Mentadaburi Al-Qur’an merupakan tahap lanjutan dari tafsir dan ta’wil. Kedua istilah terakhir umum dipahami sebagai proses menjelaskan Al-Qur’an secara mendalam serta menelisik pesan-pesan implisit yang dikandungnya. Tadabbara merupakan kata kerja bentukan dari da-ba-ra yang tercakup di dalamnya proses akhir suatu tindakan. Duburun, kata benda dari da-ba-ra, berarti muara terakhir keluarnya kotoran manusia. Pada kata tadabburun terkandung makna mempertimbangkan dan mengambil manfaat lanjutan dari Al-Qur’an, baik secara teoritis maupun praktis.
Maka, tadabur dapat dipahami sebagai the ultimate step dari proses berliku memahami, meresapi, serta mengambil inspirasi dari sesuatu (dalam hal ini Al-Qur’an) untuk dijadikan pedoman bagi tindakan seorang Muslim. Tadabur tak seremeh frasa ‘tadabur alam’ yang lazim diokupasi maknanya untuk kegiatan wisata menikmati alam semesta.
Tadabur dalam Al-Qur’an
Kata da-ba-ra dan derivasinya terulang 44 kali di dalam Al-Qur’an. Dari jumlah itu, hanya 4 ayat yang eksplisit membincang tadabur. Dua ayat mengambil bentuk kata kerja asli ta-dab-ba-ra dan terdapat pada QS an-Nisa’ 4:82 dan QS Muhammad 47:24. Sementara dua ayat lain dalam bentuk yad-dab-ba-ra (kata kerja hasil perubahan nahwiyyah dari kata kerja ta-dab-ba-ra) terdapat pada QS al-Mu’minuun 23:68 dan QS Shaad 38:29. Mari kita telaah keempat ayat tersebut satu persatu.
Pertama, QS an-Nisa’ 4:82. “Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” Tadabur pada ayat ini, oleh Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, dimaknai sebagai tujuan, maksud, dan pertimbangan atas konsekuensi hal-hal. Al-Qur’an yang ditadaburi dan dipahami mendalam akan menuntun manusia kepada kemenangan, perbaikan, dan perdamaian. Tujuan akhirnya adalah tercapai dan terjaganya tatanan sosial terbaik bagi manusia.
Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menegaskan bahwa kalimat tanya pada permulaan ayat tersebut mengandung makna pengingkaran. Anjuran mentadaburi Al-Qur’an kepada para pengingkarnya yang ‘arabiy (orang Arab asli) dan pasti paham bahasa Arab menunjukkan bahwa diskursus tadabur di ayat ini bukan soal kemampuan melainkan kemauan untuk mendalami Al-Qur’an. Melalui tadabur, bagian-bagian dalam Al-Qur’an terlihat sinkron dan tak saling bertentangan, sebagaimana dulu dituduhkan oleh para pengingkarnya dan kini oleh kalangan ex-Muslim yang komunitasnya menjamur di negara-negara maju.
Kedua, QS Muhammad 47:24. “Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” Diskusi tadabur di sini relevan dengan topik hati yang terkunci. Dua ayat pendahulunya (ayat 22 dan 23) berkisah tentang sifat buruk manusia yang merusak bumi dan memutus tali silaturrahim. Diriwayatkan dalam Tafsir At-Thabari bahwa Khalid ibn Ma’dan, salah seorang Tabi’in, menyatakan bahwa manusia memiliki empat mata, dua mata sebagai indera penglihatan dan dua lainnya adalah mata hati. Kedua mata hati yang tak diasah untuk peka dan empati namun justru bertindak naif di dunia, Allah dapat dengan mudah menutup kedua mata hati tersebut kapan saja.
Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya Mafaatih al-Ghaib menjelaskan bahwa kata aqfaalun (berarti gembok-gembok), selain hanya terulang satu kali di dalam Al-Qur’an, ia terhimpit kata ‘hati’ sebanyak dua kali: kata asli (quluubun) dan kata ganti quluubun (haa). Dapat dimaknai bahwa hal yang paling potensial terkunci dari diri manusia adalah hatinya, bukan sesuatu lain. Selain itu, kata quluubun muncul dalam bentuk nakirah (bersifat umum, bukan ma’rifah yang definitif) yang membuatnya dipahami bahwa hati yang potensial terkunci dapat terjadi pada siapapun.
