Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa nama Syu’bah adalah Syu’bah ibn al Hajjaj ibn al Ward al Azdiy. Dilahirkan di kota Wasith, tepatnya di desa Nahrayan, Syu’bah pada awalnya merupakan seorang mawla (budak) dari seorang pria bernama ibn ‘Atik.
Ia lahir pada tahun 83 H, kemudian besar di kotanya, dan pada suatu ketika berkunjung ke Basrah. Terkadang sebuah kunjungan dapat merubah persepsi seseorang, maka demikianlah awal ketertarikan Syu’bah pada kajian hadis.
Para kritikus hadis, terutama dalam kajian rijaalul hadits, menyebutkan banyak testimoni tentang keutamaan Syu’bah ibn al Hajjaj mengenai kepakaran dan kealimannya, terutama dalam bidang hadis tentunya. Ibn Hajar al Asqalani menyebutkan dalam kitabnya Tahdzib at Tahdzib, oleh beberapa tokoh Syu’bah dikatakan lebih baik dalam penataan dan pengkodifikasian hadis, lalu ia pun dibandingkan dengan Sufyan ats Tsauri, mengenai riwayatnya yang lebih mapan dalam hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam. Salah satu argumentasi yang dirasa tepat mengenai perbandingan dari Syu’bah dan Sufyan ats Tsauri adalah sebagaimana disampaikan oleh Muhammad ibn al ‘Abbas an Nasai,
“Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (salah satu gurunya, red.) tentang siapa yang lebih mengerti hadis antara Syu’bah dan Sufyan ats Tsauri. Ia menjawab: “Sufyan adalah orang yang hafizh dan shalih, sedang Syu’bah lebih paham dan lebih bersih dari Sufyan. Ia mendengar (hadis-hadis) hukum lebih dulu sepuluh tahun dari Sufyan ats Tsauri.” Demikian kurang lebih Ibn Hajar al Asqalani.
Pada akhirnya, Sufyan ats Tsauri pun menyebutkan dalam testimoninya yang dikenal kalangan pengkaji hadis: “Syu’bah adalah ‘amirul mu’minin fi al hadits’ ”.
Kalimat itu bukannya tanpa alasan. Disebutkan bahwa pada awalnya Syu’bah memiliki ketertarikan pada syair. Namun ketika ia mengetahui seorang alim dan ahli fikih, bernama al Hakam ibn Utaibah, mengumpulkan hadis dan meriwayatkannya, kecondongan Syu’bah pada hadis meningkat. Tokoh yang memiliki kunyah Abu Bustham ini terlibat dalam pengembangan dan perbaikan kajian hadis. Keunggulan yang dimilikinya adalah kemampuan untuk membuat sistematika yang lebih runtut dalam kajian, karena itulah ia digelari amirul mu’minin fi al hadits.
Meminjam istilah dari beberapa ulama mengenai konsepsi madaarus sanad (pusat banyak sanad, red.) atau teori yang dikatakan Juynboll, seorang orientalis dari Belanda, mengenai common link (rantai umum) dalam jalur periwayatan hadis. Memang pada kenyataannya, banyak hadis yang diriwayatkan oleh suatu tingkat masa, terpusat pada beberapa orang, salah seorangnya adalah Syu’bah.
Hadis yang cukup terkemuka, sekali lagi, yang diriwayatkan oleh Syu’bah adalah hadis tentang pendustaan atas nabi, yang dinilai ulama abad pertengahan sebagai hadis yang mutawatir.
“من كذّب عليّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النار”
Berbagai kajian dan kontroversi mengenai hadis ini, segi sanadnya, isi maknanya, bermunculan dan menjadi suatu paradoks tersendiri, demikian kata Juynboll. Terlepas dari itu, Syu’bah telah mendapat posisi penting yang menarik dalam kedudukannya sebagai seorang tokoh yang menjadi rujukan kajian hadis, utamanya dalam periwayatan dan rijaalul hadis.
Kepribadian Syu’bah
Satu-satunya cara untuk mendeteksi hal-hal yang berkaitan dengan tokoh, tentu saja melalui pendekatan sejarah. Dalam makna yang lebih luas, sejarah dapat berupa keterangan kisah-kisah yang disampaikan orang-orang pada zaman itu, atau mungkin melalui pelacakan bukti-bukti otentik.
Demikian pula pada pribadi Syu’bah. Secara biografis, nampaknya kisah-kisah yang berkaitan dengan tokoh ini belum cukup banyak dapat kita jumpai, atau mungkin saja memang perlu usaha menghimpun riwayat dari berbagai literatur agar dapat tergambar bagaimanakah sosok Syu’bah ini. Salah satu karya yang berusaha mengumpulkan mengenai kepribadian seorang Syu’bah ibn al Hajjaj adalah Hikayat Syu’bah ibn al Hajjaj yang disusun Abdullah ibn Muhammad al Baghawi pada kurun abad ke 3-4 Hijriyah.
Sedikit yang bisa disampaikan dari karya tersebut adalah bahwa Syu’bah amat mempengaruhi kultur pengkajian hadis di daerah Basrah, kemudian tercatat pula ia berkunjung ke Baghdad. Imam Syafii memberikan komentar bahwa orang Irak lebih mengenal hadis sejak datangnya Syu’bah tersebut. Selain itu, disebutkan pula bahwa Syu’bah merupakan orang yang paling otoritatif dalam masalah hadis pada masa itu di daerahnya.
Seorang tokoh dari Timur Tengah, yang bernama Ahmad Farid, mengarang sebuah kitab berjudul Min a’laamis salaf yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia berjudul Biografi 60 Ulama Ahlussunnah. Salah satu yang ia muat adalah keterangan mengenai Syu’bah, ia menyebutkan ciri fisiknya yang kurus kering karena seringnya melakukan ibadah, salah satunya puasa menahun. Sebagai seorang ulama besar, kapasitas dalam kezuhudan, wara’, qana’ah, maka tentu ia memiliki standar tersendiri dalam maqamat kesalehan, pun Syu’bah dikatakan termasuk orang yang kurang berkecukupan.
Terlepas dari itu, minat pada hadis yang amat besar mengantarkan Syu’bah menjadi seorang tokoh yang memiliki transendensi tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam keilmuan. Pantaslah jika para ulama abad pertengahan menyanjungnya sebagai pemimpin, orang-orang garda depan dalam kajian hadis.
Syu’bah memiliki derajat yang mulia karena ilmu dan amal. Orang-orang yang beriktikad baik akan mampu mengikuti jejaknya, semoga.
Wallahu a’lam.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Majalah Nabawi edisi 110.