Banyak yang masih alergi dengan ilmuwan muslim yang tinggal di Barat. Ini adalah dampak dari rasa minder dan sekaligus rasa curiga sebagian dari kita. Minder karena dunia Islam saat ini jauh tertinggal dari dunia IPTEK di Barat. Curiga karena seolah Barat itu sama dengan Kristen, dan ilmuwan muslim yang berada di dunia Barat dituduh sebagai antek para orientalis, zionis, liberalis, sekularis dan lain-lainnya, untuk menghancurkan Islam. Minder dan curiga semakin diperparah pula dengan kedengkian membayangkan kenikmatan hidup para ilmuwan muslim yang bekerja di Barat.
Salah kaprah ini terjadi karena menganggap Islam hanya berada di dunia Timur, dan tidak pernah di dunia Barat. Padahal sejak dulu Islam itu juga berada di Barat, misalnya di wilayah Italia dan Spanyol. Ibn Rusyd, ulama ahli filsafat dan fiqh itu lahir di Spanyol. Ibn Arabi, yang dijuluki Syekh Terbesar (al-syaikh al-akbar) dalam dunia tasawuf, juga lahir di Spanyol. Imam Syatibi, pakar maqashid al-syari’ah, itu juga orang Spanyol. Jelas mereka semua berada di dunia Barat.
Cordoba di Spanyol itu dulu merupakan pusat peradaban Islam. Ada satu ulama yang lebih dikenal namanya berdasarkan kota Cordoba tempat kelahirannya. Al-Syekh al-Faqih al-Imam al-‘alim al-‘amil al-muhaddits Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi al-Maliki. Beliau biasa dikenal dengan nama Imam al-Quthubi yang merujuk ke daerah Cordoba –diarabkan menjadi Qurthubi. Beliaulah pengarang Tafsir al-Qurthubi yang sangat terkenal itu. Beliau wafat tahun 1272 –sekitar 740 tahun yang lalu.
Beliau berprilaku sebagai seorang zahid (mengamalkan zuhud), seorang yang sangat alim, ahli fiqh, tafsir, qiraah dan hadis. Ini semua tergambar dalam pembahasan ayat-ayat Qur’an di dalam kitab tafsirnya. Beliau mengikuti mazhab Maliki, namun ia meninggalkan sikap fanatisme dan sangat menghargai perbedaan pendapat. Bahkan tidak segan beliau berbeda pandangan dengan Imam mazhabnya sendiri. Misalnya, Imam Malik melarang anak kecil menjadi Imam shalat, sedang Imam al-Qurthubi membolehkannya asalkan ia seorang qari’. Imam Malik berpendapat orang yang lupa makan-minum saat tengah berpuasa, maka puasanya batal. Imam al-Qurthubi menganggap tidak batal dan sependapat dengan pandangan jumhur ulama.
Sistematika pembahasan dalam tafsirnya sebagai berikut: Pertama, mencantumkan teks ayat yang akan ditafsirkan; kedua, memberi komentar arti kosa kata yang rumit termausk i’rabnya. Ketiga, mengemukakan perbedaan qiraat. Keempat, menyajikan pendapat para ulama mengenai ayat tersebut. Kadang disebut jelas nama ulamanya, kadang hanya memakai kata “qila” (dikatakan). Pada bagian inilah diskusi seru terjadi. Tidak jarang Imam al-Qurthubi mengungkap masalah yang muncul dalam pembahasan ayat, lantas beliau mengajukan pendapatnya sendiri (“qultu”). Beliau juga mencantumkan hadis-hadis sebagai pendukung penafsirannya lengkap dengan periwayatannya (ini jarang dilakukan kitab tafsir lainnya). Namun beliau membatasi diri menampilkan kisah atau cerita umat terdahulu. Beliau lebih fokus pada pembahasan hukum.
Dalam muqaddimah tafsirnya dijelaskan panjang lebar soal visi beliau sebagai mufassir, langkah-langkah yang beliau lakukan, bagaimana membaca al-Qur’an, penjelasan mengenai qiraat, mushaf utsmani dan lainnya. Saya sarankan untuk membaca terlebih dahulu bagian muqaddimah ini sebelum menyimak kandungan/isi tafsir beliau. Seddaapp rasanya!
Ini saya cuplik nasehat Imam al-Qurthubi untuk kita semua para pelajar yang mencintai al-Qur’an:
“Jadi, mereka yang mengenal al-Qur’an dan mencari pemahaman akan al-Qur’an harus senantiasa bertakwa pada Allah dan bersikap tulus ikhlas. Kalau mereka merasa melakukan sesuatu yang tidak disukai Allah, cepat-cepatlah memohon ampunanNya. Mereka yang paham al-Qur’an harus menjaga diri mereka lebih dari yang lain, karena mereka memiliki ganjaran yang orang lain tidak mendapatkannya.”
Selanjutnya Imam al-Qurthubi memberi peringatan agar tidak pamer mentang-mentang suaranya bagus saat membaca al-Qur’an, atau ilmunya selangit ttg al-Qur’an sehingga ingin dikenal sebagai qari’ atau ahli al-Qur’an, atau merasa paling paham mengenai ayat Allah.
Intinya, Imam dari Cordoba ini menasehati kita untuk tulus ikhlas saat belajar, berinteraksi dan mengamalkan al-Qur’an.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Monash Law School, Rais Syuriah PCI-NU Australia