.
Percayalah, berbohong itu tidak baik, terlebih ketika kebohongan itu dipraktikkan ke diri sendiri. Mereka menafsirkan, seperti halnya dirimu menafsirkan. Karena itu, ada baiknya kita mulai mencoba untuk berani jujur ke diri sendiri, menerima fakta apa adanya, bahwa: “Ya, memang benar ada gerakan fanatisme dan radikalisme di tubuh Islam yang terkadang menginjak-injak kemanusiaan.”
Tidak perlu mengedepankan ego untuk terus menerus denial, bahwa mereka yang melakukan aksi kekerasan atas nama agama itu bukan bagian dari dirimu. Faktanya adalah, mereka yang (kau bilang) menafsirkan agamamu secara keliru itu memang benar-benar ada dan menjadi bagian dari apa yang kau imani saat ini.
Sementara kau bersetubuh dengan khidmat dan intim dengan Tuhanmu di kegelapan kamar, mereka tak henti berkecambah dan melebarkan sayapnya di kampung-kampung, merekrut orang-orang dungu agar mau melakukan kejahatan-kejahatan dengan imbalan kaveling tanah di surga.
Mulai saat ini, berhentilah denial dan marahlah. Jangan hanya diam. Berteriaklah sekencang yang kau bisa, karena sebenarnya mereka itulah yang saat ini sedang menistakan agamamu. []
Setyo A. Saputro, Pekerja Media. Mengelola blog www.setyoasaputro.com.