Kemarin, 26.05.18, aku menikmati perbincangan bertema “Kiai Sa’id dan Tasawuf Falsafi”, yang sangat memikat, berkelas dan beretika tinggi. Dua kiai muda dan cendekiawan NU yang masyhur: Ulil Abshar Abdalla dan Abdul Moqsith Ghazali membedah tema ini dengan begitu piawai, mengesankan dan anti klimaks. Perbincangan diakhiri oleh sang begawan ilmu ini dan guru mereka berdua: Kiyai Sa’id Aqil Siradj dengan amat memukau.
Kiai Ulil mengurai sejarah masuknya Tasawuf Falsafi ini di bumi Nusantara dengan sangat fasih bagai seorang sejarawan. Menurutnya, sambil mengutip seorang peneliti dari Belanda, ajaran ini memperoleh tempat dan apresiasi dari para elit kekuasaan, karena mengokohkan posisi mereka sebagai “bayang-bayang Tuhan” di dunia. Tetapi sayang ajaran ini tergusur oleh Fiqh yang menjadi kegemaran rakyat banyak.
Lalu hal lain yang saya kira menggelitik pikiran saya dari kiyai Ulil adalah manakala ia menyebut nama Platon. Sayang ia tidak mengurai lebih jauh soal pikiran filsuf besar ini dalam kaitannya dengan Tasawuf Falsafi ini. Juga tentang pikiran-pikiran filsafat “Neo Platonisme”. Mungkin tidak cukup waktu.
Kiai Moqsith bicara dengan gaya jenaka tetapi tetap “keren”, antara lain tentang “keajaiban-keajaiban” atau “keramat-keramat” yang diperlihatkan para master sufi Falsafi, macam Sheikh Abdul Qodir Al Jilani, Sheikh Abu al-Hasan Al Syadzili, Sheikh Abu Yazid al-Bisthami dan lain-lain sambil menyebut silsilah guru-guru mereka sampai ujung. Ia seperti gurunya : Kiyai Sa’id, hafal di luar kepala tentang silsilah tokoh-tokoh itu dan menyebutkannya dengan lancar. Luar biasa. Ini sesuatu yang boleh jadi hanya ditemukan dalam tradisi pesantren NU.
Dan saya terkagum-kagum manakala ia menyenandungkan syair-syair/puisi-puisi “Cinta”, dan “kerinduan”. Ini satu model sungguhan yang jarang ditemukan dalam ruang-ruang seminar. Dan lebih dari itu uangkapan syair-syair itu merupakan tradisi kaum sufi Falsafi. Lihat Ibnu Arabi menulis ribuan bait dalam “Diwan Ibnu Arabi” (Antologi) dan “Turjuman al-Asywaq” (penerjemah kerinduan”. Demikian juga Rumi dan lain-lain.
Salah satu hal yang menarik adalah mereka bicara tema ini tanpa beban sama sekali. Padahal membicarakan tema ini secara terbuka di depan publik luas, dalam banyak periode sejarah atau bahkan sepanjang sejarahnya selalu menimbulkan kontroversi bahkan tragedi. Ingat tragedi Al-Hallaj dan Sheikh Siti Jenar.
Lalu dua kiyai itu beberapa kali menyebut dua nama sufi besar : Imam Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali, dua sandaran/anutan utama Ahlussunah wal Jamaah, dalam dimensi sufisme/mistisisme. Kedua Imam ini dipahami kaum Sunni sebagai penganut tasawuf akhlaqy atau ‘Amali yang menganut dualitas Tuhan dan makhluk, sebagai dua entitas/wujud yang terpisah. Tasawuf Amali menekankan etika individu dan sosial.
Padahal menurut kedua pembicara dua Imam itu juga menganut Tasawuf Falsafi. Kiyai Sa’id, sang suhu, telah lama menginfokan soal ini. Tasawuf ini membincangkan tema-tema sensitif dan kontroversial : Ittihad, Hulul, Fana, Emanasi, Teologi Negatif, dan puncaknya : Wahdah al-Wujud, gagasan al-Syeikh al-Akbar ; Ibnu Arabi. Tema-tema ini mengandung makna penyatuan, atau Manunggaling kawula Gusti.
Wahdah al-Wujud”, adalah sebuah tema yang rumit sekaligus controversial dipahami para pengkajinya. Ia sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “Kesatuan Eksistensi”. Atau “Unity of Being” dalam bahasa Inggris. Penerjemahan ini tidak selalu tepat sekaligus tak mudah dipahami. Kata itu menyimpan misteri makna. Dalam konteks Jawa terma Ittihad dan Hulul mengandung makna penyatuan dua entitas yang berlawanan : Tuhan dan bukan Tuhan atau Manunggaling kawula Gusti.
Kiyai Moqsith menginformasikan pandangan Imam al-Ghazali tentang hal itu ada di dalam kitabnya yang terkenal “Ihya Ulumuddin”, sambil menunjukkan letaknya : Juz III, halaman sekian dalam pasal ini (al-Wujud). Ia juga mengutip pernyataan Ibnu Arabi dalam bukunya al-Risalah al-Wujudiyah : Allah ‘Aqlun, wa ‘Aqilun wa Ma’qul, dan Allah Khalqun, wa Khaliq wa Makhluq.
Pernyataan ini sungguh mengagetkan dan mencengangkan. Memaknainya memerlukan waktu yang relatif panjang.
Dulu kala, Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib sangat berhati-hati bicara tema-tema Tasawuf Falsafi tersebut. Beliau mengungkapkan kekhawatirannya atas kemarahan banyak orang saat mengungkapkan gagasan-gagasan Tasawuf Falsafi ini. Dalam sebuah puisi yang sangat terkenal ia mengatakan:
َيا ربّ جَوْهَر عِلْم لَوْ اَبْوَحُ بِه
لَقِيْلَ لِى اَنْت ِممّنْ يَعْبُد اْلوَثْنا
وَلاَ سْتَحلّ رِجَالٌ مُسْلِمونَ دَمى
يَرَوْنَ اَقْبَح مَا َيأتُونَه حَسَنا
O, betapa jika aku singkapkan mutiara pengetahuan
Niscaya aku dibilang menuhankan berhala
Niscaya banyak orang menghalalkan darahku
Mereka mengira ucapan buruk mereka
Adalah baik-baik belaka.
Imam Al-Ghazali juga memperingatkan hal ini. Beliau mengatakan “Ifsya Sirr al-Rububiyah Kufrun”, menyebarkan rahasia-rahasia Ketuhanan adalah kekafiran.
Dan : “Laisa Kullu Sirr Yuksyaf wa Yufsya”, tidak semua rahasia boleh disebarkan.
Dari perbincangan luar biasa itu ada pertanyaan orang NU mengenainya, “Apakah Aswaja NU menerima ajaran Tasawuf Falsafi ini? Jika iya, maka ini sebuah lompatan besar. Tasawuf Falsafi adalah puncak dari segala pengetahuan. Selamat“, katanya.