Tafsir Ayat ‘Tidak Ada Pemaksaan Memeluk Islam’

Tafsir Ayat ‘Tidak Ada Pemaksaan Memeluk Islam’

Bagaimana sih tafsir ayat Al-Qur’an tentang tidak adanya paksaan dalam masuk islam?

Tafsir Ayat ‘Tidak Ada Pemaksaan Memeluk Islam’

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS al-Baqarah:256)

Aqidah adalah masalah kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan, begitu Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an memulai penjelasannya atas ayat ini. Islam datang kepada manusia melalui kemampuan akalnya yang berbicara, intuisi yang berpikir, dan perasaan yang sensitif, serta berbicara kepada fitrah yang tenang. Dengan kata lain, Islam menekankan kepada bukti dan penjelasan yang terang benderang sehingga jelas sudah mana jalan yang benar dan mana yang salah. Karena bukti sudah sedemikian jelas, maka manusia tidak perlu lagi dipaksa, ditekan, diancam ataupun diteror untuk memeluk agama Islam. Kata Sayyid Quthb kata “la” dalam ayat ini menafikan semua jenis pemaksaan (li nafyil jins).

Kepercayaan diri bahwa Islam membawa kepada jalan yang lurus ini seharusnya menjadi pegangan semua da’i. Cukup kita menjelaskan keindahan Islam lewat bukti-bukti yang telah jelas, dan tidak perlu lagi kita menjelek-jelekkan agama orang lain, mengolok sesembahan mereka ataupun menunjukkan kekeliruan kitab suci mereka. Mereka yang masih menjelekkan agama orang lain itu seolah tidak cukup percaya diri dengan kebenaran agamanya.

Tapi bagaimana mereka yang sudah melihat bukti kebenaran dan keagungan Islam namun tidak mau memeluk juga? Tafsir Ibn Katsir menjawab: “Barang siapa yang hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci mati oleh-Nya, sesungguhnya tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa.” Artinya, kalau hati mereka belum menerima hidayah, untuk apa dipaksakan, apalagi dibujuk dengan berbagai iming-iming materi, lebih-lebih dengan kekuatan senjata. Terserah mereka saja.

Ada beberapa riwayat mengenai turunnya ayat di atas –kesemuanya menunjukkan pesan yang amat jelas: tidak perlu memaksa keluarga, kolega maupun pihak lain untuk masuk Islam. Tafsir al-Thabari menceritakan ketika kelompok Yahudi yang menyalahi perjanjian diusir dari Madinah, ada anak-anak kaum Anshar di antara mereka. Kaum Yahudi mengatakan kami tidak akan menyeru anak-anak kami untuk masuk Islam. Maka turunlah ayat di atas. Dikatakan kepada mereka: “Yang mau tinggal menetap di Madinah (artinya memeluk Islam), tinggal-lah di sini, dan yang mau pergi (gabung dengan Yahudi), pergilah!”

Sayyid Thanthawi dalam kitab tafsir al-Wasith mengutip riwayat lain dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki Anshar dari kalangan Bani Salim ibnu Auf yang dikenal dengan panggilan Al-Hushain. Dia mempunyai dua orang anak lelaki yang memeluk agama Nasrani, sedangkan dia sendiri adalah seorang muslim. Maka ia bertanya kepada Nabi SAW., “Bolehkah aku memaksa keduanya (untuk masuk Islam)? Karena sesungguhnya keduanya telah membangkang dan tidak mau kecuali hanya agama Nasrani.” Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut yang melarang pemaksaan itu.

Syekh Wahbah al-Zuhaili selain menulis kitab Tafsir al-Munir, juga menerbitkan kitab Tafsir al-Wasith yang berdasarkan kajian tafsir beliau lewat radio di Damaskus. Dalam Tafsir al-Wasith ketika beliau menjelaskan makna ayat ini beliau memberi judul “al-hurriyah al-diniyah fi al-Islam” (kebebasan beragama dalam Islam). Dengan tegas beliau mengatakan pemaksaan untuk memeluk Islam itu dilarang. Bagi beliau, ayat ini sekaligus memberi bukti bahwa kritikan sementara pihak Islam disebarkan dengan pedang jelas keliru. Perang dalam Islam dilakukan untuk defensif mempertahankan diri dari serbuan kaum musyrikin. Bahkan pada titik ini Sayyid Thantawi juga bertanya secara retoris: yang menghunus pedang itu justru mereka yang punya kekuatan pasukan dan jumlah pengikut yang besar, sementara di awal pertumbuhannya justru umat Islam jumlah sedikitnya dan secara logis tidak mungkin lebih dulu menghunus pedang?!

Namun Tafsir Ibn Katsir mengutip pendapat yang mengatakan bahwa ayat “la ikraha fi al-din” di atas telah mansukh (dihapus) oleh ayat perang. Karena itu menurut pendapat ini wajib menyeru semua umat untuk memasuki agama Al-Hanif, yaitu agama Islam. Jika ada seseorang di antara mereka menolak untuk masuk ke dalam agama Islam serta tidak mau tunduk kepada peraturannya atau tidak mau membayar jizyah, maka ia diperangi hingga titik darah penghabisan. Tafsir al-Qurthubi menyebutkan pendapat lain yang mengatakan ayat ini tidak dihapus dan berlaku khusus kepada ahlil kitab yang membayar jizyah (pajak). Jadi mereka tetap tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam.

Sayyid Thanthawi, yang semasa hidupnya pernah menjadi Grand Syekh al-Azhar, berpendapat ayat kebebasan beragama di atas tetap berlaku dan tidak dihapus oleh ayat perang. Menurut beliau, keislaman itu tidak bisa dipaksa lewat jihad, karena selain bertabrakan dengan maksud pensyariatan jihad, juga ditegaskan bahwa berislam lewat paksaan itu tidak sah. Lagipula dalam kaidah para ulama tafsir, ayat yang masih bisa dikompromikan itu jangan buru-buru dianggap telah terjadi nasikh-mansukh. Komprominya adalah ayat kebebasan beragama dan ayat perang itu berjalan sesuai dengan konteks masing-masing.

Ayat kebebasan beragama berlaku dalam kondisi normal dan damai. Sedangkan ayat perang berlaku dalam konteks mempertahankan aqidah umat dari mereka yang lebih dulu mengangkat senjata. Seperti berkali-kali saya singgung dalam tulisan saya lainnya, yang repot itu kalau ayat perang justru sengaja dikoar-koarkan untuk dakwah dalam kondisi damai. Ini seperti memainkan musik rock disaat tetangga sedang tidur jam 2 pagi. Anda cari ribut namanya!

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School