Ketiga, QS al-Mu’minuun 23:68. “Maka tidakkah mereka menghayati firman (Allah), atau adakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka terdahulu?” Tadabur pada ayat ini ditautkan dengan sindiran Al-Qur’an terhadap kaum kafir yang meragukan ayat-ayat Tuhan sementara nenek moyang mereka bersedia menerima firman Tuhan yang diturunkan kepada rasul-rasul terdahulu. Penjelasan ironi ini ditemukan pada Tafsir Al-Qurthubi karya Imam al-Qurthubi.
Ibnu ‘Asyur dalam At-Tahriir wa at-Tanwiir memberi penekanan pada kalimat tanya di awal ayat tersebut. Menurutnya, bentuk kalimat tanya tersebut cukup menyinggung mereka yang menjadi lawan bicara Al-Qur’an ketika itu. Cukup bagi Al-Qur’an mengajukan tanya sementara pesan tersiratnya membuat mereka merasa bersalah atas sikap yang berseberangan dengan nenek moyang mereka.
Keempat, QS Shaad 38:29. “Kita (Al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaaf menilai tadabur di ayat ini menyimpan makna tafakkur atau kontemplasi. Pemahaman terhaadap luaran ayat Al-Qur’an tidak akan mengantarkan seseorang kepada pemahaman yang komprehensif.
Az-Zamakhsyari mengibaratkan keadaan tersebut seperti hewan ternak yang memiliki persediaan air susu namun tak pernah dipanen pemiliknya. Atau, analogi potensi kecerdasan seseorang namun tak pernah diberikan kesempatan untuk tampil dan mengembangkan diri. Az-Zamakhsyari tak lupa menggarisbawahi poin penting disetarakannya kata tadabur dengan tadzakur (aktifitas ilmiah). Istilah yang disebut terakhir hanya dimiliki orang-orang yang punya kecerdasan dan kepekaan hati.
Ironi yang digambarkan Az-Zamakhsyari sejalan dengan keluh kesah al-Hasan al-Bashri. “Banyak hamba Allah dan anak-anak yang tidak mengerti makna Al-Qur’an walaupun mereka telah membacanya di luar kepala. Mereka ini hafal… Namun mereka mengabaikan ketentuan Al-Qur’an. …pengaruh Al-Qur’an tidak tampak pada dirinya.” Sekedar memahami tidak akan pernah selevel dengan mentadaburi.
Tadabur dan Kelahiran Sikap Sosial
Sejatinya, beragama dijalani secara personal. Betapapun kompleks pengetahuan dan pengalaman kita mempelajari ajaran agama, proses beragama sangat individualistik. Tepat di saat kita membasuh tangan untuk memulai penyucian diri dengan wudhu atau saat kita bertakbir untuk memulai sholat, itulah proses beragama kita.
Melalui tadabur yang dipadu dengan tafsir dan ta’wil (mementingkan aspek praktis tanpa mengebiri pengetahuan teoritis), umat Muslim diminta untuk merumuskan tindakan riil bersifat daily basis yang muaranya adalah al-ishlaah wa ash-shalaah (perbaikan dan perdamaian). Setidaknya, ada tiga aspek yang perlu dipenuhi sebagai hasil terbaik proses bertadabur: intelektual, personal, dan sikap sosial.
Sisi intelektual mengasumsikan bahwa pengetahuan kita tentang dasar-dasar agama telah paripurna, analitis, mendalam, adil dan kontekstual. Sementara dari sisi personal, religiusitas kita sebagai hamba Tuhan perlu dicapai melalui keistiqomahan yang hakiki. Adapun pada sikap sosial, semua tindakan kita harus bermuara dan berorientasi pada kerapihan tatanan sosial sambil turut berpartisipasi dalam kerja-kerja sosial yang menghadirkan solusi untuk kebaikan bersama.
Trisula intelektual, personal, dan sikap sosial memiliki legitimasi agung dari kisah para Sahabat Nabi yang telah mendahului kita semua. Ibnu Mas’ud berkata, “Orang-orang di antara kami, apabila belajar 10 ayat Al-Qur’an mereka tidak pindah ke ayat lain sampai memahami kandungan 10 ayat tersebut dan mengamalkannya.” Semangat mutaqaddimun mentadaburi Al-Qur’an harus kita warisi bersama, apapun tantangan zamannya. Wallahu a’lam.