Tabarukan: Ekspresi Cinta, Bukan Pengkultusan

Tabarukan: Ekspresi Cinta, Bukan Pengkultusan

Tabarukan: Ekspresi Cinta, Bukan Pengkultusan

Tidak terhitung banyaknya riwayat sahih yang menjelaskan prosesi tabarukan para sahabat dengan atsar (bekas) Nabi Muhammad Saw, baik berupa air wudhu, air sisa minum, rambut, keringat, kuku, piring, gelas dan sebagainya. Menariknya Nabi tidak melarang apalagi menegur mereka karena tindakan tersebut.

Kemudian kebiasaan itu dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, ulama, dan para orang saleh dari umat ini dari generasi ke generasi. Seorang murid bertabaruk dengan atsar ulama yang dia kagumi, begitu juga sang ulama bertabaruk dengan atsar gurunya, dan gurunya juga bertabaruk dengan guru-gurunya dan begitu seterusnya, dengan harapan agar mareka mendapatkan keberkahan dari Allah Swt lewat wasilah atsar orang-orang saleh yang mereka caintai tersebut.

Substansi dari bertabaruk sebenarnya hanyalah meminta berkah (tambahan kebaikan) kepada Allah Swt lewat wasilah-wasilah tertentu tanpa memunculkan keyakinan kalau benda atau objek tabarukan itulah yang memberikan manfaat atau menolak mudarat dari diri orang yang bertabaruk. Selama hal ini dilakukan secara benar, maka hukumnya (jaiz) boleh saja.

Allah pun telah menyebutkan dalam Al-Qur’an beberapa hal yang Ia berkahi sehingga benda-benda tersebut dengan izin Allah mempunyai keberkahan-keberkahan tersendiri. Seperti misalnya keberkahan beberapa benda berupa tempat seperti kota Mekah dan Madinah, benda seperti peninggalan para Nabi dan Rasul, begitu juga peninggalan para ulama, wali-wali Allah, dan para orang saleh. Selain itu juga berupa pribadi orang-orang tertentu seperti para Nabi, sahabat, dan orang-orang saleh, serta waktu seperti lailatul qadar, hari Jum’at, hari Arafah, dan lain sebagainya.

Sehingga dengan demikian, praktek tabarukan pada hakikatnya mempunyai legitimasi yang kuat dalam agama Islam, asalkan, sekali lagi, tidak dicampuri oleh niat atau keyakinan-keyakinan tertentu yang membawa pelakunya kepada perbuatan syirik menyekutukan Allah.

Banyak reverensi terkait persoalan ini, di antaranya seperti kitab Mafahim Yajibu an Tushahhah karya Sayyid Muhammad ibn al-Alawi al-Maliki, al-Mausuah al-Yusufiyyah Fi Bayan Adillah al-Shufiyyah karya Syekh Yusuf Khatthar Muhammad, Intercession; Encyclopedia of Islamic Doctrine yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Ensiklopedia Akidah Ahlussunnah karya Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, dan lain sebagainya.